Dari Kejayaan Hingga Konflik: Penyerbuan Demak Terhadap Portugis Di Malaka


Pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16, hubungan perdagangan di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh keberadaan Malaka sebagai pusat perdagangan utama. Malaka menjadi tujuan utama bagi banyak wilayah untuk mengirim dan menerima barang dagangan.

Sebagai pusat perdagangan terbesar, Malaka menghubungkan berbagai wilayah seperti Demak, Palembang, Jambi, dan Surabaya. Palembang menonjol sebagai bandar perdagangan terbesar setelah Malaka, mengirim barang-barang seperti beras, kapas, rotan, dan madu. Diikuti oleh kerajaan-kerajaan di Jawa yang dipimpin Demak, termasuk Gresik, yang memiliki hubungan perdagangan erat dengan Malaka, terutama dalam pengiriman beras dan hasil bumi lainnya. Jambi, meskipun lebih kecil, dikenal dengan pengiriman emas dan lignaloes apoteker, serta berbagai makanan pokok. Keterkaitan hubungan dagang ini membuat terganggunya Malaka berdampak pada seluruh peta perdagangan di kawasan Asia Tenggara.

Setelah Malaka diambil paksa oleh Portugis, penguasa di sekitar kawasan mengalami gangguan terbesar, terutama penguasa besar pemilik bandar perdagangan, yaitu Patih Raden dan Patih Unus. Kepemimpinan di tanah Jawa dan bandar besar seperti Palembang dan Jambi dikuasai oleh Patih Raden.

Pengelolaan kekuasaan Demak dilakukan melalui triumvirat antara Patih Raden dari Demak, Patih Unus dari Jepara, dan Sunan Kudus. Patih Raden, selaku penguasa Palembang dan Jawa, mengalami kerugian besar akibat interupsi perdagangan oleh Portugis. Secara geografis, Palembang memiliki kepentingan terbesar dalam perdagangan dengan Malaka dibandingkan dengan Demak.

Patih Unus, saudara ipar Patih Raden dan penguasa Jepara, juga mengalami interupsi perdagangan dari berbagai wilayah strategis, termasuk pulau-pulau sekitar Sumatra seperti Jambi dan Bangka.

Patih Unus terlibat dalam kegiatan perdagangan yang luas dan mengelola hubungan perdagangan antara wilayah-wilayah ini dengan pusat perdagangan utama di Malaka. Walau berpusat di Jepara, Patih Unus adalah peranakan Malaka. Ayah dan ibunya menikah di Malaka, menjadikannya orang Malaka yang telah menjadi keluarga Demak dengan menikahi saudara perempuan Patih Raden. Oleh karena itu, ketika Portugis mengambil paksa Malaka, upaya pengambilalihan kembali Malaka untuk stabilitas perdagangan harus dilakukan. Tidak ada yang lebih tepat memimpin penyerbuan ini selain Patih Unus, orang yang berasal dari Malaka.

Bagaimana mungkin Patih Unus menyerang wilayah yang tidak ia kenal dengan baik?

Dalam penyerbuan Demak, para prajurit dan uang yang dikerahkan bukan hanya dari wilayah Demak yang kita kenal sekarang, melainkan juga dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh Pate Rodim atau Patih Raden, meliputi Demak, Palembang, Jambi, dan berbagai wilayah di Jawa dari Cirebon hingga Surabaya. Semua mengerahkan kekuatan finansial dan militernya untuk merebut bandar terbesar di Asia Tenggara, yaitu Malaka.

Pada tahun 1513, Patih Unus memimpin armada laut besar-besaran untuk merebut kembali Malaka dari tangan Portugis. Ekspedisi ini melibatkan armada besar yang diungkapkan oleh Portugis, tidak kurang dari 100 kapal dan 5.000 pasukan dari berbagai wilayah di bawah kekuasaan Demak, termasuk Jepara, Palembang, dan wilayah lainnya. Palembang menjadi basis dan pusat pergerakan untuk melawan Portugis di Malaka.

Namun, meski pun persiapan dan jumlah pasukan besar, penyerbuan diam-diam di tengah malam ini tetap gagal. Hal ini disebabkan kecanggihan teknologi kapal-kapal Portugis yang bisa berlayar melawan arah angin. Upaya untuk melakukan pertempuran di darat tidak berhasil, dan kapal-kapal Portugis berbalik memburu kapal-kapal aliansi Demak.

Dalam pertempuran tersebut, banyak kapal jung dan kapal pangjava dari wilayah Palembang dan Japara yang hancur, dan banyak komandan serta pasukan dari wilayah-wilayah ini yang kehilangan nyawa mereka. Meskipun gagal, penyerbuan tersebut menunjukkan komitmen kuat penguasa Demak untuk mempertahankan kendali atas wilayah strategis ini dan melindungi kepentingan perdagangan mereka.

Kerugian atas penyerbuan tersebut dikatakan oleh Portugis mencapai ratusan ribu cruzado. Dengan asumsi kerugian senilai 250.000 cruzados pada masa itu setara dengan 1 juta gram emas. Jika dihitung dengan nilai emas sekarang kurang lebih Rp 1.362.835,49 per gram, maka nilai kerugian akibat penyerbuan tersebut mencapai minimal Satu Triliun Tiga Ratus Enam Puluh Dua Miliar Delapan Ratus Tiga Puluh Lima Juta Empat Ratus Sembilan Puluh Ribu Rupiah dengan uang sekarang.

Pasca penyerbuan, Demak dan seluruh aliansinya tidak melakukan perdagangan ke Malaka dan melakukan embargo penuh. Mereka mengalihkan perdagangan utamanya dan memperkuat poros hubungan dengan Samudra Pasai. Hubungan ini bukanlah hubungan baru, melainkan sudah ada sejak abad ke-14 yang ditandai dengan keberadaan nisan Pasai pada tahun tersebut di kawasan lama Demak sekarang.

Tidak heran, ketika Portugis berusaha berkuasa di Sunda Kelapa, aliansi Pasai dan Demak berupaya keras menggagalkan rencana tersebut dan melahirkan kota baru Jakarta.

Sariat Arifia, akademisi, peneliti sejarah dengan minat yang mendalam pada sejarah Nusantara, mencurahkan enam tahun terakhir untuk mengungkap kisah heroik Fatahillah dan Wali Songo dalam melawan penjajahan Portugis. Melakukan penelitian dengan metodologi penelitian Indo-Islami-Arkeologi yang dirintis Prof. Dr. Muarif Ambary, Sariat telah menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia, dari Aceh hingga Pasuruan, mengumpulkan dan berupaya memetakan tipologi nisan dan bukti arkeologis lain yang belum pernah terungkap sebelumnya.