- Terbukti Saat Luncheon KTT D-8, Prabowo Dan Erdogan Tetap Bestie
- Ada Delegasi Walk Out, Tak Surutkan Presiden Prabowo Lantang Suarakan Perdamaian
- ASEAN Media Forum Mengingatkan Visi Terkoneksi Dan Ketahanan Bersama
Baca Juga
SOLO - Perdamaian adalah masa di antara dua perang yang bisa panjang atau pendek tergantung pada kekuatan pihak-pihak yang bertikai. Bila kekuatan pihak-pihak yang bertikai relatif sama atau seimbang, maka masa perdamaian dapat diharapkan berlangsung relatif panjang.
Namun, bila kekuatan pihak-pihak yang bertikai tidak seimbang maka besar kemungkinan pihak yang lebih kuat (powerful) akan menaklukkan pihak yang lebih lemah (powerless).
Dari sudut pandang realisme ini, kekuatan (power) yang dimiliki setiap negara di arena internasional juga berperan penting dalam menentukan, menciptakan, serta mempertahankan perdamaian.
Demikian dikatakan pengamat hubungan internasional, DR. Teguh Santosa, ketika memberikan kuliah umum mengenai konflik di Semenanjung Korea di hadapan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jumat siang, (01/11).
Dalam presentasi berjudul Two Koreas: Two-Level Games, Two Wars? peraih gelar master dari University of Hawaii at Manoa (UHM) dan gelar doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpad) ini memaparkan riwayat konflik Semenanjung Korea dan logika permainan dua-tingkat (two-level games) yang didalilkan Robert D. Putnam dalam mengelaborasi kebijakan luar negeri yang diambil suatu negara.
Logika permainan dua-tingkat menyatakan bahwa kebijakan luar negeri setiap negara dipengaruhi oleh dinamika politik nasional dan kontelasi politik di arena internasional.
Selain itu, dengan menggunakan dalil realisme yang dipaparkan Hans J. Morgenthau, Teguh yang juga memimpin Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), menjelaskan bahwa di arena internasional yang anarkis, setiap negara ingin aman (secure).
“Teori umum mengenai hal ini mengatakan bahwa keamanan (security) merupakan situasi di mana pertahanan (defense) lebih besar dari ancaman (threat). Upaya Korea Utara meningkatkan kapasitas militer dan menjalin kerjasama militer dengan sekutu mereka didasarkan pada perhitungan ini. Korea Utara merasa dirinya berada di tengah ancaman yang nyata, berupa kekuatan militer Amerika Serikat yang berada di Asia Timur, terutama di Jepang dan Korea Selatan,” urai Teguh.
Ia juga berpendapat cara untuk menurunkan tensi ketegangan di kawasan adalah dengan mengurangi secara signifikai sumber ketegangan itu. Artinya, Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan harus mengurangi tekanan pada Korea Utara, sehingga Korea Utara tidak terdorong untuk meningkatkan kapasitas militer dan meningkatkan kerjasama dengan sekutu terdekat mereka, dalam hal ini Rusia.
Reunifikasi Korea
Hal lain yang dibahas dalam kuliah umum tersebut adalah peluang reunifikasi kedua Korea yang sempat terbuka di tahun 2018-2019, namun kembali menemui jalan buntu setelah perubahan rezim di Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Menurut Teguh, dengan menghapuskan reunifikasi Semenanjung Korea dari Konstitusi, Korea Utara pada hakekatnya menawarkan pendekatan baru dalam mengakhiri konflik. Pendekatan baru itu semacam solusi dua negara (two states solution), di mana masing-masing Korea menjadi negara sendiri yang dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence).
“Untuk menciptakan situasi peaceful coexistence, perjanjian gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea tahun 1953 dapat diubah menjadi perjanjian damai di antara kedua negara. Setelah itu kedua negara dapat menjalin hubungan sebagai dua negara yang merdeka dan bersahabat. Atau dengan kata lain mengubah negative peace menjadi positive peace,” kata Teguh lagi.
Namun, yang jadi masalah adalah Korea Selatan enggan mengikuti langkah Korea Utara. Sementara di dalam Konstitusi Korea Selatan disebutkan bahwa wilayah Republik Korea (Korea Selatan) meliputi seluruh wilayah Semenanjung Korea dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Setelah Korea Utara menghapuskan gagasan reunifikasi dari narasi nasional mereka, Korea Selatan malah meningkatkan tekanan. Korea Utara pun memberikan respon yang sepadan dengan menekan balik Korea Selatan.
Teguh berharap semakin banyak warga dunia yang melihat sengketa Korea ini dengan menggunakan perspektif yang lebih jernih dan berorentasi pada penciptaan perdamaian abadi di kawasan. Mesti disadari, katanya, ketegangan yang meningkat dan bahkan meletus menjadi konflik bersenjata terbuka dapat membuat keamanan dan stabilitas kawasan terganggu dan akan menciptakan dampak yang sangat serius bagi semua negara di kawasan termasuk Indonesia.
Di akhir kuliah umum yang dipandu dosen hubungan internasional FISIP UNS Muchnizar Siagian, Teguh menyerahkan dua buku kumpulan wawancara dengan duta besar negara sahabat yang ditulisnya kepada mahasiswa-mahasiswa terpilih.
Buku-buku berjudul Perdamaian Yang Buruk, Perang Yang Baik, Dan Buldozer Dari Palestina telah dicatat Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai buku dengan wawancara duta besar negara sahabat.
- Terbukti Saat Luncheon KTT D-8, Prabowo Dan Erdogan Tetap Bestie
- Ada Delegasi Walk Out, Tak Surutkan Presiden Prabowo Lantang Suarakan Perdamaian
- ASEAN Media Forum Mengingatkan Visi Terkoneksi Dan Ketahanan Bersama