Prinsip Inklusi dan Kesetaraan Harus Ditanamkan dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pengaturan sistem pendidikan nasional harus berlandaskan amanat UUD 1945. Prinsip inklusi dan kesetaraan harus ditanamkan dalam pengembangan sektor pendidikan di tanah air.


"Pengaturan sistem pendidikan nasional harus menyeluruh agar prinsip-prinsip inklusi dan kesetaraan dalam pengembangan pendidikan nasional dapat direalisasikan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, Rabu (28/9). 

Menurut Lestari, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan bernegara yang diamanatkan pembukaan konstitusi UUD 1945. 

Sebagai salah satu tujuan bernegara, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, sektor pendidikan harus mendapat perhatian serius semua pihak lewat berbagai dinamikanya seperti proses pembuatan kurikulum, peningkatan kesejahteraan guru dan lembaga, serta elemen pendukung lain yang terkait dengan  peningkatan kualitas sumber daya manusia di negeri ini. 

Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, pendidikan inklusi adalah sebuah keniscayaan dengan mewujudkan pendidikan nasional yang lebih manusiawi, adil dan beradab. 

Dajukannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam pembahasan di parlemen, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan momentum untuk merealisasikan sistem pendidikan yang lebih inklusif dalam cetak biru pendidikan nasional. 

"Inilah saat yang tepat bagi kita untuk memperbaiki sejumlah aturan di sektor pendidikan agar lebih inklusif, karena setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang layak," ujarnya. 

Menurut Rerie, pendidikan tidak terbatas pada transfer pengetahuan, tetapi juga merupakan transfer pembelajaran. Sehingga, tambahnya, pendidikan dialektis penting untuk ditanamkan sejak dini. 

Dinamika dialogis dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif, tegas Rerie, sangat dibutuhkan dalam upaya pembenahan  sistem pendidikan untuk setiap anak bangsa. 

Anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif di tanah air masih banyak menghadapi tantangan. 

Kendala-kendala yang terjadi di lapangan dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif, menurut Ratih, harus menjadi dasar pertimbangan para pemangku kepentingan untuk menyusun strategi dalam membangun sistem pendidikan nasional. 

Diakui Ratih, dalam draf RUU Sisdiknas ada sejumlah hal yang positif untuk mendorong sistem pendidikan yang lebih inklusif antara lain diakuinya guru pada pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai tenaga pengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan sejak dini. 

Tidak masuknya RUU Sisdiknas dalam Prolegnas 2023, menurut Ratih, antara lain disebabkan adanya tekanan publik yang berharap RUU tersebut lebih banyak mengakomodasi berbagai masukan masyarakat. 

Diakui Ratih, banyak kritikan masyarakat terhadap RUU Sisdiknas karena antara lain RUU tersebut dianggap merendahkan martabat guru dan dosen, lebih liberal, dan mendorong pengelolaan perguruan tinggi berorientasi bisnis. 

Sejumlah penilaian masyarakat itu, menurut Ratih, konsekuensi dari kurang transparan dan partisipatifnya penyusunan RUU Sisdiknas itu. 

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek RI, Anindito Aditono berpendapat banyak hal positif dalam RUU Sisdiknas yang tidak dikomunikasikan dengan baik ke masyarakat. 

Karena sejatinya, ujar Anindito, urgensi kehadiran RUU Sisdiknas karena didorong adanya kesenjangan mutu pendidikan yang tinggi antardaerah, kualitas pendidikan rendah yang erat dengan budaya birokratis dan guru yang belum sejahtera. 

Menurut Anindito, pada asesmen nasional 2021 terungkap kesenjangan antara siswa kaya dan miskin dengan pola pengajaran yang sama berjarak 2-3 tahun. Selain itu capain pendidikan terendah sekolah di Jawa itu setara dengan capaian pendidikan tertinggi sekolah di luar Jawa. 

Kehadiran RUU Sisdiknas, ujar Anindito, bertujuan untuk menghilangkan kesenjangan tersebut. 

Upaya menghadirkan teknologi dalam pelaksanaan pendidikan, menurut Anindito, merupakan bagian dari solusi untuk menghilangkan kesenjangan yang ada. 

Fakta bahwa masih ada infrastruktur yang belum merata di setiap daerah, ujar dia, harus jadi perhatian bersama untuk segera direalisasikan agar kita mampu mengatasi kesenjangan di bidang pendidikan. 

Karena, jelas Anindito, dana pendidikan yang dikelola Kemendikbudristek hanya 3% dari 20% dana pendidikan yang dialokasikan pada APBN. Pendanaan sektor pendidikan, ujarnya, merupakan tanggung jawab bersama antar kementerian dan lembaga.