- Jumat Agung, Umat Katolik Blora Gelar Visualisasi Jalan Salib
- Diskusi Budaya, Kunci Terbukanya Ruang Ekspresi Seniman Batang
- Lenggak-Lenggok Emansipasi, Ketika Tari Menjadi Bahasa Perjuangan Perempuan
Baca Juga
Para petani Kabupaten Rembang yang berada di kawasan Pegunungan Kendeng menggelar ritual budaya Kupatan Kendeng.
Tradisi yang dilaksanakan pada hari ke 5 di bulan Syawal ini mengusung tema Kendeng Nguripi Kwalat Lamun Ora Ngopeni (Kendeng Menghidupi, Kualat Kalau Tidak Merawat).
Tradisi warga Rembang yang tergabung dalam JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) ini, bertempat di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Rembang, Minggu (14/04) hingga Selasa (16/04).
Kearifan lokal warga yang mendiami lereng Kendeng ini dimulai dengan prosesi Temon Banyu Beras (Pertemuan Air Tempat Pencucian Beras Sebelum Dimasak) di sendang atau sumber mata air Brubulan. Kemudian, prosesi dilanjutan lamporan atau kirab obor di Pisowanan.
“Puncak tradisi Kupatan Kendeng selanjutnya dipungkasi dengan Dono Weweh Kupat Lepat atau arak-arakan mengelilingi dua desa di Kecamatan Gunem, Selasa (16/04),” ujar sesepuh JMPPK Rembang, Joko Prianto.
Menurut Joko, tema yang diusung dalam tradisi kali ini sebagai bahan refleksi bersama, bahwa pasca relokasi industri yang masif ke Jawa Tengah kemudian diakomodir melalui Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membuat salah satu provinsi penyumbang pangan terbesar nasional ini berada dalam kondisi kritis akut.
“Masifnya alih fungsi lahan-lahan produktif untuk kantong pabrik, jalan tol dan pembangunan lainnya, berdampak terhadap kebencanaan selama beberapa tahun terakhir ini,” ujar Joko.
Terlebih untuk menyuplai kebutuhan pembangunan serakah tersebut, kata Joko, maka daerah pertambangan makin diperluas tidak terkecuali di Pegunungan Kendeng.
“Akibatnya bisa dirasakan sendiri, sejak akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024 saja setidaknya banjir, rob, tanah longsor dan bencana lainnya masif terjadi di Pantura khususnya di wilayah Demak-Kudus,” terangnya.
Menurut Joko, banjir bukan hanya berdampak terhadap putaran ekonomi saja. Namun juga hilangnya ruang hidup masyarakat terdampak, serta tergenangnya lahan-lahan persawahan membuat ancaman puso krisis pangan makin kerap terjadi di Jawa Tengah.
“Momen Kupatan tahun ini menjadi sangat spesial. Karena di bulan April adalah momen pengingat sejarah, dimana pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo mengamanatkan Kementerian Lingkungan Hidup untuk membuat kajian menyeluruh terkait Pegunungan Kendeng melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),” paparnya.
KLHS Pegunungan Kendeng yang dikerjakan dengan dua tahap tersebut, imbuh Joko, seharusnya menjadi pijakan utama bagi kebijakan pemerintah untuk kelestarian alam sebagaimana diatur dalam Pasal 14-18 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
“Naasnya lagi, kajian kompleks itu, ditambahkan dengan kemenangan warga atas gugatan izin lingkungan PT Semen Indonesia tahun 2016, tak pernah disentuh. Bahkan dieksekusi oleh pemerintah,” sesal Joko.
Joko menegaskan, KLHS Pegunungan Kendeng itu sangat komprehensif. Sebab eksploitasi yang akan dan telah terjadi, adalah ancaman bagi ribuan sumber-sumber mata air abadi di dalamnya.
“Padahal yang bergantung pada keutuhan ketersediaan air bukan hanya petani, tetapi seluruh rakyat di Rembang, Pati, Blora, Grobogan dan wilayah lain serta semua makhluk yang ada di dalam ekosistem Kendeng,” ucapnya.
Jika eksploitasi di Pegunungan Kendeng dengan kisaran luasan lahan 392.84 hektare tersebut terus dilakukan, Joko khawatir akan berdampak terhadap kerugian yang massif sebesar Rp3.2 Trilyun setiap tahunnya.
“Maka atas kondisi tersebut, KLHS juga merekomendasikan dilakukannya penetapan kawasan lindung di CAT (Cekungan Air Tanah) Watuputih dan memoratorium izin pertambangan di CAT Watuputih,” tegasnya.
Kini melalui momen Kupatan Kendeng, JMPPK tanpa lelah mengingatkan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten, untuk serius menangani bencana yang terus terjadi setiap tahunnya.
“Bukan hanya mengatasi hilir saja, namun harus menyentuh hulu/sumber dari kebencanaan itu sendiri. Selain itu memastikan lahan-lahan produktif di Jawa Tengah untuk terus dilindungi dengan kebijakan yang berpihak kepada para petani,” pintanya.
- Menata Impian Lolos Sekolah Kedinasan Dan TNI-POLRI
- Bakesbangpol Blora Gelar Peningkatan Kapasitas Perkumpulan Bhakti Praja
- Siap Sukseskan Peringatan May Day 2025, Pemkab Tegal Siapkan Sejumlah Acara