Nelayan Jakarta Merasa Dimanfaatkan Elite Politik

Sejumlah tokoh nelayan Muara Angke, Jakarta Utara menyatakan, penghentian reklamasi oleh pemerintah DKI Jakarta hanya membuat nasib mereka semakin terpuruk. Mereka menilai, penghentian proyek reklamasi yang mengatasnamakan kepentingan nelayan, hanya dilakukan untuk kepentingan politik sesaat.


Diding Setiawan, Pengurus Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke menjelaskan, setelah kontestasi Pilkada Jakarta selesai, nasib nelayan tidak diperhatikan para pihak yang selama ini meributkan rekla­masi. "Mereka memanfaatkan kami untuk memenangkan pemilihan gubernur. Setelah itu kami diabaikan," katanya, kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Pria yang sebelumnya gencar menolak reklamasi ini men­jelaskan, kurangnya sosial­isasi membuat sebagian nelayan Muara Angke salah persepsi mengenai reklamasi. Situasi ini semakin diperburuk dengan pro­vokasi dari politisi dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari luar.

Belakangan, para nelayan menyadari, polemik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir hanya merupakan pertarungan politik para elite. Adapun ne­layan hanya menjadi bagian dari objek yang digunakan untuk kampanye mereka.

Menurut Diding, sepanjang dua tahun musim barat di mana nelayan tidak bisa melaut, tidak ada satu pihak pun yang se­lama ini menolak reklamasi turut membantu. Dia berharap, bantuan datang dari swasta, termasuk pengembang melalui berbagai program corporate so­cial responsibility (CSR).

Nelayan akan menerima dengan baik, ujar Diding, jika pengembang dan pemerintah duduk bersama mencari solusi menyejahterakan nasib mereka.

"Kalau tujuannya memberi manfaat bagi semua masyarakat termasuk nelayan, kami akan dukung. Sudah kagok maka lanjutlah, masa dihentikan,"  tegasnya.

Meski demikian, pengembang harus memenuhi seluruh kewa­jiban terlebih dahulu. Termasuk mengakomodasi kepentingan nelayan. "Saya minta kita dis­kusi aja, sama-sama ngobrol. Jangan menjadikan kami sebagai bumper. Jadikan kami sebagai jembatan dengan pengembang," ungkap Diding.

Pemerintah berencana mem­bangun 17 pulau reklamasi se­bagai bagian dari pengembangan Pantai Utara Jakarta. Belakangan, pembangunan sejumlah pulau terhenti akibat perbedaan pan­dangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta. Polemik reklamasi juga menjadi komoditas politik yang diper­debatkan dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Hal yang sama disampaikan Warnita, tokoh nelayan Muara Angke lainnya. Menurut dia, mayoritas nelayan sesungguh­nya tidak menolak keberadaan proyek reklamasi. Sejauh ini proyek reklamasi sama sekali tidak merugikan nelayan.

Sebagai program pemerintah yang sudah digagas sangat lama, reklamasi Teluk Jakarta dini­lai sudah mempertimbangkan seluruh potensi dampak yang timbul baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. "Ini perencanaannya telah matang," ungkap Warnita.

Menurut dia, semua orang punya hak untuk pro dan kontra terhadap satu proyek besar, ter­masuk reklamasi. Namun, dia menyayangkan sebagian kecil nelayan penolak reklamasi yang dimanfaatkan untuk kepentin­gan politik. Padahal, mereka yang mayoritas bukan nelayan asli Jakarta sesungguhnya tidak mengerti apa-apa.

Data Badan Pusat Statistik Jakarta Utara mencatat, jumlah nelayan sampai tahun 2013 se­banyak 24.028 jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah nelayan penetap yang notabene warga Jakarta tercatat 6.268 jiwa (26,1%). Sementara nelayan pendatang yang bukan warga Jakarta men­capai 17.760 jiwa (73,9%). Sampai saat ini belum ada data terbaru mengenai jumlah ne­layan di Pantai Utara Jakarta.

Sebagian besar nelayan yang selama ini ribut bukanlah berasal dari Jakarta. Bahkan, nelayan penetap yang sudah berpuluh tahun tinggal di Pantai Utara Jakarta seringkali tidak mengenal keberadaan mereka. Baik Diding maupun Warnita ber­harap, tak ada lagi polemik yang mengatasnamakan nelayan, apalagi setelah proyek ini dihen­tikan nasib mereka juga semakin sengsara. ***