Termasuk dalam koleksi benda bersejarah tak ternilai yang direpatriasi ke Indonesia adalah rampasan dari para pahlawan yang gugur saat terjadi Perang Puputan Badung pada tahun 1906. Khazanah kerajaan Badung itu mencakup koin emas, perhiasan emas yang berhiaskan ratna mutu manikam, keris, bahkan daun pintu gerbang Puri Tabanan.
- Ribuan Warga Batang Padati Jalan Saat Kirab Budaya Berlangsung
- Boyamin Saiman: Jangan Pajaki Royalti Seniman
- Tradisi Unik Jumat Kliwon Warga Batang, Mandi di Kolam Masjid Agung Batang
Baca Juga
Pusaka Kerajaan Badung yang dikembalikan dari Belanda itu adalah bagian harta benda yang dijarah oleh pasukan kolonial Hindia Belanda setelah mereka berhasil menyapu raja dan para putranya serta para kesatria Badung dengan mesiu.
Tercatat dalam sejarah, bahwa Puputan Badung yang dimulai pada 15 September 1906 dipicu oleh seorang pedagang dari Tiongkok bernama Kwee Tak Tjieng yang datang kepada Raja Badung.
Intinya ia meminta ganti rugi kepada Raja Badung akibat muatan kapal dagangnya yang berbendera Belanda dijarah oleh rakyat Badung.
Peristiwa penjarahan kapal pedagang Tiongkok ini disebutkan pada 4 Mei 1904 akibat terdampar di Pantai Sanur.
I Gusti Ngurah Made Agung, sang Raja Badung pada saat itu, disebut lebih mempercayai kejujuran warganya sehingga ia tak berkenan memberi ganti rugi.
Permasalahan ini kemudian menjadi rumit karena keluhan Kwee Tak Tjieng disampaikan kepada pemerintah kolonial di Batavia.
Gubernur Hindia Belanda saat itu, Van Heutsz, melakukan tindakan agresif mulai dari blokade ekonomi serta memberikan tenggat waktu agar sang Raja membayar semua ganti rugi hingga Januari 1905. Saat gertakannya diabaikan, sang gubernur mengirimkan ekspedisi militer ke Bali.
I Gusti Ngurah Made Agung sesungguhnya telah menyiapkan uang ganti rugi tetapi ia bersabda bahwa uang itu baru dapat diambil saat ia sudah tewas.
Puputan Badung tercatat dimulai pada 15 September 1906 saat serangan pertama militer Hindia Belanda diluncurkan. Keluarga kerajaan serta semua kesatria yang bertempur di luar puri mampu mempertahankan diri hingga 19 September.
Namun, saat militer Hindia Belanda merangsek lapisan pertahanan Badung, dan mampu mencapai Puri Pamecutan, maka hasil akhir pertempuran ini sudah dapat diketahui. Dengan gempuran meriam bertubi-tubi, tempat pertahanan terakhir para kesatria dan Raja Badung ini mulai rontok.
Maka pada awal hari 20 September 1906, Raja Badung dan semua kesatrianya serta kaum wanita dan anak-anak membersihkan diri dan berdoa.
Setelah itu mereka terjun ke medan perang sambil melemparkan semua koin emas milik mereka kepada lawan.
Mereka tewas lengkap dalam balutan perlengkapan terindah dan terbaiknya di medan pertempuran.
Baik kaum pria mau pun wanita yang tidak gugur dalam medan pertempuran mengakhiri hidup mereka sendiri dengan segala kemegahan perlengkapannya.
Seorang peneliti lontar Bali, Sugi Lanus, bahkan menyebut Puputan Badung adalah suatu peperangan ideologi sekaligus teologi. Fakta mendalam ini terkubur dalam hiruk pikuk duniawi dan tidak diketahui oleh banyak warga Indonesia.
Dengan demikian, repatriasi benda-benda kerajaan Badung tersebut merupakan upaya untuk menghormati para nenek moyang bangsa Indonesia yang gugur di puputan tersebut.
Sebagaimana disebut oleh Direktur Jenderal Hilmar Farid di media sosialnya, repatriasi ini bukan hanya sekedar mengembalikan benda mati tetapi juga upaya merebut ingatan kolektif bangsa-bangsa di Nusantara.
Tambahan pula, tahap repatriasi ini merupakan babak penutup dari suatu sejarah pahit kolonialisme sekaligus membangun kembali komitmen bangsa Indonesia untuk menghormati sejarah.
- Paduan Suara Perkuat Harmoni Sosial Dan Kesatuan Antar Umat Beragama
- Lewat Sesaji Rewanda Goa Kreo, Wali Kota Semarang Ingatkan Jaga Alam Sekitar
- Xodiac, Anggun C Sasmi Hingga Waldjinah, Tampil Memukau Dalam Persembahan dari Solo