Konsep Utang Indonesia Sudah Tertuang Dalam GBHN

Konsep utang Indonesia sudah tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), namun setelah era Reformasi dan amandemen UUD 1945, GBHN dihapuskan.


"Utang di situ ditetapkan dalam GBHN dan dilaksanakan," kata mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier dalam diskusi bertajuk 'Utang Numpuk Kerja Susah Ekonomi Kedepan' di Kantor Sekber, Matraman, Jakarta, Rabu (1/8).

Dia menjelaskan, GBHN mengatur tata cara untuk melakukan utang kepada luar negeri. Di mana, utang hanya sebagai pelengkap dan sementara dalam arti jumlah utang harus seminimal mungkin.

"Kebalikannya dengan rezim sekarang," kata Fuad seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL

Utang yang diatur dalam GBHN hanya digunakan untuk pembangunan bukan membayar pembiayaan rutin, menutup utang sebelumnya atau membayar bunga utang. Selain itu, negara hanya boleh berutang kepada lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan bilateral terhadap negara tertentu terutama Jepang.

"Setelah zaman Orde Baru dan pemerintahan beberapa tahun setelahnya masih patuh terhadap aturan utang yang tertuang dalam GBHN," urai Fuad.

Adapun, katakter utang yang diatur dalam GBHN antara lain berjangka panjang dan relatif lunak, tidak boleh digunakan untuk anggaran rutin, dan harus digunakan murni untuk pembangunan. Dan saldo pinjaman luar negeri terhitung dari masa Orde Baru sampai saat ini hanya Rp 783 triliun.

"Itu saldo per Agustus 2018. Kalau sekarang kira-kira Rp 750 triliun," beber Fuad.

Pinjaman luar negeri juga tidak berbentuk surat berharga atau surat utang negara sehingga tidak bisa diperdagangkan alias dijual ke pasar oleh negara. Dan pinjaman luar negeri yang tertuang dalam GBHN tidak boleh digunakan untuk menutup utang ataupun pokok utang yang jatuh tempo.

"Jadi, pada saat krisis 98 pemerintah saat itu tidak obral surat utang. Makanya saat krisis kondisi ekonomi Indonesia sangat bagus," demikian Fuad.