Kedaulatan Udara: Paradoks Indonesia Delegasikan Pengelolaan Udara Kepada Singapura

Ilustrasi Pesawat Jet Tempur Menerjang Ruang Udara Di Atas Kota Sesuai Kewenangan Ruang Udara Suatu Negara. Dokumentasi Breaking Defense
Ilustrasi Pesawat Jet Tempur Menerjang Ruang Udara Di Atas Kota Sesuai Kewenangan Ruang Udara Suatu Negara. Dokumentasi Breaking Defense

Jakarta - Kedaulatan ruang udara adalah prinsip fundamental dalam hukum internasional. Akar konseptualnya bahkan telah muncul sejak zaman Romawi melalui asas Latin cuius est solum, eius est usque ad coelum - siapa yang memiliki tanah, memiliki langit di atasnya.

Prinsip ini kemudian diformalkan dalam Paris Convention 1919 dan diperkuat dalam Chicago Convention 1944. Selanjutnya diikuti dengan berbagai peraturan di ICAO (International Civil Aviation Organization), yang menyatakan bahwa tiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya.

ICAO sendiri, sebagai badan internasional, tidak pernah dan tidak akan menentang hak kedaulatan negara atas ruang udaranya sendiri karena ICAO selalu akan merujuk pada konvensi Chicago 1944 bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif. ICAO hanya mengatur mengkoordinasikan aspek teknis demi keselamatan dan efisiensi penerbangan internasional.

Namun, kenyataannya tak semudah rumus hukum. Indonesia menghadapi sebuah paradoks besar dalam pengelolaan ruang udaranya sendiri.

Kawasan Flight Information Region (FIR) di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna, yang secara hukum masuk dalam yurisdiksi FIR Jakarta, saat ini justru dikelola oleh Singapura untuk ketinggian dari 0 hingga 37.000 kaki. Indonesia hanya mengelola di atas 37.000 kaki. Delegasi kewenangan ini akan  berlangsung selama 25 tahun dan dapat diperpanjang, padahal AirNav Indonesia sesungguhnya telah memiliki kapasitas teknis untuk mengambil alih pengelolaan tersebut.

Ironisnya, ruang udara latihan militer pun dikuasai oleh Angkatan Udara Singapura tanpa keterlibatan langsung TNI AU.

Maka, sebenarnya hal ini bukan lagi sekedar persoalan efisiensi penerbangan atau kolaborasi sipil, tetapi sudah dalam bentuk erosi kedaulatan yang memunculkan risiko keamanan jangka panjang.

Imbas Dari Pendelegasian Kewenangan

Dengan menguasai jalur udara vital tersebut, Singapura mendapat keuntungan finansial signifikan dari biaya navigasi penerbangan komersial yang melintasi wilayah tersebut - keuntungan yang memperkuat daya saing dan ekspansi Changi Airport, termasuk pembangunan Terminal 5 yang super modern yang bernilai milyaran dollar.

Lebih dari itu, dominasi ini juga memperbesar pengaruh strategis Singapura dalam arsitektur udara kawasan.

Yang lebih mencemaskan, instansi kunci seperti Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara di Kementerian Perhubungan cenderung menomorduakan urgensi kedaulatan udara. Alih-alih memprioritaskan kepentingan strategis nasional, mereka lebih menekankan pada narasi kerja sama dan efisiensi operasional.

 Padahal sejarah telah memberi pelajaran pahit. Serangan 11 September 2001 di AS menjadi contoh paling nyata ketika pesawat komersial dibajak dan diubah menjadi senjata rudal, menghantam Menara Kembar dan Pentagon.

Tragedi itu menunjukkan bahwa tanpa kontrol penuh atas ruang udara, negara tak hanya kehilangan kedaulatan, tetapi juga kemampuan untuk merespons ancaman dalam hitungan detik.

Konvensi Chicago dan Konvensi Paris tidak sekadar menetapkan kerja sama teknis antarnegara. Keduanya menegaskan bahwa ruang udara adalah bagian dari integritas wilayah dan pertahanan nasional.

Maka, pengelolaan oleh pihak asing tanpa keterlibatan militer dalam negeri adalah langkah berisiko yang melemahkan otoritas negara.

Kedaulatan ruang udara Indonesia harus diposisikan sebagai tiang utama pertahanan nasional, bukan sekadar komoditas teknis yang bisa dinegosiasikan.

Kolaborasi internasional memang dibutuhkan dalam navigasi global, tetapi bukan berarti kontrol strategis harus diserahkan. Dalam geopolitik langit Asia Tenggara yang semakin dinamis, Indonesia tak boleh kehilangan ketinggalan, apalagi situasi konflik di Indo-Pasifik semakin tajam.

*) Tommy Tamtomo, Wakil Ketua/ Kepala Litbang, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)