Puasa Ramadan: Melatih Kejujuran dan Integritas di Tengah Mega Korupsi Bangsa


Hari ini adalah hari pertama puasa di bulan Ramadan di tahun 2025. Bulan ini menjadi satu “pause” bagi yang kita biasa sering bergelut dengan aktivitas sosial yang begitu tinggi, dimana pada bulan ini selama sebulan penuh, yang paling mudahnya saja yaitu tidak boleh makan dan minum ketika sedang menjalankan kegiatan kegiatan rutin sehari hari. 

Sebenarnya, sebagaimana puasa yang sudah kita ketahui bukan sekadar menahan lapar dan dahaga saja, tetapi esensinya juga merupakan cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Sejarah kebudayaan kemanusiaan menunjukkan bahwa puasa bukanlah praktik yang baru bagi manusia sebelum Nabi Muhammad mengajarkan tentang puasa, melainkan telah ada sejak zaman dahulu dalam berbagai keyakinan dan kebudayaan manusia.

Puasa memiliki makna yang mendalam untuk merekoneksi hubungan kita dengan Tuhan lebih intense lagi. Dalam puasa sebagai sebuah kebudayaan, Tuhan tidak bisa didekati dengan kemewahan dan materi, tetapi justru melalui pengendalian diri dan menahan hawa nafsu. 

Mengapa demikian? Karena Tuhan tidak bisa di sogok dan di tipu. Puasa di Ramadhan yang sekarang di lakukan, tidak bisa di pertontonkan dan di bangga banggakan.

Berbeda dengan Gerakan Gerakan amaliah lain yang sangat mudah dipertontonkan, seperti memamerkan kegiatan berbagi makanan, pakaian. Tidak ada yang bisa di banggakan dari mempertontonkan haus dan lapar. 

Dengan berpuasa, kita belajar untuk berlapar-lapar dan sebenarnya kita juga belajar menahan diri dari godaan duniawi yang tidak pernah berhenti. 

Puasa karenanya adalah latihan kejujuran yang sangat personal, hanya antara Tuhan yang mengetahui sejauh mana kita menjalankan ibadah puasa dengan kesungguhan hati kita. 

Sungguh beruntung orang orang yang berpuasa dengan kesungguhan kemudian Allah berikan malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Malam kemenangan. Malam yang tidak bisa di urai dengan kata kata dan juga dengan rasa. 

Dalam konteks keindonesiaan, di tengah-tengah tontonan yang mendera kecerdasan dan emosi kita, dari soal pemilihan umum yang di warnai pelanggaran “etika” dan hukum baik nasional maupun pilkada, kemudian juga kasus korupsi di sektor timah dan juga kasus oplosan bahan bakar Pertamina, kita terhenyak. Karena mengapa kok kasus kasus ini begitu bombastis. Sedemikian parahnyakah ketidak jujuran di tempat kita? 

Dengan ketidakjujuran ini, kita tahu bahwa ini pasti bukan untuk Tuhan karena tuhan tidak pernah menghendaki tipu daya, kecurangan, sebaliknya Tuhan merupakan sumber kebenaran, keadilan dan tentunya juga adalah kejujuran. 

Perjalanan seorang manusia menuju tuhannya jelas merupakan perjalanan untuk mencapai derajat seperti sumber sumber kemuliaan tersebut. Bukan sebaliknya.

Kita mungkin tidak bisa menuju kesucian sebagaimana perihalnya orang orang yang Allah pilih, tapi setidaknya kita harus berupaya tidak sepenuhnya terus berada di dalam kegelapan mutlak tanpa Cahaya sedikitpun. 

Kita sudah harus menanamkan Cahaya itu sedikit sedikit agar hidup didalam diri kita, caranya dimulai dengan lapar. Tidak makan dan minum. Hanya dengan tidak makan dan minum maka sesungguhnya manusia bisa memulai mengenal siapa tuhannya. 

Puasa Ramadhan ini merupakan pesan kepada diri saya pribadi, kepada komunitas dan juga kepada bangsa dan seluruh warga manusia yang ada di dunia. 

Jangan terlelap dalam keserakahan dan kegelapan. Itu bukan jalan untuk menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Di ujung, dunia bukan tujuan tapi jembatan untuk hidup yang sebenar benarnya.