Diputuskan MK, Dibatalkan DPR, Indonesia Darurat

Ray Rangkuti. Istimewa
Ray Rangkuti. Istimewa

Sikap DPR membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70 tahun 2024 dinilai sebagai kebutuhan sesaat dan sepihak peserta Pilkada 2024. Lebih khusus lagi, demi memenuhi ambisi politik oligarki. Indonesia darurat.


Pandangan itu disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti dalam keterangan tertulisnya diterima RMOLJateng, Rabu (21/8). “Setidaknya pandangan ini dapat dilihat dari dua sebab, pertama, terlalu banyak bolong dari putusan DPR ini dan kedua, subtansi putusan MK itu sendiri,” kata Ray.

Dari sebab yang pertama, Ray menjelaskan, kekurangan putusan DPR sangat terlihat baik dari aspek proseduralnya maupun aspek subtansinya. “Dari tata cara pembuatan UU ya sampai pada subtansi revisinya sendiri,” katanya.

DPR, lanjut Ray, terlalu memaksakan putusan ini, meski, mungkin, mereka sadar bahwa akan banyak gugatan atas putusan DPR. “Tapi semua sudah dihitung. Bilapun nanti MK mengabulkan permohonan uji materi, pasti tidak akan berdampak pada proses pencalonan. Revisi ini salah satunya mengamankan proses pencalonan agar tetap seperti skenario awal yang dikehendaki oleh sebagian kelompok,” jabarnya.

Sebab yang kedua adalah subtansi putusan MK. Kata Ray, pada dasarnya putusan MK sangat menguntungkan parpol-parpol menengah ke bawah. Khususnya bagi Nasdem, Demokrat, PKS, PAN, dan tentu saja, parpol-parpol non gurem, termasuk di dalamnya adalah PPP.

“Mengapa? Sebab putusan MK ini memberi jalan bagi kader mereka untuk diusung sendiri dalam pilkada tanpa harus selalu mengekor pada parpol-parpol besar. Dalam bahasa lain, mereka tidak akan selalu pengikut tapi juga bisa menjadi penentu calon,” ungkapnya.

Oleh karena itu, agak mengherankan jika parpol-parpol menengah ini justru menolak putusan MK dengan ketentuan tetap memberlakukan 20% kursi DPRD. Itu artinya akan membuat mereka selamanya jadi pemain latar, yang kerjanya ikut sana, ikut sini. Dan akhirnya, akan sulit menaikan elektabilitas parpol mereka menembus 5 besar.

“Berdasarkan dua pertimbangan di atas, saya melihat putusan DPR ini dirancang untuk jangka pendek. Lalu, bagaimana membatalkannya? Ada dua mekanisme. Menunggu putusan MK jika dilakukan gugatan oleh masyarakat dan dilakukan melalui revisi umum UU Pilkada di priode presiden Prabowo,” sebutnya.

Tapi apapun maksud dan tujuan DPR, lanjut Ray, terlihat putusan ini menaikan suhu politik Indonesia. Berbagai keluhan dan kritikan mulai menjalar. Apa yang terjadi saat ini, terjadi sangat vulgar: menantang nurani dan akal sehat masyarakat.

“Tentu, situasi ini akan dapat berdampak pada kemuraman warga menghadapi pilkada. Bisa jadi, partisipasi pemilih akan menurun. Dan gerakan boikot pilkada akan meningkat,” paparnya.

Selain itu, meningkatnya sentiman negatif kepada Presdien Jokowi yang kiranya akan sulit dilepaskan dari berbagai peristiwa politik, akhir-akhir ini. Terlebih diketahui, masa bakti Presiden Jokowi hanya tinggal dua bulan lagi.

“Jika situasinya akan seperti ini, sangat disayangkan, lengsernya pak Jokowi ditandai dengan berbagai protes politik, di sana sini. Saya tidak tau, apakah situasi ini yang memang dipilih pak Jokowi atau tidak. Sebuah kemurungan bangsa, tapi sekaligus kegembiraan karena harapan bahwa pengelolaan demokrasi kita akan lebih baik. Sesuatu yang saya sendiri tidak terlalu percaya,” ujar Ray.

Dampak lain, adalah, beber Ray, kenaikan Prabowo menjadi presiden yang ditandai dengan berbagai protes dan kemurungan demokrasi itu. “Butuh waktu untuk menaikan lagi kegembiraan dan kepercayaan orang pada berdemokrasi. Lebih khusus, pada pemerintahannya. Karena, bagaimanapun, Gerindra, partainya pak Prabowo menjadi bagian penting dari berbagai peristiwa suram demokrasi kita, akhir-akhir ini,” kata Ray.

Terakhir adalah, tentunya kepercayaan pada demokrasi sebagai sistem paling tepat bagi negara majemuk seperti kita. “Dengan berbagai zigzag politik yang dilakukan oleh elit politik kita, akhir-akhir ini, sangat mungkin masyarakat menilai demokrasi itu untuk elit. Demokrasi itu untuk kaum oligarki dan dinasti. Bukan untuk khalayak warga Indonesia,” tandas Ray.