Ketidakprofesionalan Penyelenggara Berpotensi Delegitimasi Proses dan Hasil Pemilu 2024

Yusfitriadi. Dok. Istimewa
Yusfitriadi. Dok. Istimewa

Mendekati tahapan krusial dalam Pemilu 2024, yaitu tahapan pungut hitung, berbagai kejadian yang menghebohkan dan meresahkan semakin bermunculan. Terutama menyangkut profesionalitas dan etika penyelenggara pemilu.


“Belum habis dari ingatan kita, kasus distribusi dan pencoblosan kertas suara di Taipe, jauh sebelum hari pungut hitung, laporan PPATK yang secara tegas dan terbuka adanya dana ilegal yang mengalir untuk kepentingan Pemilu, sekarang muncul simulasi yang dilakukan oleh KPU minimal di dua kota, yaitu Kota Solo dan Kota Tangerang Selatan,” kata Direktur Visi Nusantara Maju, Yusfitriadi kepada RMOLJateng, Kamis (4/1), malam.

Menurutnya, dari tiga kasus tersebut sampai saat ini publik tidak diberikan kepastian hukum bahkan cenderung "menguap" begitu saja. “Sikap KPU dalam merespon kasus Taipe dan simulasi dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada kertas suara, dinilai hanya berhenti pada "permohonan maaf".

“Begitupun sikap Bawaslu dalam merespon laporan PPATK berhenti sampai "kita analisis dulu" sampai saat ini kasus tersebut tidaknada kejelasan. Hanya semudah itu, ketika ada kesalahan dalam proses penyelenggaraan pemilu, cukup minta maaf dan selesai?,” tanyanya.

Padahal lanjut pria yang akrab disapa Yus ini, berbagai kemungkinan dalam kasus-kasus tersebut berimplikasi sangat fatal. Kasus laporan PPATK, kemungkinannya bisa uang hasil kejahatan, uang dari luar negeri, bahkan bersumber dari lembaga negara pun sangat mungkin.

“Dan semua kemungkinan itu jelas "diharamkan" oleh undang-undang penyelenggaran pemilu. Sehingga ketik diharamkan oleh undang-undang, maka ada unsur perbuatan melawan hukum dan sudah bisa dipastikan sanksinya sangat berat. Begitupun dengan dua kejadian yang menyangkut indikasi ketidakprofesionalan dan tidak beretika penyelenggara pemilu mengandung berbagai kemungkinan,” bebernya.

Yus pun menduga, sangat mungkin kondisi tersebut murni sebuah kesalahan penyelenggara pemilu, atau bisa jadi sesuatu yang disengaja untuk kepentingan politik tertentu. Atau bisa jadi kondisi tersebut merupakan salah satu skenario untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu 2024.

“Berbagai kemungkinan tersebut tidak bisa dijawab oleh KPU hanya dengan minta maaf. Atau hanya bisa dijawab oleh bawaslu dengan "nanti kita analisia dulu". Untuk menjawab kemungkinan tersebut hanyalah dengan proses hukum,” tegasnya. 

Karena, kata Yus, hanya melalui proses hukum, seluruh elemen yang berkepentingan dengan pemilu dan seluruh rakyat indonesia bisa mendapatkan kepastian hukum. 

“Dari tiga kemungkinan tersebut dampaknya akan sangat berbahaya dan berimlikasi hukum yang sangat substantif. Jika fenomena-fenomena tersebut murni kesalahan Penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, berarti KPU sudah menapikkan prinsip penyelenggaraan pemilu yang profesional dan akan sampai kapan ketidakprofesionalan tersebut dipertunjukkan oleh KPU,” ungkapnya.

Begitupun, lanjut Yus, ketika kejadian tersebut ada unsur kesengajaan dari pihak-pihak terkait, baik KPU maupun penyedia surat suara maka akan berdampak pada pidana pemilu dan pidana umum.

Apalagi jika dalam kejadian tersebut ada indikasi sebuah skenario untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu, akan berdampak dahsyat dari berbagai sisi, baik orientasi skenario tersebut maupun dampak hukumnya. 

Namun sampai saat ini dua kejadian tersebut tidak mendapat perhatian serius dari penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Seakan berbagai kesalahan tersebut sesuatu hal yang biasa-biasa saja.

“Oleh karena itu beberapa hal itu mampu sampai pada menemukan kepastian hukum diantaranya. Petama, KPU harus mengakui ketidakmampuannya bekerja secara profesional. Sehingga berdampak kegaduhan dan berpotensi merugikan  pihak lain. Disertai pengusutan secara tuntas dimana akar masalahnya,” sebutnya.

Begitupun dengan Bwaslu, nyatakan saja sudah tidak mampu memproses laporan Kepala PPATK tersebut. Sehingga lembaga yang berkompeten seperti Komisi II, lembaga kepresidenan dan lembaga-lembaga yang berkepentingan bisa mengambil treatment untuk menyelematkan demokrasi melalui pemilu 2024.

“Evaluasi Komisi II dan lembaga kepresidenan. Karena yang memilih penyelenggara adalah Komisi II DPR RI dan yang memberikan mandat adalah lembaga kepresidenan Republik Indonesia, maka dua lembaga harus bertanggungjawab atas kondisi penyelenggara pemilu tersebut,” pintanya.

Salah satu bentuknya, lanjut Yus lagi, adalah evaluasi yang berangkat dari abainya penyelenggara pemilu dalam menegakan prinsip penyelenggaraan pemilu. Selain itu, kepastian hukum. Terutama bagi elemen yang dirugikan secara langsung bahkan tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat manapun untuk menempuh jalur hukum agar bisa mendapat kepastian hukum. 

“Selain itu sebagai bentuk ekspresi bahwa penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu dengan menggunakan uang rakyat triliunan tidak bisa bekerja "main-main",” imbuhnya.

Selanjutnya, desakan publik. Yus berharap semua publik menyuarakan indikasi ketidakprofesionalan lembaga penyelenggara pemilu tersebut dan mendesak lembaga-lembaga terkait untuk untuk progresif dalam merespon kasus-kasus tersebut.

“Hal ini penting menjadi perhatian bersama terutama penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu maupun DKPP. Jangan sampai kondisi ini akan memicu berbagai stigma kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu. Sehingga berdampak delegitimasi proses penyelenggaraan dan hasil pemilu,” tandasnya.