Dari Armada Cheng Ho ke Strategi Trump, Tantangan Hukum dalam Kepemimpinan Global

Oleh : H Sariat Arifia

Sepanjang zaman, kekaisaran telah bangkit dengan menancapkan pengaruhnya jauh melampaui batas-batas wilayah mereka, namun pada akhirnya, kekuatan tersebut mundur dan memfokuskan kembali pada penguatan internal.


Kisah petualangan maritim Dinasti Ming dan kepemimpinan global Amerika Serikat pasca–Perang Dunia II, menyingkap persamaan yang mencolok. Keduanya memulai proyek ambisius untuk menunjukkan kekuatan di kancah internasional.

Namun kemudian menyadari, bahwa biaya pemeliharaan kehadiran global tersebut sangat luar biasa. Akhirnya, kedua Negara itu, mengubah arah, memprioritaskan kemakmuran domestik. Petualangan Global yang Ambisius: Dari Armada Harta Dinasti Ming hingga Pangkalan Militer AS.

Pada awal abad ke-15, Dinasti Ming berusaha menyatukan Tiongkok yang baru saja melewati masa kekacauan. Dibawah kepemimpinan visioner Kaisar Yongle, ambisi kekaisaran meningkat pesat.

Laksamana Zheng He, yang juga dikenal dengan nama Cheng Ho, memimpin ekspedisi maritim yang luar biasa. Ekspedisi ini tidak hanya menampilkan kehebatan teknologi dalam pembuatan kapal dan pengetahuan navigasi Tiongkok, tetapi juga mendirikan jaringan pangkalan maritim yang luas.

Pangkalan-pangkalan ini berfungsi sebagai titik logistik yang vital sekaligus pos-pos strategis, mengokohkan posisi Tiongkok di Samudra Hindia, Asia Tenggara, bahkan hingga pesisir timur Afrika.

Ekspedisi-ekspedisi tersebut, yang dimulai sekitar tahun 1400, bukan hanya mengenai diplomasi dan perdagangan melainkan, merupakan pernyataan berani dari ambisi global dan usaha menempatkan Tiongkok sebagai “Negeri Tengah” dalam dunia yang saling terhubung. Di tangan Cheng Ho tidak kurang 30 negara dia kunjungai dari asia hingga afrika.

Begitu juga dengan Amerika Serikat, setelah perang Dunia II, Amerika Serikat mengadopsi visi yang serupa dengan tekad untuk menempatkan dirinya sebagai pemimpin di tatanan internasional yang baru.

AS mendirikan pangkalan militer di Eropa, Asia, dan berbagai belahan dunia lainnya. Instalasi-instalasi ini dirancang untuk mengamankan jalur perdagangan vital, mencegah munculnya ancaman baru, serta menyebarkan nilai-nilai demokrasi.  Saat ini tidak kurang ada 800 instalasi pangakalan Militer Amerika di seluruh dunia.

Dalam banyak hal, jaringan pangkalan militer AS ini dapat diparalelkan dengan pangkalan maritim Dinasti Ming, kedua contoh tersebut adalah simbol kekuatan nasional yang dibangun atas janji menciptakan dunia yang lebih aman melalui keterlibatan langsung dan kehadiran nyata di kancah internasional.

Biaya Besar dari Kelebihan Beban

Namun, keagungan dari proyek global yang ambisius itu datang dengan harga yang tinggi. Sekitar tahun 1430, catatan Dinasti Ming menunjukkan bahwa mempertahankan armada kapal Zheng He dan pangkalan-pangkalan maritim pendukung telah menjadi beban fiskal dan administratif yang terlalu berat.

Pengeluaran besar untuk pembuatan kapal, pemeliharaan awak, serta upaya menopang jaringan logistik di luar negeri mengalihkan sumber daya yang sangat berharga dari pembangunan dalam negeri.

Tekanan ekonomi yang semakin meningkat, ditambah tantangan yang tumbuh di sepanjang perbatasan wilayah Tiongkok, memaksa kekaisaran untuk mempertimbangkan kembali ambisi eksternal mereka dan mengalihkan fokus pada stabilitas domestik.

Hubungan hubungan yang tadinya begitu wah, hanya bisa berlangsung sampai 1433, setelah kematian Cheng Ho hal ini tidak berjalan mulus. Apalagi memasuki tahun 1460, kemampuan Dinasti Ming untuk memaintain perdagangan maritim ini sudah sangat berat dan mulai mengurangi intensitas dan fokus kepada diri sendiri.

Hal yang serupa juga terjadi pada Amerika Serikat. Seiring berjalannya waktu, jaringan pangkalan militer AS yang luas menjadi semakin mahal untuk dioperasikan.

Biaya operasional yang tinggi, mulai dari pengiriman peralatan militer sampai dengan kompleksitas logistik untuk memindahkan tentara ke berbagai penjuru dunia, mulai memberi tekanan berat pada anggaran nasional.

Ditambah lagi dengan beban biaya yang timbul dari konflik perdagangan tingkat tinggi dan ketegangan politik global, para pembuat kebijakan AS mulai mempertanyakan apakah keuntungan dari komitmen eksternal yang luas tersebut benar-benar sebanding dengan beban finansial yang tak henti-hentinya muncul.

Trump dimasa lalu mengeluh bahwa dia harus memikul biaya biaya keamanan ini, sementara orang menikmati untung dari situ.

Dari sinilah, perlahan-lahan, terjadi pergeseran strategis yang puncaknya hari ini Amerika serikat dibawah Donal Trump membatalkan taglinenya sebagai polisi dunia, kampiun demokrasi berubah menjadi Amerika First. Seluruh sumber daya ditekankan untuk penguatan domestik.

Pergeseran Strategis Menuju Pembaharuan Internal

Kedua contoh sejarah ini mengajarkan pelajaran penting, terdapat keseimbangan yang rapuh antara mengejar kekuasaan global dengan pengelolaan sumber daya nasional yang berkelanjutan.

Keputusan Dinasti Ming untuk mundur dari ekspedisi maritim setelah tahun 1460 tidak terjadi karena kehilangan ambisi, melainkan sebagai hasil dari pengakuan bahwa beban pemeliharaan tidak lagi dapat ditanggung.

Sumber daya dialihkan untuk memperkuat mesin internal negara, dengan penekanan pada pertanian, infrastruktur, dan pertahanan dalam negeri.

Demikian pula, pengalaman Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-20 menunjukkan pentingnya menyeimbangkan komitmen global dengan prioritas domestik.

Menyadari bahwa pemeliharaan kehadiran militer yang tersebar di seluruh dunia dan terlibat dalam perang dagang yang berkepanjangan bukanlah strategi yang berkelanjutan, pemimpin AS secara bertahap mulai mengurangi peran aktifnya.

Pendekatan ini mengalihkan sumber daya untuk mendukung inisiatif domestik seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan keamanan dalam negeri. Dengan demikian, AS tidak sepenuhnya menarik diri dari kancah internasional, melainkan mengubah strategi dengan penekanan pada stabilitas dan kekuatan internal.

Moral Abadi: Sejarah Berulang dan Pelajaran untuk Masa Depan

Trajektori yang sejajar antara Dinasti Ming dan hegemonia global Amerika menyampaikan pesan yang kuat, sejarah memiliki cara untuk mengulangi dirinya sendiri.

Kedua narasi mengungkapkan bahwa meskipun proyek-proyek eksternal dapat mengawali ekspansi pengaruh dan mendorong dialog internasional, kelebihan beban yang ditimbulkan dari pengeluaran yang tidak terkendali akan segera mengharuskan penyesuaian strategi.

Baik biaya besar untuk mempertahankan armada kapal dan pangkalan maritim maupun pengeluaran masif untuk mempertahankan kehadiran militer di seluruh dunia. Keduanya mengajarkan bahwa keseimbangan adalah kunci dalam memimpin sebuah kekuatan besar.

Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa para pemimpin masa depan harus menimbang manfaat keterlibatan global dengan kebutuhan untuk berinvestasi dalam kekuatan dan kestabilan dalam negeri.

Di dunia yang terus berubah, di mana konflik dagang, ketidaksetaraan ekonomi, dan lanskap geopolitik yang dinamis menghadirkan tantangan tersendiri, strategi yang berkelanjutan memerlukan fondasi dalam negeri yang kuat.

Sejarah mengajarkan bahwa sebuah kekuasaan besar harus menjaga agar ambisinya tidak melebihi kemampuan untuk mempertahankan kesejahteraan internal, sebuah napak tilas yang mengingatkan kita pada masa Dinasti Ming dan, lebih baru lagi, pada pengalaman Amerika Serikat.

Pertanyaan penting yang muncul adalah, apakah para pembuat kebijakan hukum di dunia dapat merumuskan strategi yang menggabungkan tanggung jawab global dengan pembaharuan domestik secara lebih bijaksana?.

Bagaimana inovasi teknologi, kebijakan fiskal cerdas, dan bentuk kerja sama internasional yang baru dapat meringankan beban kelebihan komitmen yang selama ini mengikis kestabilan?.

Dengan belajar dari kemenangan dan kegagalan masa lalu, kita dapat menemukan cara baru untuk memimpin di kancah internasional sambil menjaga ekonomi dan masyarakat kita tetap kuat dan berdaya saing.

Sejarah pun seolah berkata, untuk mempertahankan pengaruh yang berkelanjutan, tak ada yang lebih penting dari fondasi yang kokoh di rumah sendiri!.