Pembelajaran daring sampai saat ini belum sepenuhnya tuntas. Santi dan Sinta misalnya, mengalami kesulitan untuk belajar, karena tidak memiliki smartphone.
- Eks Taman Wisata Selomoyo Bakal Disulap Jadi SR Wonogiri
- Ratusan Guru Honorer Akan Diangkat Menjadi PPPK
- Wujudkan World Class University, IAIN Kudus Siapkan Prodi Doktor Studi Islam
Baca Juga
Pembelajaran daring sampai saat ini belum sepenuhnya tuntas. Santi dan Sinta misalnya, mengalami kesulitan untuk belajar, karena tidak memiliki smartphone.
Apalagi keduanya berasal dari keluarga kurang berada. Untuk mengejar ketertinggalan dalam menimba ilmu, si kembar yang saat ini duduk di bangku kelas 7 SMP Negeri 40 Semarang, harus datang ke sekolah untuk menerima materi dan tugas secara tatap muka bersama guru masing-masing secara private.
Kembar kelahiran Semarang 12 tahun silam ini, mau tak mau harus menerima kondisi ibunya yang hanya seorang tukang parkir di kawasan wisata Sam Poo Kong.
Mereka harus hidup dibawah garis kemiskinan, usai sang ibu bercerai dengan ayahnya beberapa tahun silam. Anak kembar terakhir dari 5 bersaudara ini, cukup puas bisa bersekolah di SMP Negeri meski penuh keterbatasan di masa pandemi sekarang ini.
"Ibu kerja jadi tukang parkir, itupun kalau sedang ramai wisata, kalau sepi wisata ibu nganggur, makanya tidak punya HP, jadi gak bisa ikut sekolah lewat HP,†ungkap Sinta dan Santi di SMP 40 Semarang, Jumat (6/11).
Tidak ada smartphone untuk menunjang sistem belajar secara daring yang diterapkan sekolah selama masa pandemi, membuat Santi dan Sinta selalu tertinggal dalam berbagai mata pelajaran.
Bahkan nilai tes mereka selalu jelek dan jauh tertinggal dari teman-teman sekelasnya. Hal ini yang membuat guru pembimbing Santi dan Sinta iba dan mengusulkan untuk adanya belajar tatap muka khusus bagi dua kembar ini.
Hampir setiap hari, si kembar harus menuju ke sekolah dengan berjalan kaki dari rumahnya di Kampung Naga RT 6 RW 2, Kelurahan Bongsari.
Terlebih lagi, lulusan MI Al-Amin ini belum memiliki seragam SMP karena ketiadaan biaya. Tak heran, saat harus ke sekolah untuk belajar secara private mereka menggunakan baju seadanya atau baju MI yang lama.
"Setiap hari ke sekolah jalan kaki, kira-kira setengah jam lebih berangkat dan pulang, biar bisa belajar sama bu guru. Dikasih uang saku sama ibu Rp 5000,†keluhnya.
Tidak punya fasilitas menghadapi daring memang tidak menyurutkan Santi dan Sinta untuk tetap belajar. Meski letih, Si kembar ini justru senang dengan metode belajar langsung bertemu dengan guru pembimbing, karena mereka bisa menanyakan semua mata pelajaran yang tidak dimengerti selama ini.
Biasanya mereka belajar di sekolah mulai pukul 8 pagi hingga 2 siang, di halaman depan kelas. Karena memang selama pandemi, tidak di ijinkan untuk belajar didalam kelas.
Penerapan protokol kesehatan pun juga tetap dilakukan, dengan mengecek suhu tubuh Santi Sinta dan mencuci tangan sebelum masuk ke halaman sekolah.
Selama pelajaran berlangsung, masker juga tetap digunakan oleh guru dan siswa, selain itu jarak antara guru dan siswa juga tidak boleh terlalu dekat.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMP Negeri 40 Semarang, Rani Ernaningsih, mengatakan, jika sistem belajar yang diberikan pada si kembar Santi dan Sinta memang atas permintaan guru-guru pengajar SMP N 40 yang melihat nilai-nilai duo kembar ini sangat di bawah dari rata-rata.
"Memang anak-anak kami dari hasil laporan wali kelas dan bapak ibu guru ternyata kedua anak ini tidak memiliki fasilitas HP sehingga pembelajarannya lewat tatap muka dalam arti secara khusus diminta anak-anak untuk datang ke sekolahuntuk melengkapi atau menyelesaikan tugas-tugasnya,†ungkap Kepala Sekolah SMPN 40, Jumat (6/11).
Untuk mengundang mereka belajar di sekolah, pihak SMPN 40 juga tidak bisa asal memanggil si anak untuk datang belajar di sekolah, mengingat masa pandemi memang Pembelajaran Tatap Muka ditiadakan.
Pihak sekolah mengundang orang tua wali dan berdiskusi hingga akhirnya sepakat untuk adanya belajar tatap muka dalam kondisi khusus dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
"Kami punya kebijakan setelah kami undang orang tua wali yang putra nya sulit untuk ketemu makanya kami datangkan orangtua untuk kita sampaikan bahwa selama pembelajaran tidak bisa aktif, tugas tidak terselesaikan, jadi kami butuh klarifikasi ke orang tua," jelasnya.
Diakui Rani, proses belajar yang dilakukan pada siswanya yang tidak memiliki perangkat komunikasi saat pandemi memang terbilang cukup efektif, meskipun harus menguras waktu dan tenaga.
Namun dirinya berharap, siswa yang tidak bisa menerima pelajaran secara daring, tetap bisa mengikuti perkembangan kurikulum sekolah.
"Memang harus mengeluarkanwaktu, tenaga, pikiran tapi untuk kasus Sinta dan Santi ini mengena karena anak itu blank tidak pernah komunikasi dengan bapak ibu guru karena tidak punya HP, maka gimana bisa dapat ilmu kalau kita tidak ketemu mereka. maka dengan komunikasi seperti ini paling tidak anak tau tanggung jawab, mau belajar dan kami punya tanggung jawab untuk mengajar, harapan kami sebagai salah satu media yang bisa kita lakukan di masa pandemi," pungkasnya.
- Mini Concert Etnik Atletik Meriahkan Puncak Perayaan Dies Natalis Ke-24 FISKOM UKSW
- Wali Kota Surakarta Lantik 159 PPPK Non Guru
- Undip, Terbaik Keempat Versi Webometrics