Cahaya Integritas: Reformasi Moral Di Balik Gelar Akademik Pejabat Publik

 H Sariat Arifia
H Sariat Arifia

Problematika moral dan hukum dalam masyarakat dan negara adalah isu-isu yang selalu ada dari masa ke masa. Isu ini muncul akibat ketidaksesuaian antara nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat dengan hukum yang berlaku. 

Hal ini bisa  mencakup berbagai konflik dan dilema yang terjadi ketika prinsip-prinsip moral dan hukum tidak berjalan seiring, munculnya dampak-dampak sosial, politik, dan ekonomi yang ditimbulkan.

Dalam masyarakat kontemporer, prinsip-prinsip moral seringkali tidak lagi mampu menafsirkan gaya hidup modern yang sedang tren. Hakikat moralitas sebagai garis pembatas antara benar dan salah, baik dan jahat, bagus dan buruk, menjadi kabur. Nilai-nilai moral yang dulunya jelas kini mengalami pergeseran yang signifikan.

Wacana moralitas pada masyarakat kontemporer telah menjadi ruang tanpa batas (borderless), tanpa garis pemisah yang jelas. Tidak ada lagi kepastian, referensi, atau kategori-kategori yang pasti.

Batas antara baik dan buruk menjadi ambigu, dan konsep benar dan salah kini direlatifkan. Hal Ini menciptakan kekacauan moral di mana segalanya dianggap relatif dan tidak ada standar moral yang kokoh.

Dalam konteks sosial dan ekonomi masyarakat kontemporer, ada dua logika utama yaitu yang pertama, Logika Kebutuhan (Logic of Need) dimana nilai-nilai moralitas tidak lagi menjadi obsesi utama, sebaliknya fokus masyarakat lebih pada pemenuhan kebutuhan dasar. Dan yang kedua,  Logika Hasrat (Logic of Desire) yaitu dimana nilai-nilai fascination dan citra (image) menggantikan eksistensi moral.

Ketika keinginan dan hasrat lebih dominan dibandingkan dengan standar moral maka bangsa kita terlelap dalam bius jagat raya tontonan.  Tontonan-tontonan ini menina bobokan layaknya drama Korea, dengan berbagai dopamin-dopamin kepada kalangan bawah dan kurang terdidik.

Kalangan bawah dan kurang terdidik ini tentunya tidak punya kemewahan untuk berpikir apalagi berpikir panjang, karena mereka dipaksa keadaan untuk menerima mudahnya saja, “Jangan ajak kami untuk berpikir dan bernalar."

Sebaliknya, kalangan terdidik yang paham keadaan merasakan keresahan dan terpaksa meneteskan air mata yang mendalam baru-baru ini menyaksikan tontonan episode drama-drama yang  di pertontonkan tentang gelar akademik bagi pejabat publik.

Ada begitu banyak guru honorer mengabdi tapi nasibnya tidak kunjung jelas sehingga tidak akan pernah bisa bermimpi walau sudah 30 tahun mengajar untuk bisa menjadi guru besar. Padahal dalam kehidupan, dialah sebenarnya telah menjadi guru besar. Keahlian dan kelapangan jiwanya membuat ia menjadi guru besar.

Ada begitu banyak dosen bergulat dengan pembuatan jurnal dan semua administrasi yang harus terjadi dalam waktu bersamaan. Di sisi lain mereka menghadapi keterbatasan ekonomi.

Hiruk pikuk kompleksitas problematik di dunia Pendidikan makin menggunung, ketika terlihat keberadaan promiskuitas ekonomi yang terjadi ketika nilai-nilai ekonomi dan materialisme mendominasi kehidupan sehari-hari, mengaburkan batasan moral. Dimana praktek memperoleh gelar akademik secara instan tanpa melalui proses yang semestinya dan cara-caranya mudah, ada dugaan-dugaan praktek imbal jasa berupa jabatan, ada juga mungkin sejumlah uang di balik itu.

Kalau negara diam melihat praktek-praktek ini, apakah negara  sudah siap kalau seluruh penguasa politik masuk kampus dengan menawarkan jabatan jabatan komisaris untuk  para dosen dan profesor yang butuh? Gelar hanya sebatas tawar menawar dan kuliah pembelajaran juga menjadi tidak penting. 

Apakah negara kita di desain untuk memasuki peradaban ini? Inikah standar moral negara kita yang baru dan akan dibakukan oleh mesin institusi pendidikan negara?

Promoiskuitas ekonomi ini kemudian semakin parah lagi dengan dilanjutkan melalui promiskuitas informasi yang merujuk pada pertukaran informasi tanpa batasan atau filter moral yang jelas.

Ada serangkaian operasional dan penggunaan perangkat taktik pengelolaan segenap orang atau pun followers, dan apa pun itu untuk melakukan serangkaian kegiatan yang memberi justifikasi bahwa ini adalah biasa. Tidak ada masalah. Dalam masyarakat yang penuh dengan berita dan informasi instan, hal ini menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi relatif dan sulit dibedakan dari kebohongan.

Ada semaca trend, “Tidak masalah toh dia juga sudah melakukan. Kenapa saya enggak bisa? Boleh dong”. Jagat raya tontonan malah semakin banyak perdebatan bahan bagus buat di jadikan tambahnya viewer. Biar kelihatan cool. Keren mudah kok, tinggal cetak kaos dan bagi-bagi hadiah.

Toh orang yang memperjuangkan kebenaran, atau konsep moral lama adalah orang yang tidak keren dan sok suci. Oleh karena itu negara harus diam, jangan bersuara.

Problematika moral dan hukum negara ini harusnya sudah disikapi para pemimpin bangsa dan harusnya sudah bisa menginisiasi kepantasan. Karena walau bagaimana pun pejabat publik, mau tidak mau, suka tidak suka, membawa misi negara mencerdaskan kehidupan bangsa  yang diantaranya adalah dengan memberikan pendidikan tontonan yang benar dan baik bagi masyarakatnya. Bukan pada arah sebaliknya.

Bagi seorang pendidik, gelar dan penghargaan bukanlah faktor penentu dalam menentukan hasil pendidikan suatu bangsa. Yang utama adalah keteladanan dari para pemimpin dan pendidiknya. Tanpa keteladanan tidak pernah akan ada peradaban yang akan bisa di bangun. Ingat, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Bila negara terus diam, kita akan menyasikan episode berikutnya orang-orang yang akan bukan saja kencing berlari, tapi kencing sambil terbang.

Bagi Pancasila, bagi misi pencapaian bangsa ini, cahaya integritas itu harus selalu hidup. Negara tidak pernah sedetik pun berada di dalam kegelapan.

Dalam konteks itu, reformasi moral penting bagi negara  untuk menguatkan kembali standar moral dan hukum untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat bahkan di dalam gelar-gelar kehormatan atau pun akademik dan juga atribusi penghargaan penghargaan bagi para pejabat publik ini. Bagaimanakah kepantasan yang seharusnya?

Kita berdoa dan senantiasa berdoa, agar Indonesia berapa pun ditaburi kegelapan semoga Tuhan memberi kita kekuatan untuk memberi cahaya, dan kita jangan pernah letih untuk itu. Karena Tuhan sendiri adalah cahaya yang tidak pernah padam.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga.