Harga Bahan Pangan dan Energi Naik, Ada Apa Dengan Pemerintah?

Ratusan warga mengantre minyak goreng murah. foto: net.
Ratusan warga mengantre minyak goreng murah. foto: net.

Harga bahan pangan mulai mengalami kenaikan selama beberapa waktu terakhir. Hal itu dimulai dari kelangkaan minyak goreng di pasaran, dan berujung pada kenaikan harga setelah dihapusnya Harga Eceran Tertinggi (HET). Celakanya, kenaikan harga minyak goreng itu, berimbas pula pada naiknya sejumlah komoditi pangan, seperti telur, daging ayam, cabai, dll. Kenaikan itu sontak menimbulkan kepanikan masyarakat, utamanya para ibu rumah tangga. Pasalnya, kenaikan itu terjadi di saat bulan ramadhan dan menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri - dua event besar yang secara rutin setiap tahun kerap memicu inflasi dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.


Belum lagi usai kepanikan itu, datang lagi kasus lain: kelangkaan BBM di sejumlah tempat di Tanah Air. Solar dan Pertalite, bahkan LPG tiba-tiba sulit dicari. Rupanya, kelangkaan itu - seperti halnya minyak goreng – menjadi sinyal akan adanya kenaikan harga. Benar saja, tak lama kemudian Pertamina mengumumkan kabar naiknya harga Pertamax. Kelangkaan dan kenaikan harga yang datang secara beruntun itu, jelas merupakan pukulan telak bagi rakyat, yang masih belum sembuh benar akibat hantaman pandemi selama tiga tahun terakhir.

Tiga tahun pandemi Covid-19 merupakan pengalaman traumatis yang sulit dilupakan rakyat. Betapa ribuan nyawa telah menjadi korban dari ganasnya virus korona, dan ribuan lainnya yang harus menjalani karantina. Jutaan orang di negeri ini merasakan betul betapa pandemi itu telah memporak-porandakan ekonomi keluarga. Jutaan orang harus menderita akibat PHK atau dirumahkan saat pandemi itu datang. Jutaan orang harus kehilangan mata pencarian dan sekaligus membuyarkan masa depan dan mimpi ribuan sarjana yang baru menamatkan kuliahnya: lulus kuliah di saat tiada lagi lapangan pekerjaan.

Kini, saat pandemi belum lagi usai, Pemerintah menambah lagi beban berat ke pundak rakyat dengan kelangkaan dan kenaikan harga komoditas pangan dan energi. Penderitaan apa lagi yang hendak ditanggung oleh rakyat, jika ‘’kekacauan’’ ini tidak segera dikendalikan? Rakyat, tentu saja, tidak membutuhkan retorika pemerintah. Yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan cepat pemerintah untuk mengendalikan kenaikan harga-harga tersebut, agar tidak semakin jauh merembet dan berimbas pada beragam komoditas lainnya.

Kekacauan politik dan ekonomi ini tak cukup hanya diatasi dengan pidato Presiden Joko Widodo dengan menyentil para menterinya terkait kinerja mereka dalam menerapkan kebijakan. Tidak cukup pula, kekacauan ini diatasi dengan ucapan presiden bahwa para menterinya tidak memiliki sense of crisis di tengah situasi ekonomi dan pandemi yang tidak menentu.

“Sikap, kebijakan, pernyaaan kita harus punya sense of crisis. Harus sensitif terhadap kesulitan rakyat. Jangan sampai kita ini seperti biasanya dan dianggap masyarakat tidak melakukan apa-apa," kata Jokowi, dalam Pengantar Presiden Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna, Istana Negara, Selasa (5/4/2022).

Kita tahu bukan sekali ini Presiden Jokowi menegur menteri-menterinya. Sudah berkali-kali pula Presiden menegur dan menyentil para menterinya. Namun, sekali lagi, yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan retorika, bukan teguran, bukan pula sentilan. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah bagaimana Presiden, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negeri ini, dapat bertindak cepat menyelamatkan rakyat dari penderitaan akibat kelangkaan dan kenaikan harga pangan dan energi. Jangan biarkan rakyat terus menerus jadi korban dan menanggung beban yang teramat berat akibat pandemi, dan kini harus menderita akibat krisis pangan dan energi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, kenaikan harga barang-barang atau inflasi menjadi tantangan baru bagi perekonomian yang akan dihadapi Indonesia. Menurutnya, tantangan inflasi ini akan lebih mengancam dibandingkan tantangan pandemi Covid-19 bagi masyarakat yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga komoditas secara global.

"Kalau dulu ancaman dan tantangan untuk masyarakat adalah pandemi, sekarang tantangan dan ancaman adalah kenaikan harga dari barang-barang," ujarnya dalam konferensi pers usai melakukan rapat terbatas kabinet yang disiarkan lewat Youtube Sekretariat Presiden, Selasa, 5 April 2022.

Kenaikan harga komoditas global, kata Sri Mulyani, telah menjadi pedang bermata dua bagi pemerintah. Penyebabnya, di satu sisi kenaikan harga memang menguntungkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain masyarakat bisa merasakan rambatan kenaikan harga ke barang-barang konsumsi hariannya.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, pemerintah bakal memberikan bantuan subsidi upah (BSU) bagi tenaga kerja yang memiliki gaji kurang dari Rp 3 juta per bulan. Rencananya, bantuan subsidi upah itu akan digelontorkan ke 8,8 juta tenaga kerja. Adapun skema pemberian bantuan hingga kini tengah dimatangkan dan bakal diumumkan dalam waktu dekat.

BSU dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan dikucurkan kepada rakyat, pada hemat kita, memang menjadi opsi bagi pemerintah untuk mengatasi kesulitan rakyat. Namun, sejatinya, bantuan-bantuan semacam itu hanyalah bersifat sesaat. Bagaikan air yang ditumpahkan ke gurun pasir gersang, akan hilang lenyap dalam sekejap. Dalam kondisi di mana harga-harga yang meroket dan tak terkendali, bantuan tersebut tampaknya terlihat besar, tapi biasanya akan habis dalam sekejap karena tak berbanding lurus dengan naiknya harga-harga di pasaran.

Kita berharap, ada gerak cepat dan tindakan terukur dari pemerintah untuk menuntaskan berbagai kekacauan ini. Sekali lagi, bukan retorika, tapi eksekusi kebijakan yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Kita percaya, pemerintah dengan berbagai perangkat aturan dan organisasinya, mampu mengendalikan dan mengatasi krisis ini.