Kasus Kemitraan Yang Membuat PT Sritex Terjungkal Dalam Kepailitan

Karyawan Perusahaan PT Sritex Sedang Bekerja Di Dalam Pabrik Beberapa Waktu Lalu. Dokumentasi
Karyawan Perusahaan PT Sritex Sedang Bekerja Di Dalam Pabrik Beberapa Waktu Lalu. Dokumentasi

Solo - Di balik kepailitan yang diderita PT Sri Rejeki Isman (Persero) Tbk Sukoharjo ada dari perkara kemitraan bisnis yang berujung pada masalah hukum. PT Sritex memiliki hubungan kemitraan dengan bisnis konglomerasi Kumar Birla di Indonesia yakni PT Indo Bharat Rayon (IBR).

PT IBR di bawah kendali Kumar Birla, orang terkaya di India melalui perusahaan konglomerasinya, yakni Aditya Birla Group. IBR ikut berperan mengantarkan PT SRIL Tbk pada kondisi terpuruk saat ini.

Menurut Forbes, Kumar memiliki kekayaan sebesar US$59,6 miliar. Nilai tersebut menempatkannya di urutan ke-7 orang terkaya di India dan pada urutan ke-96 secara global.

Kumar, bernama lengkap Kumar Mangalam Birla, adalah generasi ke empat yang memimpin Aditya Birla Group. Kumar yang lahir pada 14 Juni 1967 menempuh pendidikan lisensi akuntan dari London Business School (MBA) di Inggris Raya. Ia mewarisi perusahaan raksasa dari ayahnya, Aditya Vikram Birla, yang meninggal pada 1995. 

Bidang bisnis grup Aditya Birla meliputi sektor aluminium, telekomunikasi, keuangan, cat juga semen. Berikutnya, fokus bisnisnya merambah ke sektor perhotelan dan industri perhiasan berkelas. Perusahaan ini mengumpulkan lebih dari setengah pundi-pundi pendapatannya justru dari luar India.

Konglomerasi perusahaannya makin sukses dan menggurita dengan diferensiasi bidang bisnis termasuk sektor pertekstilan, kaca dan bahan kimia dengan pangsa pasar domestik dan global.

PT IBR merupakan afiliasi dengan konglomerasi bisnis pimpinan Kumar, memiliki pabrik tekstil di Purwakarta, Jawa Barat. Pabriknya mulai beroperasi untuk produksi komersial dengan kapasitas sederhana sebesar 16.500 ton per tahun pada dasawarsa 1980an.

Lini bisnisnya terus berkembang hingga kapasitas terpasang mencapai lebih 200.000 ton per annum (tpa atau ton per tahun), sehinga memposisikan diri sebagai produsen viscose stable fiber alias VSF terbesar kedua dunia di satu lokasi.

Meski Sritex grup memiliki pabrik serat sendiri, namun kelompok ini tidak dapat membuat sendiri VSFnya akibat terganjal dampak lingkungan yaitu bau limbah produksi. Bau limbah produksi mendapatkan protes warga di lingkungan pabrik di Sukoharjo.

Tidak mengherankan apabila Sritex menyebut PT IBR dan PT South Pasific Viscose sebagai mitra mereka dalam laporan tahunan 2014.

Dari sinilah kemudian tumbuh sengketa hak dan kewajiban pembayaran yang akhirnya menjadi kasus ke ranah hukum dimana PT IBR mempailitkan PT SRIL.

PT IBR merupakan Pemohon Perkara yang mengajukan pembatalan putusan PN Semarang Nomor 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg pada 25 Januari 2022 terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi), dengan pihak Termohon lantaran lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.

Grup Sritex yang meliputi PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya kemudian mengajukan kasasi sebagai upaya keluar dari jeratan kepailitan. Akan tetapi MA menolak permohonan mereka. Sebagaimana diketahui dari hasil sidang putusan kasasi Sritex yang berlangsung Rabu, (18/12/2024) lalu.

Immanuel Ebenezer Gerungan, Wakil Menteri Ketenagakerjaan menyesalkan kepailitan Sritex. “Meski demikian kami tetap menghargai keputusan yang menjadi hak lembaga hukum,” ujarnya di Jakarta, pada (23/12/2024) yang lalu.