Komunikasi adalah nyawa bagi kepemimpinan. Cara seorang presiden, pemimpin satu negara, berbicara kepada rakyatnya tidak hanya mencerminkan kepribadian dan zamannya, tetapi juga menentukan efektivitas pemerintahan dan arah bangsa.
- Malik Ibrahim, Bukan Sekedar Saudagar
- Kejayaan Demak: Menguasai Perdagangan Nusantara Di Abad 16
- Urgensi Regulasi Hukum dan Penegakannya dalam Menghadapi Penyelundupan untuk Ketahanan Negara
Baca Juga
Dalam perjalanan singkat, Indonesia sudah menikmati aneka macam komunikasi presiden, dari gelegar orasi Soekarno hingga strategi 'gemoy' Prabowo Subianto.
Setiap pemimpin Indonesia memiliki gaya unik dalam menjembatani Istana dengan denyut nadi masyarakat dan terkadang dalam pergantian setiap presiden, acapkali komunikasinya saling bertolak belakang. Hal ini mungkin saja, akibat serera masyarakat yang cepat bosan dan butuh perubahan.
Di awal kemerdekaan, Soekarno, Sang Proklamator, adalah maestro komunikasi massa. Gaya komunikasinya low-context, langsung, membakar semangat dengan retorika penuh kiasan dan pekik "Merdeka!".
Bung Karno memiliki kejeniusan dalam mengubah materi yang begitu ditinggi di narasikan menjadi low context sederhana dan dimakan oleh rakyat rakyat kecil.
Di era radio dan pidato lapangan, Bung Karno piawai membius jutaan rakyat, menyatukan Nusantara dengan visi besar dan optimisme kemerdekaan. Ia adalah 'Singa Podium' yang sangat fenomenal pada masanya. Sampai sekarang, pekik “merdeka” ini masih di gaungkan oleh para pengikut pikiran pikiran Soekarno.
Pasca kepemimpinan Soekarno, gaya komunikasi cenderung bergeser. Soeharto selama Orde Baru dikenal dengan gaya high-context – penuh simbol, implisit, dan kontrol. Komunikasinya formal, sering menggunakan bahasa Jawa halus, dan terpusat pada narasi stabilitas serta pembangunan. Pesan kerap tersirat, menuntut audiens memahami 'bahasa' Istana. Media massa di bawah kendalinya menjadi corong utama.
Soeharto di kenal sebagai " Smiling" general. Apa arti senyumnya sendiri tidak bisa di tebak dan perlu kejelian melihat situasi pemaknaannya. Kalimat yang paling banyak di ucapkan dan sangat khas adalah “Daripada”, entah berapa banyak kata daripada yang selalu di sebut sebut.
Berbeda dengan Soeharto, B.J. Habibie, meski juga cenderung low-context (langsung dan teknokratis), tampil di era transisi reformasi yang genting. Komunikasinya cepat, ceplas-ceplos, fokus pada perubahan fundamental seperti kebebasan pers, sementara bola matanya sangat khas dan siapa yang tidak ingat dialah yang mempopulerkan istilah “Teknologi”. Siapapun juga tau bahwa B.J Habibie dalam berkomunikasi adalah orang yang jujur.
Sementara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membawa warna lain. Gayanya juga low-context, egaliter, interaksional, dan dibumbui humor khas (dagelan) yang seringkali kontroversial. Di tengah ketegangan politik pasca-Orde Baru, Gus Dur menggunakan kejenakaan untuk menyampaikan kritik, mencairkan suasana, sekaligus menegaskan nilai-nilai pluralisme dan kemanusiaan, meskipun kadang mengundang multitafsir.
Mungkin pada masanya, koran koran bisa laku keras karena kegemarannya berkomunikasi yang kontroversial. Dalam soal berkomunikasi, ucapannya belum tentu bisa dipegang. Walau ini dianggap sebagai kekurangan, sebaliknya bagi orang tertentu ini dianggap bagian dari karomahnya. Kalau orang orang bertanya, sampai begitu seriusnya maka jawabannya yang paling khas adalah “ Gitu aja kok repot”. Jadi tidak perlu terlalu repot repot memikirkan komunikasi Gus Dur.
Megawati Soekarnoputri juga cenderung high-context. Kharismanya kuat, ditopang warisan nama Soekarno. Namun, gaya komunikasinya kerap dinilai lebih tertutup, menjaga jarak, dan kadang emosional dalam pidato-pidato formalnya.
Retorikanya kuat dalam membangkitkan loyalitas kader ('wong cilik', semangat perjuangan), namun kurang menonjol dalam dialog publik interaktif. Sebagai satu satunya Perempuan di Tengah kancah perpolitikan nasional, tentunya tidak mudah untuk menjadi seperti Megawati.
Gaya gaya komunikasinya sangat dipengaruhi oleh gaya “ rasa” yang mempengaruhi karakteristik kepemimpinannya. Hal ini bukan berarti negative, justru pada moment momentnya menjadi penyegar. Salah satu yang kerap coba di populerkan oleh Megawati adalah “Salam Pancasila”.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandai era 'politik pencitraan'. Gaya komunikasinya sangat terukur, formal, hati-hati, dan cenderung high-context. SBY piawai menggunakan media (terutama televisi) dan pidato terstruktur (bahkan dengan bantuan iPad) untuk membangun citra sebagai pemimpin yang tenang, cerdas, santun, dan bekerja keras.
Kehati hatian SBY dan juga keinginan menghindari risiko tinggi menjadi penyebab timbuknya persepsi negative bahwa SBY dinilai terlalu fokus pada citra dan terkadang lamban dalam mengambil keputusan tegas.
Namun sebagai seorang pemimpin, SBY membawa pesan kuat sebagai seorang pemimpin yang terukur dan berhati hati dalam berbicara. Pesan terkuat bukan pada kata pada SBY, namun gitar dan sederet alat Lukis membawa pesan seni yang begitu kuat.
Kehadiran Joko Widodo (Jokowi) membawa perubahan signifikan. Gayanya populisme merakyat, membumi, dan sangat mengandalkan komunikasi simbolik. Blusukan menjadi ciri khasnya, upaya mendekatkan diri dan berkomunikasi langsung dengan warga.
Bahasa yang digunakan sederhana dan lugas (low-context verbal), namun seringkali pesannya juga mengandung simbolisme (high-context non-verbal). Jokowi adalah presiden era digital pertama yang secara masif memanfaatkan media sosial untuk membangun narasi kerja nyata, interaksi langsung dan personal branding yang kuat.
Tidak bisa dipungkiri tangan dinginnya membawa kerja nyata walau gagasan ide demokrasi meredup di masanya, dan memang seperti di awal yang di sampaikan “kerja, kerja dan kerja” menjadi legacy dari pemerintahannya.
Prabowo dan Tantangan Komunikasi Kini
Prabowo Subianto menunjukkan evolusi gaya komunikasi yang paling drastis. Dikenal dengan latar belakang militer, gaya komunikasinya di pemilu-pemilu sebelumnya (2014, 2019) kerap dipersepsikan tegas, keras, dan formal.
Namun, pada Pemilu 2024, ia bertransformasi dengan citra 'gemoy' yang lebih santai, humoris, dan merangkul, terutama melalui platform TikTok dan Instagram untuk menggaet pemilih muda. Strategi ini terbukti efektif menggeser persepsi publik.
Di tengah upaya membangun pemerintahannya, pengakuan Presiden Prabowo pada April 2025 bahwa komunikasi pemerintahannya "agak kurang" dan menjadi "tanggung jawab saya" menjadi catatan penting.
Alasannya, preferensi pada "evidence-based performance" (enggan bicara tanpa bukti nyata) dan fokus pada kerja cepat mengatasi masalah mendesak, membuatnya kurang memperhatikan aspek komunikasi publik.
Menarik untuk melihat tantangan ini melalui kacamata budaya, mengingat akar keluarga Prabowo yang berasal dari Banyumas.
Penelitian etnolinguistik mengenai masyarakat Banyumas mengidentifikasi gaya komunikasi (lageyan) yang khas, seperti Cablak (berbicara apa adanya, blak-blakan, jujur), Mbanyol (cenderung humoris, suka melucu dalam bertutur), dan Semblothongan (berbicara bebas, kadang tanpa melihat status sosial, mencerminkan egaliterisme). Karakteristik ini membentuk masyarakat yang dikenal jujur, sabar, menerima (nrima), sekaligus egaliter.
Persona 'gemoy' yang diadopsi Prabowo selama kampanye dapat dilihat sebagai pemanfaatan strategis dari aspek Mbanyol (humor) dan mungkin upaya mendekati semangat Semblothongan (egaliter) untuk lebih dekat dengan masyarakat luas.
Di sisi lain, fokus pada kerja nyata dan keengganan berbicara tanpa bukti bisa jadi merupakan interpretasi ekstrem dari semangat Cablak (kejujuran, fokus pada inti), walau Cablak sejatinya adalah tentang cara berbicara yang langsung, bukan berarti mengurangi frekuensi komunikasi itu sendiri.
Tantangan muncul ketika gaya komunikasi yang efektif di satu konteks (kampanye) tidak secara otomatis berlanjut atau diterjemahkan ke dalam komunikasi pemerintahan yang konsisten.
Di sinilah konsep pener (tepat, pas, sesuai konteks) menjadi relevan. Jika bener berkaitan dengan kebenaran substansi pekerjaan, pener berkaitan dengan ketepatan cara, waktu, dan medium penyampaiannya kepada publik.
Pengakuan Presiden Prabowo mengindikasikan adanya tantangan dalam aspek pener ini. Di era digital yang menuntut kecepatan informasi, transparansi, dan dialog dua arah, komunikasi yang "agak kurang" atau tertunda karena menunggu bukti sempurna bisa menjadi bumerang, membuka ruang bagi disinformasi dan menurunkan kepercayaan publik.
Pentingnya pener dalam komunikasi pemerintahan modern tidak bisa diremehkan. Substansi kerja (bener) yang kuat membutuhkan kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara efektif (pener) agar kebijakan dipahami, dukungan publik terbangun, krisis dapat direspons dengan cepat dan tepat, serta narasi persatuan dapat dipupuk. Komunikasi bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari tata kelola pemerintahan yang baik di era demokrasi digital.
Ke depan, tantangan bagi kepemimpinan Presiden Prabowo adalah menemukan harmoni antara bener dan pener. Ini berarti melanjutkan kerja nyata berbasis bukti, sambil secara sadar membangun strategi dan kapasitas komunikasi pemerintah yang adaptif, transparan, dan dialogis.
Potensi positif dari karakter Banyumas seperti kejujuran (Cablak) dapat diwujudkan dalam transparansi, sementara kerelatifan (Mbanyol) dapat digunakan secara bijak untuk membangun kedekatan, tanpa mengorbankan kewibawaan. Menyelaraskan kedua aspek inilah kunci untuk menavigasi kompleksitas zaman dan memimpin secara efektif.
Komunikasi yang pas dan tepat, bener dan pener, bisa membuat harmoni seluruh komponen bangsa seirama, bergairahnya pasar dan juga pencapaian tujuan lebih efektif di Tengah Tengah bara api ketegangan dunia, yang sebenarnya kita tidak butuh lagi untuk di buat lebih tegang lagi. Kita butuh kata kata yang menenangkan dan melegakan agar fokus kepada tantangan tantanga yang ada di lapangan.
- Peringatan Hardiknas 2025 di Purbalingga, Bakal Dihadiri Prabowo
- Menggoreng Isu Ijazah Palsu Jokowi, Ulah Siapa, Untuk Apa?
- MBG Wonogiri Kembali Dimulai