Kejayaan Demak

 H Sariat Arifia Abdillah Al Huseini
H Sariat Arifia Abdillah Al Huseini

Kejayaan adalah puncak kemakmuran, prestasi kekuatan atau pengaruh dalam lintasan sejarah satu bangsa, yang meliputi berbagai dimensi baik dimensi ekonomi berupa produksi ataupun perdagangan, dimensi teknologi dan kemampuan militer dan juga diplomasi, serta juga kemampuan dalam  pembentukan peradaban.

Peta kejayaan Demak jelas menunjukkan bahwa pada periode tahun 1527 sampai dengan 1550 Demak berada pada puncak kejayaan, baik kemakmuran, kemampuan militer, diplomasi maupun juga sebagai pionir dalam penyebaran Islam ke arah barat Pulau Jawa dan kota-kota lainnya.

Kisah Kepemimpinan Demak di tanah di Jawa, diawali dari perjalanan agen intelijen Portugis, sekaligus sepupu raja Portugis, Tome Pires yang mengunjungi langsung tanah Jawa pada tahun 1514. Pada saat itu Portugis telah merebut Malaka dan telah mendirikan benteng di Maluku.

Ketika sampai di Pelabuhan Gresik, ia menghadap Sunan Giri Atau Patih Zainal Abidin, sebagai patih tertua di Jawa. Saat itu, Sunan Giri dengan wibawanya dan dengan pakaian yang sederhana memberikan jawaban yang jelas kepada Tome Pires sebagai perwakilan Portugis yang mengutarakan bahwa Penguasa Malaka yang baru yakni Kapten Mayor Afonso Albuquerque ingin bekerjasama dengan para penguasa di tanah Jawa, “Kalau Kapten-Mayor Afonso de Albuquerque berdamai dengan penguasa Demak, maka otomatis seluruh penguasa Jawa juga akan mengikutinya.

Sunan Giri memberikan penegasan penuh bahwa Patih Raden telah diangkat berdasarkan musyawarah para patih penguasa Jawa pada masa itu. Padahal pada tahun 1514, usia Patih Raden yang dikenal luas sebagai Raden Trenggono masih belia yaitu berusia sekitar 30 tahunan.

Raden Trenggono tentunya dengan tegas menolak bekerjasama dengan Portugis. Terlebih lagi Raden Trenggono beserta saudara iparnya, Patih Unus dari Jepara, baru saja menggempur Portugis habis-habisan di Malaka.

Pelabuhan Jepara, selain sebagai pelabuhan yang indah karena memiliki teluk, menjadi kunci maritim sebagai pelabuhan hub seluruh Jawa. Hal ini disebabkan karena Jepara terletak di tengah-tengah seluruh Jawa, dan jaraknya sama baik ke Cirebon mau pun ke Gresik. Tidak hanya itu, Jepara juga menghubungkan Jawa dengan Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Pada masa itu berlian-berlian dari Tanjungpura dan Banjarmasin mengalir ke Jepara. Jepara menjadi pusat perdagangan berlian.

Dengan posisi Jepara yang berada di depan pulau Jawa, maka Jepara menjadi benteng terdepan pusat kekuatan angkatan laut Demak. Semua serbuan langsung ke Demak tentunya harus berhadapan dengan Jepara lebih dahulu.  Bentang alam Jepara memiliki 3 pulau kecil-kecil di depan pelabuhannya yakni Karimun Jawa, Cemara Besar dan Mandalika. Tentunya bukan kebetulan secara garis besar, bentang alam seperti ini dapat memberikan keuntungan strategis dalam pertahanan militer karena dapat meningkatkan pengawasan, menghalangi akses musuh, menyediakan pusat operasi cadangan, dan memfasilitasi evakuasi serta pengembangan infrastruktur militer.

Portugis membutuhkan 3 bulan untuk menguasai Malaka karena bentang alam yang sulit di depannya yakni adanya pulau kecil yakni pulau Upeh.

Sementara, Demak di pulau Jawa menjadi pusat pertahanan dari pergerakan pasukan darat yang disebut sebagai daerah Bintara. Untuk menyerang langsung juga harus berhadapan dengan Sungai Tuntang. yang menjadi benteng alam seandainya ada serangan-serangan.

Kekompakan Patih Unus di Jepara sebagai pemimpin armada lautan yang siap kemana saja, dengan Raden Trenggono yang siap memobilisasi pasukan daratan berkoordinasi dengan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa saat itu, sekaligus Patih Orob atau yang dikenal sekarang sebagai Sunan Kudus, orang yang membawa tatanan perubahan Islam, oleh Tome Pires digambarkan sebagai Tiga Serangkai yang amat sangat dekat. Tome Pires menggambarkan bahwa baik Raden Trenggono mau pun Patih Unus amat sangat menghormati dan turut kepada nasihat-nasihat Sunan Kudus. Dengan itulah kepemimpinan Demak di tanah Jawa dikelola.   

Menghadapi penolakan Raden Trenggono, Portugis kemudian berupaya memperdaya Kerajaan Sunda dengan iming-iming perjanjian perdagangan. Judulnya perjanjian dagang namun biasanya cuma tipu muslihat penjajahan. Bagi Portugis, memiliki satu benteng saja di satu wilayah maka sama saja dengan menguasai seluruh lautan perairan di dekatnya dan kemampuan mengontrol perdagangan seluruh pulau tersebut.

Pada tahun 1522, melalui perjanjian di Malaka, Portugis bersiap membangun benteng di Sunda Kelapa yang sekarang bernama kota Jakarta. Berita ini tentunya mengundang perhatian besar, penjajahan sudah di depan mata. Perlawanan melawan kolonialisme pertama di tanah Jawa dipimpin oleh Raden Trenggono disiapkan.

Menghadapi kekuatan militer terbesar dan tercanggih saat itu, maka Raden Trenggono melakukan aliansi bukan saja dengan aliansi para patih di tanah Jawa tapi juga dengan Kerajaan Sumatra Pasai yang sekarang berada di kawasan Lhokseumawe, Aceh.

Portugis mencatat sebanyak 8 lembar halaman dalam sejarahnya, bahwa pembangunan benteng di Sunda Kelapa pada sekitar tahun 1527 tidak dapat diteruskan. Hal ini disebabkan adanya Fatahillah, dari Sumatra Pasai yang menjadi panglima perang Demak.

Portugis dalam laporannya mengeluh karena prajuritnya tewas dibantai di Sunda Kelapa dan juga di Banten menghadapi perlawanan yang luar biasa dahsyat. Mereka tidak sanggup bertahan kemudian memutuskan untuk lari ke Malaka dengan terbirit-birit.  Raden Trenggono, rupanya dalam bekerja sama dengan Pasai, juga memobilisir pasukan dari Pasai untuk memperkuat  penjagaan seluruh pesisir utara Jawa dari pendaratan kapal Portugis.

Dengan aliansi dan persatuan yang kuat inilah Demak beserta seluruh aliansi di tanah Jawa dan juga dengan Pasai berhasil mengamankan Sunda Kelapa dan Banten. Tidak kurang dari 100 tokoh penting terlibat di sini, dari Sunan Gunung Jati dan berbagai tokoh dari Cirebon, sampai tokoh dari Aceh, Sumatra di bawah komando Sultan Ali Mughayat Syah yang memainkan perannya masing masing.

Berkat aliansi yang terkoordinir dengan sangat baik ini, maka penjajahan kolonialisme selama 50 tahun ke depan bisa dicegah. Bukan hanya itu saja, Demak juga memperluas kepemimpinannya hingga ke tanah Banten.

Demak dan juga seluruh aliansi di tanah Jawa selama 50 tahun kedepan memperoleh kemakmuran terbesar.  Belakangan, pada sekitar menjelang tahun 1550, Portugis kembali mencatat aliansi bersama besar-besaran antara Demak dengan Aceh saat menyerbu Pasuruan. Dalam penyerbuan ini Raden Trenggono dikabarkan mati syahid. Selepas kematiannya, para patih di Jawa memutuskan kepemimpinan  aliansi  berikutnya diberikan kepada Patih Sedayu.

Melihat luas wilayah dan juga kemakmuran selama masa Raden Trenggono, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kejayaan Demak bukan berada di masa Raden Trenggono. Sebaliknya, kejayaan ini bukan hasil kerja satu orang saja, tapi diawali dari koordinasi satu kesatuan antara Jepara, Kudus dan Demak kemudian ditunjang dengan jaringan yang luas. Bahkan Pasai juga ikut ambil bagian dari penghadangan melawan Portugis di tanah Jawa.

Kemenangan  Aliansi yang dipimpin Demak atas Portugis di Sunda Kelapa merupakan warisan sejarah yang berdampak yang sangat signifikan bagi sejarah Nusantara. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan bahkan sampai hari ini.

Perlawanan mengusir pasukan militer terkuat di dunia saat itu yakni Portugis diperingati menjadi cikal bakal berdirinya kota Jakarta sebagai kota merdeka yang bebas dari kolonialisme asing. Hingga kini, setiap tahunnya, Jakarta memperingati hari jadinya sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang merebut kembali tanah air, termasuk tentunya Raden Trenggono, Pati Unus, dan Fatahillah dari Pasai, Wali Songo dan para pejuang perlawanan melawan kolonialisme tahun 1527.

Renaissance Demak tentunya dimulai dari kesadaran sejarah. Demak tidak pernah akan bisa bangkit kembali apabila melupakan jasa-jasa para pahlawannya. Warisan sejarah Demak terus menginspirasi generasi muda untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme yang tentunya dimulai dengan mengenal para pejuang perlawanan melawan kolonialisme tahun 1527.