Dilema Pengusaha Kerupuk di Salatiga, Dampak Harga  Minyak Goreng Melambung

Polemik harga minyak goreng (Migor) membuat pengusaha kerupuk di Salatiga dilema. Pasalnya, disaat harga Migor terus melambung mencoba mengecilkan ukuran berujung diprotes konsumen.


Seperti diungkap Mahmud Fathoni, pedagang kerupuk di Jalan Sultan Agung, Blotongan, Kawasan Jalan Lingkar Selatan (JLS) Salatiga.

Kepada wartawan, Fathoni mengungkapkan puluhan tahun ia memproduksi kerupuk baru saat ini sangat terpukul.

"Kondisi migor yang tiap bulan naik berdampak sekali dalam usaha kerupuk yang kami jalani. Sehingga, kami mencoba menyiasati dengan mengecilkan volume ukuran kerupuk," ungkap Fathoni saat ditemui di lokasi ia memproduksi, Senin (21/3).

Selain itu, ia juga menyiasati dengan memproduksi dalam jumlah lebih besar.  Yang tadinya sekali produksi 1 kilogram menghasilkan atau isi 140 biji kerupuk, sekarang minimal 160 biji.

"Sehingga ukuran diperkecil. Dengan harga jual sama. Karena kerupuk tidak bisa menaikan harga eceran. Kami jual Rp 200-500 rupiah sampai konsumen. Satu kerupuk ambil Rp 5-10 rupiah," terangnya.

Kondisi ini juga dilakukan Hendri, pengusaha krupuk di kawasan Ali Londo, Salatiga. Tak ingin ditinggal konsumen, Hendri tetap mempertahankan usaha kerupuknya meski dengan harga minyak yang terus melambung sejak bulan Oktober 2021.

"Kalau mau tutup kasihan konsumen, sudah memiliki jaringan juga. Jadi mempertahankannya dengan mengurangi ukuran kerupuk," ucapnya.

Meski mengurangi ukuran volume ukuran kerupuk, bukan berarti konsumen tidak jeli. Diakui keliling kerupuk yang menyetor ke sejumlah rumah makan Tantan (50) menyebutkan jika tak jarang ia menemukan pertanyaan bernada protes terkait ukuran (kerupuk) yang diperkecil.

"Ya mereka bertanya, meski tidak marah tapi protes juga mengapa ukurannya jadi kecil," imbuhnya.