Pekan lalu, sekitar 10 hari saya berkesempatan melakukan trip khusus ke Jepang. Ya, ke Jepang, tetapi untuk mendapat tiket yang ekonomis saya pilih Batik Air dan transit di Malaysia. Sejak awal tanda-tanda ada sesuatu sudah terasa. Jadwal penerbangan dari Terminal 2 Soekarno Hatta (Soetta) yang dijadwal pukul 18.10 WIB diinformasikan terjadi delay. Info saya dapat ketika perjalanan menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Assalamu’alaikum Kang Dedi Mulyadi
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
Baca Juga
Walhasil perjalanan yang semula saya minta dipacu alias ngebut jadi melambat. Meski dalam hati menggerutu tetapi saya telan saja.
Alhamdulillah proses check in tidak terlalu ribet, apalagi paspor yang saya punya sudah terlebih dahulu dimigrasi ke digital. Mestinya paspor yang saya miliki baru akan kadaluwarsa atau habis masa berlakunya tahun 2027. Artinya saya nyicil ayem, nggak perlu ribet memperpanjang paspor.
Tetapi ada info dari teman untuk kunjungan ke Jepang lebih baik pakai paspor digital. Selain lebih praktis juga menghemat, konon info dari teman saya tadi jika menggunakan paspor biasa (konvensional) proses imigrasi lebih lama, dan rawan ada biaya tambahan.
Okelah, saya putuskan migrasi paspor menjadi digital. Nah, proses ini ada cerita khusus. Meski informasi ke publik terang benderang untuk migrasi tidak dipungut beaya apa pun, tetapi di lapangan tidak begitu.
Jujur, tidak mudah ngurus sendiri, maaf karena petugas imigrasi rupanya (ini bacaan saya) lebih suka pakai biro jasa.
Sekitar bulan Januari awal mengurus migrasi paspor saya lakukan. Setelah tanya sana-sini termasuk menghubungi temen yang bekerja di Imigrasi Semarang disarankan mengurus di Kantor Layanan Pembantu di Mall Tentrem, Jalan Gajah Mada Semarang. Ada biro jasa atau makelar yang membantu mengurusnya.
Biaya yang dipatok untuk migrasi R 2,5 juta. Biaya semula diinfo Rp1,5 juta, tapi ada perubahan saat sebelum ke Kantor Imigrasi yang ada di basement Tentrem Mall.
‘’Karena paspor bapak (saya-maksudnya) baru habis 2027 ada biaya tambahan jadi Rp 2,5 juta," demikian kata sang makelar dari biro jasa.
Tentu saja saya kaget, bingung juga mengapa ketika habisnya (paspor) masih lama, kok justru dibanderol mahal. Ya tapi apa boleh dikata, saya setuju.
Setelah masuk kantor pelayanan saya harus antre dulu. Pihak Biro Jasa yang membantu saya kelihatan komunikasi atau berbicara bisik-bisik dengan petugas (imigarsi). Namanya saya catat, tetapi tidak perlu saya sebut di sini. Setelah (mungkin) menyampaikan pada petugas imigrasi, pihak biro jasa pamit meninggalkan tempat tersebut. Saya diberitahu tinggal menunggu, dan akan segera dilayani.
Sesaat sembari menunggu panggilan saya mendekat pada salah seorang petugas. Setengah iseng pelan-pelan saya bertanya sebenarnya berapa biaya pengurus paspor, dalam hal ini migrasi dari manual ke online. Jawabannya melegakan, bahwa migrasi paspor tidak ada biaya. Ya itu kebijakan masuk akal, apalagi sekarang imigrasi sedang berbenah dengan nomenklatur baru.
Tapi aturan, tetap saja aturan. Maaf seperti ketika mengurus STNK, SIM, juga KTP kebijakan formal gratis. Karena mekanisme pelayanan belum sepenuhnya online jadi oknum-oknum di lapangan selalu saja memanfaatkan celah. Biro jasa bermain karena situasi di lapangan, seperti antrean seringkali panjang, atau waktu proses lama, sehingga kalkulasi efektivitas dipakailah biro jasa.
Ikhwal ini sempat saya konfrontasi dengan pihak biro jasa yang mengurus paspor saya. ‘’Sampean kok kebangetan? Masak pengurusan (migrasi) gratis tapi saya di-charge Rp2,5 juta. Ngono yo ngono, tapi mbok ojo ngono,’’begitu protes saya dengan halus pada yang bersangkutan. Si makelar bersungut-sungut, wajahnya marah tapi ditahan.
Dia sempat minta maaf, begitu ketahuan modusnya, dan bilang, mau terus apa dibatalkan. ‘’Kalau keberatan biayanya mau dibatalkan tidak apa apa,’’ begitu ucapnya kepada saya.
‘’Sampeyan jangan nuthuk begitulah sama saya. Ngono yo ngono, ning aja ngono. Kalau saya bayar separo (Rp 1,5 juta) bagaimana?’’ saya mencoba tempuh jalan tengah.
Alhamdulillah entah apa yang jadi pertimbangan si makelar, saya dikasih potongan biaya separuh
Delay Hampir Tiga Jam
Tuntas soal paspor saya ingin berbagi kisah perjalanan lanjut memulai trip ke Negeri Sakura. Di awal sudah saya sampaikan di tengah perjalanan ke Soetta pesawat Batik Air yang akan membawa terbang ke Narita dengan transit di Kuala Lumpur ternyata delay.
Tapi yang terjadi kemudian delay pemberangkatanya tidak hanya sekali. Pengumuman pertama dari jadwal terbang jam 18.10 mundur satu jam, artinya hingga 19.30. Di saat kami sudah menunggu di terminal 2F gate 6 ada pengumuman delay lagi karena alasan operasional pesawat baru akan terbang pukul 21.00. Kepala mulai kemut-kemut, apalagi connecting flight dari Kuala Lumpur adalah jam 00.10 waktu Kuala Lumpur.
Saya diam mencoba berdamai meski galau mendera. Puncaknya terjadi ketika pukul 21.00 belum berangkat, bahkan sampai 21.30 belum ada panggilan boarding. Penumpang baru diinfo untuk naik pesawat sekitar pukul 21.50, setelah melalui checking tiket dan lain sebagainya sekitar pukul 22.20 WIB kami baru terbang.
Setelah menempuh penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur sekitar dua jam kami akhirnya landing.
Setengah berlari-lari kami langsung ke gerbang keberangkatan 10E. sebelum kami sampai dua petugas dari Batik Air memberi tahu bahwa pesawat Batik Air ke Narita telah terbang sekitar 18 menit lalu.
Ada sekitar 28 penumpang yang mengalami nasib sama. Seketika emosi meledak, baku fisik nyaris terjadi, untung sesama penumpang saling meredakan. Singkat kata kami bersama 28 penumpang yang lain mendapat hadiah harus bermalam di Movenpick Hotel Sepang yang lokasinya dekat Sepang Internasional Sirkuit. Ini tempat arena balapan otomotif internasional termasuk Motor Grandprix Series yang legendaris juga kerap digelar di sini.
Jujur saya tidak banyak memperhatikan hotel Movenpick seperti apa. Apalagi saya sampai di Movenpick sudah sekitar pukul 01.30 waktu Sepang, dengan WIB selisih satu jam.
Setelah mendapat kamar saya langsung tidur. Di tengah kecamuk, dan hiruk-pikuk ditambah suasana hati yang serba tidak karuan saya bangun kesiangan. Jam 07.30 waktu Sepang baru bangun tak luput ibadah sholat subuh pun telat.
Pagi itu saya baru tahu ternyata Movenpick salah satu hotel bintang empat. Menu breakfast cukup menjadi pelipur lara atas deraan nasib jadi orang terdampar di negeri orang. Kami baru terpang pukul 00.10 malam jelang dinihari. Artinya banyak waktu yang bisa saya manfaatkan di Sepang.
Atas bantuan petugas hotel saya dapat mobil sewa 400 ringgit. Seharian kami mengeksplorasi Sepang dengan mengunjungi Putra Jaya, Sirkuit Sepang, dan beberapa sudut kota ini. Putra Jaya cukup elok, bersih dan rapi. Saya bayangkan IKN Ibu Kota Indonesia ke depan akan menjadi seperti itu.
Puas keliling saya putuskan mampir dan menikmati durian Musang King karena saya pecinta durian. Yang terakhir ini mengobati haru-biru dan getir perjalanan dari Indonesia. Musang King di sini sungguh luar biasa, apalagi jika dibandingkan kita beli di Indonesia. Dua buah saya tuntaskan dan tak perlu bayar mahal cukup 160 ringgit. Kalau dirupiahkan sekitar Rp500 ribu. Luar biasa, lezat dan rasanya masih terbawa sampai malam harinya kami terbang ke Narita. (bersambung).
- NGOPI Berhasil Kuak Rahasia Kecantikan Bersama Dr. Ratih Nuryanti
- Tim Dinparta Dan Satpol PP Serbu Pujasera Demak
- Pedagang Rod As Kadilangu Serbu Jepara Dan Berkolaborasi Emas Dengan Dinparta Demak