Biar Tak Merugi, PLN Dijanjikan Dapat Subsidi

Pemerintah berencana mencabut penerapan skema khusus harga batu bara acuan (Domestik Market Obligation/ DMO) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero.


Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan men­jelaskan rencana pencabutan skema tersebut untuk mendong­krak kinerja ekspor nasional. Dia bilang saat ini harga batu bara lagi bagus, sehingga pemasukan kas negara bisa bertambah dari hasil penjualan dengan harga normal tanpa dikurangi.

Data harga DMO yang diter­bitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Juli 2018 tercatat 104,65 dolar AS per ton atau meningkat dari bulan Juni 96,61 dolar AS per ton. Luhut mengungkapkan bakal mencopot aturan DMO.

"Intinya kami mau cabut aturan DMO itu, kalau sekarang ini harga jual normal itu kan bagus," jelas Luhut.

Pencabutan aturan ini secara otomatis akan berdampak lang­sung ke PLN. Pasalnya, aturan ini nantinya resmi mengha­pus ketentuan kuota 25 persen produksi batu bara nasional sebesar 485 juta ton untuk kebu­tuhan PT PLN (Persero). Maka PLN harus siap-siap membeli batu bara dengan harga pasar yang sedang tinggi.

Perlu diketahui dalam Kepu­tusan Menteri ESDM Nomor 1395 tahun 2018, pemerintah menetapkan harga khusus batu bara bagi kebutuhan tenaga listrik dalam negeri.

Setelah ini, PLN perlu memba­yar harga batu bara dengan harga pasar. Namun menurut Luhut, un­tuk mengkompensasi hal tersebut, PLN akan diberikan subsidi agar tidak merugi. Subsidi ini nantinya akan berasal dari dana pungutan kepada perusahaan batu bara. Cara ini dipakai karena terbukti berhasil di industri sawit.

"Cara ini mirip sekali yang saya dapat meniru dana sawit yang dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP)," katanya.

Butuh Waktu

Hanya saja, pemerintah masih butuh waktu untuk menentukan tarif pungutan tersebut. "Apakah nanti dana pungutannya sebesar 2 dolar AS per ton atau 3 dolar AS per ton, nanti kami akan rapatkan lagi," jelas Luhut.

Selain itu, pemerintah juga memastikan akan membentuk badan baru demi mengelola dana pungutan ekspor batu bara yang rencananya akan berada di bawah Kementerian Keuangan.

"Dengan asumsi seluruh produksi batu bara tahun ini sebesar 485 juta ton diekspor semua, berapa dana yang bisa didapat PLN," ucap Luhut.

"Di sisi lain, dengan harga jual yang bagus, Indonesia bisa dapat tambahan devisa 5 miliar dolar AS jika tidak ada kuota DMO," imbuhnya.

Luhut juga mengungkapkan, aturan itu membuka peluang adanya trader-trader tidak jelas. "Saya kan dulu Menperindag. Ka­lau ada kuota-kuota begitu pasti ada trading enggak jelas. Jadi eng­gak baik juga," tambahnya.

Padahal awal bulan Juli PLN mencatat banyak pengusaha batu bara yang tidak menjalankan kebijakan DMO. Perseroan pun terkena dampaknya karena pa­sokan batu bara untuk produksi listrik terhambat.

Direktur Utama PT PLN (Per­sero) Sofyan Basir pun sempat mengadukan hal ini kepada Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono.

"Ya sudah komunikasi ke Pak Bambang Gatot. Dikirim surat untuk dipanggil. Begitu prosesnya," katanya.

Jika seluruh perusahaan batu bara mematuhi aturan, PLN akan mendapatkan pasokan mencapai 121 juta ton batu bara.

Sofyan mengungkapkan, pe­rusahaan-perusahaan tambang batu bara yang nakal itu bukan perusahaan besar yang memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Per­tambangan Batu Bara (PKP2B).

"Bukan dari pengusaha besar, ini pengusaha IUP-IUP. Ini kan ditegur sama Pak Dirjen (Bam­bang Gatot Ariyono)," katanya.

Asosiasi Pertambangan Ba­tubara Indonesia (APBI) me­nyatakan, tak semua pengusaha batu bara bisa menjalankan ke­wajiban DMO sebesar 25 p dari rencana produksi.

Sebab, ada produsen batu bara yang lebih banyak memproduksi batu bara dengan kalori tinggi di atas 5.000 kcal/kg. Sementara batu bara yang dibutuhkan PLN berbeda spesifikasinya, yakni batu bara dengan kalori 4.200 kcal/kg-5.000 kcal/kg. "Tentu tidak semua produsen spek batu baranya memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh PLN," kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia.