Kasus Dugaan Tagihan Bodong Rp 320 Juta Muncul di Proyek PSN PLTU Batang

Direktur PT Sparta Putra Adhyaksa, Didik Pramono menunjukkan bukti tagihan nodong.
Direktur PT Sparta Putra Adhyaksa, Didik Pramono menunjukkan bukti tagihan nodong.

Dugaan kasus tagihan bodong atau fiktif senilai Rp 320-an juta terjadi di wilayah proyek strategis nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Tagihan bodong itu berkaitan dengan jasa pelayanan pemanduan dan tunda kapal di pelabuhan PLTU Batang.


"Padahal kami tidak menerima pelayanan itu tapi tagihan terus datang hingga 30 invoice," Direktur PT Sparta Putra Adhyaksa, Didik Pramono di kantornya, Rabu (15/12).

Perusahaan milik Didik bergerak di bidang keagenan kapal Niaga. Pihaknya menyediakan jasa kapal untuk pengiriman material proyek PLTU ke PT TB selaku salah satu kontraktor dalam PLTU Batang.

Lalu, pemenang kontrak untuk Badan Usaha Pelabuhan (BUP) PLTU Batang adalah PT A. Perusahaan itu yang melaksanakan pelayanan parkir kapal.

Namun, selama Juni 2021 hingga Oktober 2021, PT A tidak melaksanakan jasanya. Proses sandar kapalnya langsung dilakukan oleh PT TB. 

Alasannya, kliennya tidak sabar menunggu jasa dari PT A hingga membuat kapalnya terapung dua hari. Hal itu bisa menghambat progres proyek PLTU Batang.

"Tagihan itu muncul setelah staf saya yang bernama Saiful menerima telepon dari administrasi keuangan PT A. Ia meminta tanda tangan dan cap perusahaan untuk dikirimkan, tidak ada koordinasi dengan saya," katanya.

Didik mengatakan seharusnya untuk urusan seperti itu, pihak PT A harus kontak langsung dirinya. Tidak lama, tagihan bodong dari PT A untuk jasa pelayanan mulai datang.

Semua tagihan itu mencantumkan dokumen dengan tanda tangan serta cap palsu perusahaannya. Ternyata, permintaan itu menjadi dasar penagihan. Padahal dasar dokumen penagihan adalah tanda tangan basah darinya.

"Saya kroscek ke PT A bagaimana bisa ada tagihan sementara di sana tidak melakukan layanan karena tidak punya kapal. Seharusnya penyedia jasa layanan parkir kapal harus punya kapal sendiri," ucapnya.

Warga asli kota Pekalongan itu membayar 13 tagihan awal senilai Rp 40 juta. Namun, 17 tagihan berikutnya muncul dengan harga tidak wajar.

Nilai pelayanan sekali parkir kapal yang ditetapkan PT A hingga September 2021 adalah Rp 3,5 juta. Lalu mulai Oktober 2021 berubah menjadi kisaran Rp 7 juta.

"Yang datang ke saya tagihannya antar Rp 17 hingga Rp 19 juta per tagihan. Akhirnya saya lapor ke Polres Pekalongan Kota dan Kejaksaan Negeri Kota Pekalongan," ucapnya.

Ia mengungkapkan dalam laporan itu juga menyinggung pemalsuan dokumen. Bahkan pihak polres Pekalongan Kota sudah melakukan Gelar Perkara.

Didik mengatakan bahwa perusahaannya merupakan satu-satunya produk lokal Batang-Pekalongan. Sementara perusahaan keagenan kapal niaga lainnya hanya cabang dari luar kota.

"Saya berharap pihak kepolisian atau aparat penegak hukum serius menangani kasus ini, sehingga bisa tahu siapa di balik praktik (tagihan bodong) ini," ucapnya.

Terpisah, Kasatreskrim Polres Pekalongan Kota AKp Ahmad Sugeng membenarkan laporan tersebut. Namun pihaknya belum bisa mengungkapkan progres kasus itu.

"Benar, tapi saat ini masih dalam penyelidikan," katanya singkat.