Debat Pilpres Kedua, Ujian Bagi Janji Politik Jokowi Pada 2014

Debat Pilpres kedua mendapat sorotan dari pengamat ekonomi Kusfiardi.


Kedua pasangan, Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi bakal beradu gagasan bertema energi, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan dan infrastruktur.

Kusfiardi menganggap debat kali ini adalah ujian bagi Joko Widodo atas janji-janji politiknya 2014 silam.

Jokowi harus menjelaskan realisasi janji dan kebijakannya terkait materi debat nanti malam. Jangan buat janji-janji baru atau bicara apa yang akan dilakukan nanti," ujarnya Minggu (17/2/2019).

Mantan Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) itu, berujar seorang petahana perlu mempertanggungjawabkan kinerjanya selama ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik pada kontestasi pilpres berikutnya.

Contoh yang harus dipertanggungjawabkan antara lain bertambahnya jumlah utang perusahaan milik negara.

Menurutnya, utang tanpa diikuti meningkatnya kinerja keuangan perusahaan akan menimbulkan risiko. Mulai dari risiko gagal bayar sampai dengan ancaman pailit.

Jikapun tidak terjadi penyitaan aset, maka akan menurunkan nilai perusahaan secara ekonomi.

Bukan hanya itu. Lebih jauh lagi bisa berpengaruh pada kemampuan kerja perusahaan akibat berkurangnya aset," jelasnya.

Beban utang yang semakin besar menuntut adanya peningkatan kemampuan perusahaan untuk menutupi utang jangka pendek.

Selain itu, secara keseluruhan, dari pengelolaan operasional perusahaan milik negara, harus ada peningkatan kinerja keuangan.

Jokowi harus bisa menjelaskan, seberapa relevan pilihan untuk membangun infrastruktur, terutama jalan tol, untuk kepentingan perekonomian nasional. Bukan justru mempermudah infiltrasi barang-barang impor.

Pembangunan infrastruktur Jokowi ini bias kepentingan asing, bisa untuk memudahkan mobilitas produk asing ke pasar nasional kita. Meskipun dikelola BUMN, namun logikanya masih seperti pedagang biasa. Buktinya, ketika BUMN bangun jalan tol, lalu jalan tolnya dijual," jelasnya.

Selain infrastruktur, sektor pangan sepanjang pemerintahan Jokowi juga bermasalah.

Pemerintah selama ini lebih memilih jalan pintas dengan impor. Tentu ini jauh dari harapan untuk memperkuat sektor pangan. Bahkan justru sebaliknya, memperkuat ketergantungan pada impor pangan dan menjadi ancaman bagi kemandirian kita," urai Kusfiardi.

Sementara mengenai isu lingkungan hidup, menurut dia pemerintahan Jokowi tidak begitu serius dalam soal penyelamatan lingkungan.

Potret memprihatinkan tersebut contohnya terjadi pada Freeport. Kebijakan pengambilalihan Freeport oleh pemerintah selain berbiaya mahal kita pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat limbah tambang alias tailing yang tidak dikelola dengan baik."

Dijelaskannya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun.

Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua.

Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun.

Akibatnya, setelah memegang mayoritas saham Freeport lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), pemerintah kini harus siap menanggung segala konsekuensinya.

Lagi-lagi pemerintah meringankan kewajiban perusahaan dengan cara menambah beban kepada negara."

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Faldo Maldini, sebelumnya mengatakan, Prabowo siap mempreteli klaim-klaim keberhasilan pemerintahan Jokowi.

Pembangunan infrastruktur contohnya, tidak berdampak terhadap peningkatan produksi hasil pertanian dan tak tercapainya target swasembada pangan.

"Prabowo akan menguji argumentasi-argumentasi klaim keberhasilan yang disampaikan petahana dan menyampaikan beberapa gagasan. Kita punya catatan janji-janji petahana yang tidak tercapai. Misalnya tidak ingin impor di tahun 2015, tapi ternyata impor," ujar Faldo.

Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dian Islamiaty Fatwa mengatakan, pemerintahan Joko Widodo jelas telah gagal dalam berbagai hal.

Terkait infrastruktur, misalnya, pembangunan yang dilakukan dibebankan pada utang. Besarnya utang pemerintah untuk biaya infrastruktur tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi.

Argumen ini kemudian diperkuat dengan performa neraca perdagangan sepanjang 2018 yang mengalami defisit, bahkan terburuk sejak tahun 1975," ujar Dian.

Dia menambahkan, ada beban besar yang harus ditanggung BUMN untuk memenuhi realisasi infrastruktur.