Barongsai: Upaya Bersama Komunitas Hadapi Teror Nian Terhadap Penduduk

Foto: Tarian Barongsai Saat Dimainkan Di Sebuah Kelenteng Di Pecinan Semarang. Tradisi Barongsai Dimulai Dari Teror Nian (Makhluk Jahat) Kepada Penduduk, Yang Kemudian Berhasil Diusir. Foto: Soetjipto/RMOLJateng
Foto: Tarian Barongsai Saat Dimainkan Di Sebuah Kelenteng Di Pecinan Semarang. Tradisi Barongsai Dimulai Dari Teror Nian (Makhluk Jahat) Kepada Penduduk, Yang Kemudian Berhasil Diusir. Foto: Soetjipto/RMOLJateng

Barongsai merupakan kesenian asal Tiongkok paling populer. Permainan oleh dua orang mengenakan kostum seperti harimau dengan gerakan lincah, disertai atraksi-atraksi dan gerakan akrobatik diiringi tabuhan tambur dan gembreng kini seolah menjadi bagian dari kesenian rakyat di Indonesia.

Bagaimana sejarah munculnya kesenian barongsai? wartawan RMOLJateng, Soetjipto, menuliskan laporannya yang dihimpun dari berbagai sumber. 

Barongsai memiliki sejarah keberadaannya dari tanah Tiongkok kuno. Konon kesenian ini mulai dimainkan lebih dari 2.000 tahun silam. 

Di Kota Semarang, ada seorang tokoh Khonghucu yang juga dalang wayang potehi terkenal bernama Teguh Chandra Irawan (Thio Tiong Gie). Pada masa hidupnya, ia pernah mengisahkan awal mula kesenian barongsai. Kesenian ini menurutnya, dimulai dari teror nian (makhluk jahat) kepada penduduk di musim dingin pada zaman Tiongkok kuno. 

Makhluk jahat tersebut berupa binatang buas yang seringkali masuk ke pemukiman penduduk pada malam hari. Binatang ini tak segan melukai penduduk, merusak tanaman maupun pekarangan rumah warga.  Penduduk pun ketakutan dan tidak berani keluar rumah jika malam tiba. 

Didera teror makhluk jahat, penduduk kemudian memikirkan cara untuk melawan dan mengusir nian tersebut. Mereka lantas membuat tumpukan dari kayu dan bambu di tanah lapang tengah desa. Sedangkan kaum laki-laki dewasa bersembunyi sambil menyiapkan benda-benda yang jika dipukul menimbulkan suara gaduh. 

Malam tiba, makhluk jahat yang ditunggu-tunggu pun datang masuk ke perkampungan. Serentak warga membakar tumpukan bambu dan memukul benda-benda yang telah disiapkan. Sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk dan gaduh. 

Hewan jahat itu pun ketakutan. Mendengar letupan tabung bambu yang terbakar seperti letupan petasan, nyala api, serta suara benda dipukul bertalu-talu, nian melompat-lompat untuk menghindar dan akhirnya lari ketakutan meninggalkan perkampungan dan menghilang ke dalam hutan. 

Sejak saat itu, hewan buas itu tidak pernah muncul mengganggu warga di perkampungan lagi. 

Atas keberhasilan mengusir nian, penduduk bergembira dan membuat tarian mirip dengan hewan buas tersebut. Diselimuti kain, satu orang berdiri di depan memerankan sebagai kaki depan dan kepala, satu orang lainnya membungkuk di belakang memerankan badan dan kaki belakang. Mereka kemudian menari-nari diiringi tetabuhan seperti ketika mereka mengusir nian. Dalam perkembangannya tetabuhan itu berupa tambur dan gembrengan. 

Gerakan kaki depan dan badan melompat-lompat juga dipraktekkan dalam tarian, menirukan gerakan nian melompat-lompat ketakutan. Adapun letupan bambu yang dibakar, dalam perkembangannya digantikan oleh letupan petasan kecil (petasan rawit) yang terkadang mengiringi tarian barongsai.