Melalui swadaya warga Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga, innovasi pencegahan stunting secara terintegrasi di Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga mampu menjadi 'role model' (teladan) di Kota Salatiga.
- Ketua DPRD Menyebut Ada Alat Media di RSUD Salatiga Belum Terpakai
- DPRD Sebut Capaian PAD di Salatiga Jadi Catatan Khusus
- Ketua DPRD Salatiga : Ada Pengaduan Rakyat Anggota Dewan Harus Solutif
Baca Juga
Hal ini dibuktikan langsung Ketua DPRD Salatiga Dance Ishak Palit yang berani memfasilitasi serta menyokong penuh ide serta program arus bawah.
Ketua DPRD Salatiga Dance Ishak Palit dan Deputi ADMIN Surkaryo Teguh Santoso saat mencoba layanan cek up di terintegrasi penanganan stunting di Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga. RMOL Jateng
"DPRD Salatiga berupaya jemput bola dalam hal ide serta program swadaya warga Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga guna menekan angka stunting secara terintegrasi di Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga," kata Dance ditemui di Gedung Pemkot Salatiga, Kamis (19/10).
Bukan tanpa dasar DPRD Salatiga berani menyongkong penuh kegiatan pertama kali di Salatiga terkait innovasi pencegahan stunting secara terintegrasi tersebut.
Dengan menerjunkan Dinas Kesehatan Kota Salatiga, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3A PPKB) Kota Salatiga, serta Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dinpersip) Kota Salatiga dan turut dilibatkan juga RSUD Kota Salatiga, persoalan gizi, lingkungan, pola asuh anak akan menunjukkan hasil memuaskan dalam hal pencegahan dan penekanan angka stunting.
"Sehingga bukan lagi ditangani secara parsial. Bisa dibilang, ide terintegrasi penanganan stunting seperti ini baru pertama di Indonesia," terangnya.
Ia beranggapan permasalahan pola asuh anak yang banyak ditemukan ratusan kader pendamping dibawa binaan DP3A Salatiga, banyak faktor penyebab.
Salah satunya, beban pola asuh anak tidak hanya ditumpukan kepada ibu, tapi juga bapak (suami), serta seluruh anggota keluarga didalamnya termasuk Asisten Rumah Tangga.
"Semua orang dalam keluarga harus terintegrasi dalam hal pola asuh, jangan hanya orang tua kandung. Orang tua, ada bapak dan ibu. Dan budaya kita masih melekat ibu lebih banyak berperan," pungkasnya.
Yang pasti, Dance terus menanamkan pemahaman penuh adanya program terintegrasi pertama di Salatiga seperti dicetuskan RW I Butuh, Kelurahan Kutowinangun Lor. Dan inovasi ini dalam penanganan stunting perlu menjadi contoh bagi 22 kelurahan lainnya di Salatiga.
Diyakininya, penanganan stunting di Salatiga perlu perhatian semua pihak. Ini juga yang coba ditunjukkan oleh masyarakat RW I Butuh, Kutowinangun Lor, Salatiga.
Melalui peran swadaya warga, penanganan stunting sekarang ini bukan hanya tugas pemerintah saja, tapi program bersama pemerintah dan masyarakat.
"Jangan lupa anak-anak kita sekarang ini merupakan 'bonus demografi' masa depan kita. Salah kita menangani sekarang maka kita tidak akan mendapatkan bonus demografi berikutnya," bebernya.
Bonus demografi adalah suatu kondisi dimana populasi masyarakat akan didominasi oleh individu-individu dengan usia produktif.
Dance berharap, angka stunting di Salatiga akan semakin turun dan tahun depan zero stunting.
"Sampai sekarang ini angka stunting di Salatiga itu 5,2 persen dan di tahun 2024 bis nol atau zero stunting, harapan kita bersama," imbuhnya.
Sementara, Ketua RW I Butuh, Kelurahan Kutowinangun Lor Salatiga Mulyanto mengaku ide terintegrasi dalam penanganan stunting tercetus saat kelompok ibu-ibu PKK melakukan diskusi bersama.
"Saat diskusi muncul ide dari kalangan ibu-ibu PKK dan dijemput bola Ketua DPRD Salatiga guna penanganan stunting secara nasional. Kegiatan ini murni swadaya warga kami," terang Mulyanto.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (ADPIN) Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd., menyebutkan upaya Kota Salatiga menuju zero stunting luar biasa.
Ia menilai, Stunting di Salatiga turun sangat pantas. Apalagi, menurut dia, melalui program inovasi terintegrasi seperti dilakukan di Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga merupakan cara-cara yang patut ditularkan ke kabupaten/ kota lain di Indonesia.
"Jika saat ini angka stunting di Salatiga turun itu sangat pantas. Apalagi, adanya kegiatan terintegrasi di Salatiga seperti di Kelurahan Kutowinangun Lor sangat luar biasa. Semua pihak gotong royong berupaya menurunkan angka stunting yang tidak hanya berbagai sektor tapi juga melibatkan masyarakat. Bahkan satu RW dilibatkan sangat luar biasa menuju zero stunting," pungkasnya.
Kerja gotong royong yang difokuskan kepada upaya pencegahan termasuk didalamnya sasaran pertama adalah remaja yang akan menikah. Sehingga, bagi yang akan menikah periksakanlah kondisi kesehatan kalian berdua.
Kedua, ibu yang tengah hamil periksakanlah kondisi kehamilan dengan baik. Serta, yang ketiga bagi keluarga-keluarga yang memiliki balita di bawah 5 tahun karena itu adalah kondisi yang rawan atau yang sedang menyusui berikan air susu itu secara dua tahun penuh 0 sampai 6 bulan adalah pemberian ASI yang optimal jaga program KB nya dengan baik.
Terkait upaya Salatiga menuju zero stunting, Sukaryo melihatnya Salatiga dengan angka stunting saat ini sudah sangat rendah yakni 14,2% dan itu dari tahun-tahun sebelumnya terbilang tinggi antara 16 atau 15,6%-an.
Bahkan, upaya menurunkan angka stunting juga melibatkan aseptor melalui DP3A Kota Salatiga. Dimana setiap Aseptor mendapatkan subsidi dari APBD Kota Salatiga mencapai Rp 3 juta. Angka itu adalah pertama terjadi di kabupaten/ kota di Indonesia.
Selain tentunya, untuk tahun 2024 mendatang setiap provinsi di Indonesia masih akan mendapatkan anggaran tetap guna menangani stunting. Dan anggaran itu diberikan secara bergelombang seperti tahun-tahun sebelumnya.
Melalui cara-cara itu, ia yakin Salatiga mampu menuju zero stunting.
"Salatiga, simulasinya luar biasa. Dan, baru Salatiga yang berani melakukan terobosan untuk menarik minat Aseptor dengan mendapatkan subsidi dari APBD Kota Salatiga mencapai Rp 3 juta di luar dana alokasi khusus 'loh ya'," ucapnya, kagum.
*Mengawinkan Parenting dengan Pola Asuh
Ditempat yang sama, Kepala DP3A Kota Salatiga, Yuni Ambarwati pun menandaskan, penanganan stunting melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan mengawinkan parenting ke orang tua terkait pola asuh anak terbukti mampu menekan angka stunting di Kota Salatiga.
Bukan isolapan jempol. Jika 'mindset' selama ini terjadinya stunting semata-mata karena pemenuhan gizi yang kurang, temuan di Salatiga bukan lagi soal asupan namun, pola asuh menjadi persoalan utama terjadinya dan meningkatkannya angka stunting di Salatiga.
"Di Salatiga, pola asuh menjadi penyebab tertinggi munculnya stunting di Salatiga. Itu fakta," tegasnya.
Secara data, Yuni menyebutkan jika anak stunting di Kota Salatiga berdasarkan data Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang kini berubah nama menjadi Survei Kesehatan Indonesia (SKI), di tahun 2022 lalu, berada di angka 14,2%.
Namun, ungkap dia, 14,2% tersebut berdasarkan pelaporan berbasis gizi masyarakat di Tahun 2022 bulan Agustus Salatiga sudah di angka 5% untuk bayi stunting atau 182 anak dan balita stunting di angka 6,33%.
"Atau 629 balita berdasarkan data timbang di lapangan yang masuk di Puskesmas," ungkap Yuni.
Meski belum menunjukkan penurun signifikan karena survei tersebut dilakukan di bulan Agustus sampai dengan September 2023, namun terdapat perbandingan data Asuhan Gizi dan E-PPGBM (Elektronik-Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) dengan angka menurut SSGI sampai dengan bulan Agustus 2023.
"Penilaian stunting itu dikatakan turun diantaranya tidak hanya melihat anak kondisi pendek, tapi juga bersinggungan dengan pertumbuhan perkembangan pada kelahiran manusia," terangnya.
Misalnya, dibuktikan dengan kelahirannya di bawah dua setengah dari 40 centimeter tinggi badan.
Jika mengalami penurunan artinya ketika dilakukan penimbangan terus secara berkala serta rutin dipantau baik berat badan, tinggi badan termasuk perkembangan tumbuh kembang anak, angka stunting di Salatiga dapat ditekan.
Untuk itu, diakuinya, saat ini DP3A Salatiga mengupayakan intervensi spesifik yang meliputi gizi, kemudian sensitifnya juga sudah dilakukan terkait ada sanitasi termasuk parenting.
"Nah, parenting ini perlunya intervensi OPD dengan melihat pemberiaan makanan tambahan (PMT)," terangnya.
Di Salatiga sendiri, saat ini perpaduan parenting san pola asuh anak telah berjalan. Hasilnya, evaluasi tidak hanya karena PMT pemberian asupan gizi semata, ternyata pola asunya menjadi kunci penekanan stunting di Salatiga.
Yuni mencontohkan, bayi seharusnya diberikan ASI eksklusif atau setidaknya 6 bulan hingga 2 tahun.
Namun temuan dari 444 kader petugas pendamping di Salatiga yang disiapkan diakuinya persoalan utama terjadinya stunting di Salatiga karena pola asuh yang kurang pas.
Apa yang kurang pas? Ternyata, ASI hanya diberikan enam bulan bahkan ada sampai stop. Bukan tidak mungkin, pola asuh seperti ini menjadi pemicu naiknya angka stunting di Salatiga.
"Seperti terjadi di Kecamatan Tingkir Tengah, sempat ditemukan hasil menyasar terdapat 20 anak stunting dan turun 3 anak karena mendapatkan PMT menjadi 7 anak stunting. Ditambah karena jarang dibawa ke Posyandu akhirnya angka stunting naik. Lagi-lagi, hal ini karena disebabkan jarang datang ke Posyandu, sehingga peran kader kota di lapangan menjadi sangat penting," akunnya.
Lebih jauh Yuni menerangkan, pola asuh itu sebenarnya disebabkan banyak faktor diantaranya adanya temuan ibu muda saat ini enggan menyusui dikarenakan ketakutan payudara turun, padahal ketika anak diberikan PMT, harusnya wajib setelah 6 bulan ditambah Pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping ASI).
Fakta ini berdasarkan laporan 444 kader pendamping yang diterjunkan di 23 Kelurahan, empat Kecamatan di Salatiga dengan prioritas tujuh Kelurahan Lokus Stunting 2023 berdasarkan SK Wali Kota No 440/349/2022 Tentang Lokasi Fokus Percepatan Pencegahan Stunting.
Tujuh Kelurahan itu adalah Mangunsari terdapat 5,59% anak stunting, Kelurahan Ledok 8,96 anak stunting, Kelurahan Blotongan 9,07 anak stunting, Kelurahan Randuacir terdapat 14,79 anak stunting, Kelurahan Kumpulrejo terdapat 14,92 anak stunting, Kelurahan Tingkir Tengah terdapat 20,25 anak stunting serta Kelurahan Kutowinangun Lor 33,33 anak stunting.
"Faktanya, pemberian MP-ASI pun tidak dilakukan. Padahal harusnya kan setiap bulan juga dibawa ke Posyandu, itu juga enggak dilakukan," akunnya.
Pemkot Salatiga juga menerapkan pola asuh anak yang diintervensi dengan Parenting. Dimana, orang tua diundang dengan pemberian pemahaman anak harus mendapatkan haknya.
Artinya ada semacam tekanan. Dimana, anak usia 0 sampai 100 hari pertama kehidupan itu diberikan makanan protein hewani.
"Mengapa pola asuh anak ikut mempengaruhi penambah stunting di Salatiga, misalnya dari temuan kita di Tingkir Tengah terdapat 20 anak stunting setelah pemberian TMT, eh ternyata yang buat naik (angka stunting) lagi karena orang tua tidak pernah datang ke Posyandu," imbuhnya.
Faktor lain terjadinya peningkatan stunting adalah pernikahan dini. DP3A Salatiga sendiri mencoba memberikan edukasi terkait penanganan siklus hidup.
Dari mulai remaja, calon pengantin, menikah ibu hamil, pasca melahirkan dicekokin edukasi lewat forum anak terkait pencegahan perkawinan
Edukasi juga terkait PUP, yakni Pendewasaan Usia Perkawinan pertama.
"Jadi, kalau perempuan 21 tahun laki-laki 25 tahun kita edukasi terus. Dan saat ini, orang tua juga harus mendapatkan pemahaman.
Meski demikian, pihaknya optimistis hasil SSGI di Salatiga akan turun sampai dengan akhir tahun 2023. Dan Salatiga memiliki komitmen untuk zero stunting."Adanya intervensi spesifikasi (penyebab langsung) dan Intervensi sensitif (penyebab tidak langsung), dan lebih khusus lagi adalah ada tambahan PMT. Di DKK saja ada anggaran khusus anak gizi buruk dan ibu hamil resiko tinggi (bumil resti), ada pola asuh melalui parenting," terangnya.
Hasilnya, DP3A Kota Salatiga menargetkan Intervensi Spesifik baik sebelum lahir dan setelah lahir di antaranya 58 persen remaja putri mengonsumsi Tablet Tambah Dara (TTD), 80 persen ibu hamil mengonsumsi 90 tablet TTD selama kehamilan, 90 persen ibi hamil, kurang energik kronik atau (KEK) mendapatkan tambahan asupan gizi.
Data stunting di Kota Salatiga. Dok DP3A Kota Salatiga
Selain itu ada juga, 80% bayi usia kurang dari 6 bulan mendapatkan ASI eksklusif 80% anak usia 6 sampai 23 bulan mendapatkan makanan pendamping ASI atau MP-ASI, 90% balita dipantau pertumbuhan dan perkembangannya, 90% balita kurang gizi mendapat tambahan asupan gizi, 90% dari balita gizi buruk mendapatkan pelayanan tatalaksana gizi buruk dan 90% balita memperoleh imunisasi dasar lengkap.
Sementara, data Intervensi Sensitif yang telah dijalanin DP3A Salatiga yakni, 70% pelayanan KB pasca persalinan, 15,5% kehamilan yang tidak diinginkan, 90% cakupan calon pasangan usia subur memperoleh pemeriksaan kesehatan sebagai bagian pelayanan nikah, 100% rumah tangga mendapat akses air minum layak di kabupaten kota prioritas serta 90% rumah tangga mendapat akses sanitasi air limbah domestik layak menjadi prioritas.
Begitu juga program Baduta, anak usia bawah dua tahun atau umur 0-24 bulan dimana masa pada masa ini anak mengalami periode pertumbuhan emas. Masa ini sering disebut dengan 1000 HPK yaitu 1000 hari pertama kehidupan yang gencar di soroti DP3A Salatiga.
Melalui Keputusan Wali Kota Nomor 050-05/92023 Tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting Kota Salatiga, OPD di jajaran Pemkot Salatiga jiga gencar 'keroyokan' melalui program bapak asuh anak stunting. Dimana, semua OPD menjadi bapak asuh anak stunting program BKKBN.
Bapak asuh juga bagi semua OPD menjadi bapak asuh anak stunting di wilayah super tangguhnya. Sehingga OPD di bawah binaan Wali Kota (Pj Wali Kota Sinoeng N Rachmadi) berkolaborasi dengan CSR, Baznas serta pihak ketiga lainnya.
Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (ADPIN) Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd., saat meninjau mobil Layanan Perpustakaan Keliling Dinas Perpusatakaan dan Arsip (Dinpersip) Kota Salatiga di RW 01 Kelurahan Kutowinangun Lor, Salatiga. RMOL Jateng
Ada juga program 'Telor Glinding' yang telah berjalan sejak tahun 2022 dimana satu anak balita diberikan Dua telor, DP3A sejauh ini juga telah memberikan selama 60 hari.
Bukan tanpa tantangan DP3A Kota Salatiga dalam mewujudkan zero stunting atau setidaknya menargetkan 14 persen di tahun 2024 anak stunting.
Yuni Ambarwati menyebutkan beberapa tantangan yang ditemukan dalam upaya kroyokan menekan angka stunting di Kota Salatiga, diantaranya perbaikan cakupan dan kualitas pengukuran balita, integrasi sistem pendataan dan perbaikan tata kelola data yang dapat dibagi-pakaikan lintas sektor, penguatan peran TPPS di semua jenjang agar berfungsi optimal dalam mengoordinasikan, menyinergikan dan mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting secara efektif dan konvergen dengan melibatkan multi pihak dan multisektor.
"Selain itu ada juga kendala kita di lapangan dalam hal pergerakan pelaku di tingkat Kelurahan baik itu TPK dan KPM untuk mengawal program agar diterima dan dimanfaatkan oleh sasaran," imbuhnya.
- Ketua DPRD Menyebut Ada Alat Media di RSUD Salatiga Belum Terpakai
- DPRD Sebut Capaian PAD di Salatiga Jadi Catatan Khusus
- Ketua DPRD Salatiga : Ada Pengaduan Rakyat Anggota Dewan Harus Solutif