Kupat Jembut, Tradisi Bulan Syawal Warga Semarang

Tradisi Lestarikan Berbagi Jalin Silaturahmi
Ketupat jembut selalu dihidangkan warga setiap syawalan sebagai tradisi rutin dan sejak dulu dianggap memiliki makna meskipun sederhana. Dicky Aditya/RMOLJateng
Ketupat jembut selalu dihidangkan warga setiap syawalan sebagai tradisi rutin dan sejak dulu dianggap memiliki makna meskipun sederhana. Dicky Aditya/RMOLJateng

Sebuah tradisi 'kupat jembut' selalu diadakan warga setiap merayakan setelah seminggu Hari Raya Idul Fitri atau dikenal dengan kupatan bulan Syawal.


Warga di beberapa lokasi di Kota Semarang, beranggapan melalui kupatan dan berbagi kupat jembut' akan mempererat silaturahmi antar sesama warga. 

Sejak dulu kala, tradisi terus dilestarikan hingga kini dan jadi sesuatu bernilai dan memiliki makna penting. Seperti yang dilakukan warga di Kelurahan Pedurungan, sejak usai subuh mereka telah berkumpul di Masjid Kampung Jaten Cilik.

Kebanyakan ingin berebut adalah anak-anak. Ada pula kalangan ibu-ibu rumah tangga juga ikut antre mendapatkan kupat jembut. 

Khas dari kupat jembut, isian di dalamnya mirip seperti rambut dan dinamakan ketupat jembut. Berisi tauge dan berbagai isian membuatnya unik dan penuh akan makna filosofis. 

Salah satu warga Suminah mengatakan, tidak lengkap bila Lebaran tanpa tradisi berebut kupat jembut. Tradisi rutin ini juga dianggap menyatukan silaturahmi antar warga karena bisa bertemu silaturahmi santap bersama di masjid. 

"Setiap tahun kami anggap ini untuk silaturahmi kebersamaan sehingga setelah Lebaran tetap rukun. Seperti kalau dari dulu nenek moyang leluhur percaya bahwa ketupat jembut sejarahnya dan artinya juga untuk tali silaturahmi, selain bisa makan bersama seluruh warga," ucap dia. 

Para anak-anak diantara puluhan wargalah yang tampak antusias memperhatikan ketupat jembut. Bahkan banyak dari mereka baris di depan agar bisa dapat dahulu dibandingkan teman-temannya. 

Setiap ada tradisi semacam ini, warga menikmati kebersamaan usai Idul Fitri setelah sepekan, dengan berkumpul di masjid melakukan tradisi turun temurun ini didahului doa bersama sebagai ungkapan syukur. Kemudian, acara ditutup santap bersama ketupat jembut, kuliner turun temurun syawalan yang selalu dinanti-nantikan. 

Selain di masjid, warga juga membawa pulang ketupat bagi anggota keluarganya bila tak ikut acara. Warga sekitar percaya tradisi ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, dulu di bawa leluhur dari daerah timur wilayah Mranggen. 

Makna terkandung, kupat jembut dianggap warga simbol Idul Fitri sudah usai dan aktivitas kembali normal. Warga menggelar peringatan syawalan untuk memaknai tanda mereka telah bersilaturahmi dan saling memaafkan. 

Namun, warga juga kerap beranggapan kupat jembut merupakan lambang kesederhanaan hidup. Sebagai arti lain atau cerminan bahwa masyarakat memilih sederhana tanpa bermewah-mewahan. 

Ada beberapa wilayah di Pedurungan, Semarang memiliki tradisi sama ini. Tetapi, ada perbedaan pada isian ketupat disajikan, terkadang warga menyelipkan uang di dalamnya. Sehingga, anak-anak pun sangat senang dan gembira bila berebut.