BRICS: Manfaat Dan Kelemahannya Bagi Indonesia

Bendera Negara-Negara Pendiri BRICS Yang Digambarkan Melalui Desain Bendera Yang Diinkorporasikan Dalam Grafis Huruf
Bendera Negara-Negara Pendiri BRICS Yang Digambarkan Melalui Desain Bendera Yang Diinkorporasikan Dalam Grafis Huruf

Jakarta - Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menunjukkan upaya diversifikasi kerjasama ekonomi, kawasan geopolitis, serta implikasi strategis dari hubungan erat dengan negara-negara anggota adalah suatu hal yang patut diketahui oleh warga Indonesia.


Dalam penelitiannya, DR Asep Setiawan menemukan bahwa ada indikasi Indonesia menganggap dengan bergabung maka ada kemitraan ekonomi yang lebih terdiversifikasi. Selain itu ada akses mekanisme keuangan alternatif selain menekankan kepentingan pengaruh dalam kelas dunia.

Dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah itu membeberkan resiko-resiko yang dihadapi Indonesia terhadap ketegangan dengan negara-negara Barat.

Selama ini Indonesia terkenal dengan politik luar negerinya yang bebas aktif. Bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat diterjemahkan sebagai kecenderungannya mendekatkan diri dengan Tiongkok dan Rusia. Pada saat yang sama pihak Barat memiliki hubungan yang tegang dengan Tiongkok dan Rusia, baik karena ketegangan perekonomian dengan Tiongkok di tingkat dunia mau pun keberadaan kekuatan militer Rusia di Eropa.

Liputan sebelumnya tentang Indonesia bergabung dengan BRICS dari sudut pandangan peneliti Universitas Indonesia dalam tautan berikut:

Pertimbangan Keputusan Presiden Prabowo Tentang Indonesia Bergabung Dengan BRICS 

Faktanya, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia yang volume perdagangan bilateralnya mencapai USD135.1 miliar pada tahun 2024. Dan Rusia adalah salah satu pemasok alutsista di angkatan perang Indonesia yang bernilai miliaran dolar.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia ke Rusia pada 2023 mencakup minyak sawit senilai USD632,6 juta, suku cadang mesin USD26,71, karet USD21,43 juta, olahan makanan USD19,39 juta, dan lemak coklat USD10,8 juta. Di sisi lain, impor Indonesia dari Rusia menunjukkan pertumbuhan 22,24% 2019-2023. Ada pun impor utama Indonesia dari Rusia pada 2023 meliputi batu bara bituminus senilai USD495,6 juta, besi baja USD389,6 juta, pupuk USD338,1 juta, serealia USD274,8 juta, dan asbestos USD45,03 juta.

Namun, Asep Setiawan menemukan bahwa keputusan Indonesia untuk menjadi anggota forum BRICS adalah cerminan keinginan Indonesia untuk tidak terlalu bergantung pada suatu kekuatan tunggal tertentu. Dengan mendiversifikasi kemitraan internasionalnya, Indonesia berharap menjadi pihak yang mampu meningkatkan otonomi strategisnya serta kekuatan tawar menawarnya. Kekuatan tawar menawar ini berlaku baik terhadap BRICS mau pun terhadap kekuatan Barat.

Satu hal yang mengemuka dari kepentingan Indonesia di BRICS adalah potensi forum kerjasama ekonomi dan kawasan geopolitis ini dalam kepentingan negara-negara Selatan (Global South). Di sisi lain, ketegangan di antara negara-negara pendiri BRICS juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Ketegangan tersebut berkaitan dengan permusuhan yang berkaitan dengan kekuatan militer di masing-masing perbatasan antara Tiongkok dan India. Asep Seteiawan menganggap pertikaian ini tentu memengaruhi tingkat kekompakan BRICS dalam menghadapi kekuatan Barat.

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Sugiono, tidak terlalu banyak berkomunikasi tentang arah politik luar negeri. Berbeda dengan pendahulunya, Retno Marsudi, Sugiono jarang berbicara di media sosial. Sehingga tidak dapat diketahui bagaimana caranya Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dengan bergabungnya Indonesia dengan kekuatan forum yang baru ini.

Maka tidak heran, mengingat Indonesia saat ini banyak bergantung pada berbagai kerjasama perdagangan dan perekonomian dengan blok Barat, bagi blok Barat bergabungnya Indonesia dengan BRICS merupakan langkah politik di kancah internasional.