Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) membedah pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. Lembaga itu
memandang ada beberapa hal yang perlu menjadi perhaÂtian pemerintah.
Karena, Indef menilai capaian pertumbuhan tersebut ternyata bersifat
paraÂdoks. Ada kontraproduktif antara kinerja variabel makro ekonomi
dengan sektor riil.
- Bantu UMKM Daerah Penyangga, Grand Batang City Bantu Food Truck pada Desa Penyangga
- Bank Jateng Syariah Raih Penghargaan Best Halal Financial Support
- Gelar Halalbihalal 1443 H, Semen Gresik Dorong Sinergitas dan Kinerja Unggul Seluruh Karyawan
Baca Juga
"Kami perlu sampaikan sejak dini ke pemerintah. Karena kalau kondisi ini nggak diantisipasi akan menimbulkan kerugian," ungkap Direktur Indef Enny Sri Hartati di Kantor Indef di Jakarta, kemarin.
Dia memaparkan, pertumbuhan ekonomi 5,27 persen konÂtribusi signifikannya dari belanja pemerintah. Antara lain karena pemberian tunjangan Hari Raya (THR) dan bantuan sosial.
Jika dilihat,menurut Enny, akselerasi belanja pemerintah ternyata hanya berdampak pada peningkatan sektor konsumtif (konsumsi rumah tangga). SeÂmentara sektor produktif (inÂvestasi) mengalami penurunan.
Seperti diketahui, pada kuarÂtal II-2018, belanja pemerintah tumbuh 5,26 persen. Realisasi itu mengalami kenaikan dari 6,31 persen pada kuartal ImenÂjadi 8,5 persen pada kuartal II-2018. Realisasi belanja APBN kuartal II 2018 mencapai Rp 523,70 triliun (23,58 persen).
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal I-2018 tumbuh 7,95 persen, dengan kontribusi 32,12 persen. Namun pada kuartal II 2018, hanya tumbuh 5,87 persen dan kontribusinya turun menjadi 31,15 persen. Pada sektor produktif, pertumbuhan industri manufaktur non migas mengaÂlami penurunan dari 5,07 persen ke 4,41 persen. Dan, secara keseluruhan pertumbuhan sektor industri anjlok 3,9 persen pada kuartal II.
Dengan adanya peningkatan konsumsi rumah tangga dan kenaikan inventori, sementara pertumbuhan industri manufakÂtur menurun, Enny mensinyaÂlir konsumsi pasar Indonesia dipenuhi barang dari impor.
"Itu terjawab, ada peningkatan impor yang signifikan, mencapai 15 persen lebih," ujarnya.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menyarankan pemerinÂtah untuk meningkatkan kinerja ekspor. Apalagi, sepanjang tahun ini pertumbuhan eskpor lebih rendah dibandingkan pertumÂbuhan impor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan. SeÂlain itu, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia terus mengalami penurunan. Pada 2013, pangsa ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia menÂcapai lebih dari 1 persen, namun pada 2017 pangsanya menyusut menjadi 0,9 persen.
"Sepanjang 2013-2016, pangsa ekspor Vietnam terhadap ekspor dunia naik dari 0,7 persen menjadi 1,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor Indonesia telah direbut oleh negara kompetitor, artinya produk-produk domestik masih sulit melakukan penetrasi di pasar global," katanya.
Dia
menambahkan, neraca perdagangan pada kuartal II-2018 yang defisit 1,02
miliar dolar AS menyebabkan reduksi terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk
pertama kalinya sejak 2014, pangsa neraca perdagangan justru mereduksi
pertumÂbuhan ekonomi dengan pangsa sebesar 0,52 persen dari sebeÂlumnya
berperan 0,33 persen pada kuartal I 2018.
- Pesta Belanja Shopee Dorong Penjualan UMKM
- Arus Mudik Lebaran, Bandara Adi Soemarmo Tambah Jam Operasional
- Fantastis, Rumah BUMN Rembang Semen Gresik Bukukan Transaksi UMKM Rp1,8 Miliar