Malik Ibrahim, Bukan Sekedar Saudagar

Oleh : Sariat Arifia
Sariat Arifia
Sariat Arifia

Tulisan dan tayangan tentang Malik Ibrahim atau Wali Songo setiap bulan Ramadan selalu ramai. Namun isi bahasan selalu itu lagi, itu lagi. Hal ini menjadi bukti bahwa sejarah Islam di Tanah Jawa masih dalam cengkeraman kuat historiografi yang disusun oleh De Graff dan Snouck Hurgronje.


Salah satu kekeliruan mendasar dalam mengurai sejarah Malik Ibrahim adalah tidak membaca apa isi epigrafi pada senotap Malik Ibrahim.

Isi dan tulisan yang memberikan keterangan tentang siapa Malik Ibrahim justru di abaikan dan di beri interpretasi yang jauh dari realitasnya.

Penelitian tentang Malik Ibrahim yang di muat dalam Jurnal berjudul Malik Ibrahim The first islamic authoritative ruler in the land of Java, menghadirkan perspektif baru yang membantah pandangan populer yang menyebut beliau sebagai saudagar yang berdakwah melalui perdagangan.

Media kerap mengutip Malik Ibrahim sebagai seorang saudagar yang menggabungkan perdagangan dengan dakwah, menonjolkan sisi toleransi dan pendekatan sosial dalam menyebarkan Islam.

Namun, analisis epigrafi yang tertera pada Senotapnya menunjukkan bahwa beliau memiliki peran yang jauh lebih besar. 

Pada gelar yang tertulis di senotap tersebut, tidak ada gelar seperti "Malik al-Tujjar" (Raja Pedagang) yang biasa ditemukan di makam pedagang, melainkan gelar yang mempertegas posisinya sebagai pemimpin Islam pertama di Jawa yaitu Malik Ibrahim.

Gelar gelar Malik ini sama halnya seperti kita mendengar Malik as Shalih di Samudra Pasai, sama dengan Malik Ibrahim di Gresik.

Ini adalah gelar yang serupa. Artinya kata Malik ini menunjukkan gelar yang serius dan kedudukan yang memiliki otoritas penting.

Gelar ini tentu menjadi omong kosong apabila tidak disertai bukti bukti yang menyertainya. Bukti arkeologis yang sangat penting adalah Senotap Marmer yang berisi pahatan pahatan tentang keterangan siapa Malik Ibrahim.

Senotap marmer ini hanya terjadi pada Masa Malik Ibrahim dan menjadi Senotap paling mahal yang ada di Tanah Jawa.

Kalau kita sanding sandingkan. Maka akan kita temukan senotap senotap marmer ini terdapat pada nisan nisan tokoh Islam kelas dunia, Penguasa penguasa Islam.  

Gelar yang tertera di makam Malik Ibrahim yang menunjukkan bahwa ia adalah "Tiang atau Pilar Para Sultan," menunjukkan statusnya bukan sekedar perantau pedagang, tapi ia pemimpin otoritas Islam yang terkoneksi dengan kekuasaan politik lainnya.

Kekuasaan paling terdekat dengan Samudra pasai, dan terjauh hingga Cina dan juga sampai ke Gujarat India.

Temuan lainya pada komplek Malik Ibrahim adalah Nisan Komunal, sejenis yang berderet menunjukkan kehadiran pemimpin pemimpin Komunal Islam lainnya dan juga keberadaan Bentar atau Paduraksa yang menunjukkan penghargaan penghargaan kepadanya merupakan pengakuan pengakuan sebagai penguasa otoritas.

Pembangunan pelabuhan Gresik sebagai hub rempah dan pusat penyebaran Islam juga mempertegas peran Malik Ibrahim sebagai figur sentral dalam struktur kekuasaan yang melibatkan Pasai, kerajaan Jawa, dan Dinasti Ming.

Proyek bersama ini menunjukkan integrasi strategis antara agama, perdagangan, dan politik. Malik Ibrahim tidak hanya bertanggung jawab atas keamanan jalur rempah, tetapi juga memainkan peran penting sebagai penasihat spiritual dan politik, sebagaimana tertulis dalam inskripsi makamnya.

Oleh karena itu sebagai sebuah historiografi, berdasarkan epigrafinya tidak bisa di tolak bahwa Malik Ibrahim merupakan penguasa Islam otoritatif di pulau Jawa.

Gresik menjadi titik awal dari hadirnya seorang penguasa, Malik, seorang Gubernur besar, atau Patih di pulau Jawa.

Signifikansi Malik Ibrahim, di gambarkan di dalam pahatan senotapnya, di antaranya Malik Ibrahim adalah sosok penguasa otoritas Islam yang memancarkan nilai-nilai luhur Islam melalui seluruh jejak kehidupannya.

Gelar "Assaid Assyahid," yang tertulis pada epigraf makamnya, mengukuhkan beliau sebagai seorang syahid yang berbahagia, seseorang yang mengorbankan dirinya demi kepentingan agama dan kemanusiaan.

Dalam dakwahnya, Malik Ibrahim memegang teguh prinsip "Tidak ada paksaan dalam beragama."

Melalui pendekatan damai dan penuh toleransi, beliau memberikan ruang bagi setiap individu untuk mengenal Islam tanpa tekanan, mengajak dengan hati yang terbuka dan kebaikan yang tulus.

Keistimewaan yang tak kalah penting adalah sifat beliau sebagai pecinta fakir miskin. Penguasa manakah yang siap untuk diukir namanya sebagai pecinta fakir miskin?.

Malik Ibrahim dikenal tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai penguasa yang mengutamakan kesejahteraan dhuafa.

Kepeduliannya terhadap mereka yang lemah menunjukkan komitmennya untuk menjadikan Islam sebagai agama yang menghadirkan keadilan sosial dan cinta kasih kepada sesama.

Dengan karakter yang mengharmoniskan antara spiritualitas, toleransi, dan kemanusiaan, Malik Ibrahim tidak hanya meninggalkan jejak masuknya Islam dengan damai, tetapi juga warisan moral yang tak terhapuskan di tanah Jawa.