Ketua DPR: Naiknya Dolar AS Nggak Bakal Bunuh Ekonomi Kita

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengajak semua pihak tidak terlalu khawatir dengan naiknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Sebab, Indonesia sudah sangat pengalaman menghadapi kondisi itu.


Pekan kemarin, nilai tukar 1 dolar AS mencapai Rp14.500. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia juga cukup tinggi. Per April 2018, jumlahnya mencapai 356,9 miliar dolar AS atau setara Rp4.996,6 triliun. Namun, kata Bambang, kondisi ini tidak mencerminkan Indonesia bangsa yang bodoh atau sakit.

"Semua persoalan itu tidak menyebabkan negara ini dalam kondisi kritis. Depresiasi rupiah tidak akan membunuh perekonomian nasional.  Posisi ULN juga tidak akan membuat Indonesia bangkrut," ucap Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (29/7).

Dalam catatan politisi yang akrab disapa Bamsoet ini, bukan sekarang saja Indonesia dan rupiah dihadapkan pada gejolak nilai tukar. Demikian juga dengan naiknya volume ULN, bukan isu baru juga.

Menurut Bamsoet, fluktuasi nilai tukar volume ULN adalah konsekuensi logis dari besar-kecilnya skala perekonomian. Tidak semestinya fluktuasi nilai tukar dan volume ULN dijadikan isu untuk meneror publik atau menimbulkan pesimisme.

"Depresiasi rupiah dan fluktuasi volume ULN lebih dipengaruhi faktor eksternal, seperti naiknya suku bunga di AS serta dampak dari perang dagang AS terhadap mitra dagangnya," jelasnya.

Dari sisi cadangan devisi, kata Bamsoet, Indonesia masih aman. Meski Bank Indonesia (BI) terus melakukan intervensi pasar untuk menahan depresiasi rupiah, cadangan devisa tidak terkuras. Per April 2018, posisi cadangan devisa negara tercatat 124,9 miliar dolar AS. Cadangan itu mampu membiayai 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor plus pembayaran ULN.

"Lalu, di mana horornya?" cetus politisi Partai Golkar ini.

Bamsoet menegaskan bahwa perekonomian Indonesia pernah menghadapi situasi yang jauh lebih berat, yakni krisis moneter 1998. Berkat pengelolaan ekonomi yang bijaksana lagi prudent, Indonesia bisa lolos dari situasi sulit saat itu. Terlebih saat ini, kondisinya tidak seberat 1998.

"Negara ini tidak bangkrut," kata Bamsoet.

Untuk meyakinkan publik, Bamsoet juga mengambil contoh krisis Yunani 2015. Negeri para dewa itu tidak dapat membayar utang jatuh tempo ke IMF. Namun, kondisi itu tidak membuat Yunani punah. Jelang akhir Januari 2018, perekonomian Yunani mulai pulih dan bisa mencicil utangnya. Berkat proses pemulihan yang konstan, perekonomian Yunani diprediksi tumbuh 2,4 persen pada  2018.

"Jadi, depresiasi rupiah maupun fluktuasi ULN Indonesia jangan diasumsikan sebagai benih-benih kebangkrutan negara ini. Bukankah Pemerintah dan otoritas moneter terus bekerja menjaga keseimbangan.  Memang, untuk menjaga posisi rupiah pada level moderat, semua elemen masyarakat berhak atau harus mengkritisi Pemerintah dan otoritas moneter agar keduanya tidak lengah. Pemerintah dan otoritas moneter pun harus diingatkan untuk memprioritaskan azas prudent dalam mengelola ULN.  Namun, kritik itu hendaknya proporsional dan didukung data kekinian," pintanya.

Bamsoet amat yakin, daya tahan Indonesia lebih dari cukup untuk menghadapi gejolak saat ini. Sayangnya, publik sering terkecoh pernyataan dari sejumlah orang yang cenderung mengejek bangsanya sendiri.

"Ada yang menista dengan menyebut Indonesia sebagai bangsa bodoh. Lainnya menggambarkan negara ini dalam keadaan kritis. Namun, tidak jelas apa pijakan mereka untuk mengejek bangsa ini," cetusnya.

Mengenai jumlah penduduk miskin, kata Bamsoet, negara terus menggelar sejumlah program untuk mengatasinya. Progresnya juga ada, walau tidak signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 tercatat 25,95 juta orang. Jumlah ini turun 633,2 ribu orang dibanding September 2017. Persentase kemiskinan per Maret 2018 tercatat 9,82 persen, atau pertama kalinya Indonesia mencatat angka kemiskinan satu digit.

Jumlah pengangguran juga mengalami perbaikan. Pada Februari 2018, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di level  5,13 persen atau turun dibandingkan Februari 2017 yang berada di level 5,17 persen.

"Adanya progres dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran membuktikan bahwa bangsa ini tidak bodoh, juga tidak dalam kondisi kritis. Kalau bangsa ini bodoh dan kritis, jumlah warga miskin dan pengangguran akan terus bertambah dalam besaran yang signifikan," tandasnya.