Guru Besar Unnes: Harus Ada Alokasi DBH CHT Yang Adil Untuk Petani Tembakau

Prof. Dr. Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti, M. Si. / ist.
Prof. Dr. Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti, M. Si. / ist.

Kebijakan menaikkan tarif cukai rokok memang dapat memberikan dampak positif karena kenaikan cukai dapat meningkatkan harga rokok, yang diharapkan berimbas pada penurunan konsumsi rokok di masyarakat.


Semakin berkurangnya konsumsi rokok, maka akan semakin berkurang permintaan tembakau sebagai bahan baku dan tentu mengancam kesejahteraan petani tembakau.

"Pemerintah harus bijak dalam merumuskan kebijakan terkait dengan cukai rokok. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) harus dialokasikan secara adil," ujar Guru Besar Ekonomi Pembangunan, Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Dr. Sucihatiningsih Dian Wisika Prajanti, M. Si., kepada RMOL Jateng, Sabtu (31/7). 


Petani, kata Prof Suci, harus mendapatkan porsi dari DBH CHT untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. DBH CHT yang dialokasikan itu, menurutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dapat dianggarkan untuk bantuan bibit, pupuk, alsintan pra dan pascapanen dan lainnya. 


Alih Fungsi Lahan 


Terkait regulasi yang berdampak pada petani, bagaimana alih fungsi lahan tembakau untuk komoditi lain khususnya pangan?


Menurut dia, petani tembakau di Indonesia mayoritas adalah petani yang melestarikan leluhur terdahulu dalam menanam tembakau. Jadi, kebanyakan mereka sudah lama menanam tembakau dan keahlian yang mereka miliki juga di bidang budidaya tembakau. 


"Jika petani tembakau diarahkan untuk menanam komoditi lain, maka upaya tersebut tentu bukanlah hal yang mudah karena akan ditemui berbagai permasalahan baik dari hulu sampai dengan hilir," ujarnya.


Dari sisi hulu, keahlian para petani adalah menanam tembakau sehingga untuk menanam komoditi lainnya petani harus belajar dari nol. Selain itu, komoditi lain pengganti tembakau juga harus disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian yang mereka miliki. 

Kemudian pengadaan faktor produksi seperti bibit, alsintan, pupuk, irigasi dan lainnya juga memerlukan modal yang tidak sedikit. Sedangkan permasalahan disisi hilir adalah petani harus belajar pengolahan pasca panen komoditi lain dari nol, pemasaran komoditi yang dihasilkan juga memerlukan akses pasar yang jelas dan mudah.

"Oleh karena itu, jika memang petani diharuskan untuk melakukan alih fungsi lahan komoditi tembakau ke komoditi lainnya harus ada komitmen dari pemerintah untuk memberikan pelatihan, pendampingan dan juga sarana prasarana pendukung pertanian lainnya," paparnya.


Petani tembakau harus diberikan edukasi terkait dengan komoditi selain tembakau yang potensial untuk dibudidayakan. Selin itu juga harus diberikan jaminan terkait dengan kemudahan akses faktor produksi komoditi pengganti tembakau dan kemudahan akses pasar. 


Selain itu, para petani juga harus diberikan literasi terkait dengan manajemen pertanian komoditi selain tembakau agar petani tidak dipermainkan oleh tengkulak dan meminimalisir terjadinya gagal panen. 


"Upaya tersebut harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab agara para petani tetap mendapatkan keuntungan dan mencapai kesejahteraan meski tidak lagi menanam tembakau," tegasnya.


Ibarat Dua Mata Pisau 

Dia mengakui,  industri rokok memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Cukai rokok merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi APBN. Industri rokok juga merupakan salah industri yang menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang sangat besar di Indonesia. 

Namun, sisi lain dari dampak positif industri rokok adalah ancaman kesehatan bagi generasi penerus bangsa. Rokok dapat menjadi bahaya bagi kesehatan masyarakat terutama generasi muda. 

"Mempertahankan geliat industri rokok ibarat dua mata pisau; di mana disatu sisi geliat industri rokok memberikan dampak positif bagi perekonomian, namun disisi lain dapat membahayakan kesehatan masyarakat," ungkapnya. 

Jika memang produksi rokok di tanah air akan dikurangi, maka nasib para buruh pabrik rokok dan petani tembakau, menurutnya harus diperhatikan dan dijamin kesejahteraannya. 

Petani yang berpotensi kehilangan pekerjaannya sebagai petani tembakau harus diberikan alternatif budidaya komoditi lain yang lebih menguntungkan dari pada tembakau. Begitu juga buruh pabrik yang berpotensi di-PHK harus ada jaminan lowongan pekerjaan baru yang lebih menyejahterakan mereka.

Dalam catatan Komnas Pengendalian Tembakau, hingga saat ini, petani dan buruh yang terlibat dalam rantai pasokan industri tembakau masih menjadi pihak yang selalu dirugikan. Lembar data yang dikeluarkan Tobacco Control Support Centre (TCSC) dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) memaparkan bahwa petani tembakau belum menikmati tingkat kesejahteraan yang setara dengan keuntungan industri rokok. Petani dan buruh juga memiliki posisi tawar yang rendah terhadap industri rokok karena kualitas dan harga tembakau ditetapkan oleh pembeli tanpa pemberitahuan tentang standar kualitas yang digunakan.

Di sisi lain, pemerintah belum secara progresif mendorong perumusan rencana strategis yang berbasis kesejahteraan petani dan buruh. Pemerintah justru cenderung menonjolkan peran industri hasil tembakau bagi pendapatan negara. Padahal pendapatan negara dari industri rokok sangat jauh jika dibandingkan dengan biaya risiko kesehatan yang harus ditanggung negara atas dampaknya.