Lampah Mbisu Dan Bagikan Jadah, Wujud Syukur Dan Harapan Masyarakat Pada Pemimpin Karanganyar

Ribuan warga Karanganyar menggelar aksi "Lampah Mbisu" sehari setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Karanganyar periode 2018-2023. Aksi tersebut sebagai salah satu bentuk mengayubagyo (syukuran) atas pelantikan Juliyatmono dan Rober Christanto, Minggu (16/12) malam.


Rombongan berkeliling sambil membawa pusaka berwujud tombak yang diiringi dengan gunungan berupa sayuran, joli yang berisi jadah dan pembawa obor.

Berangkat dari rel bengkong di seputaran pabrik gula Tasikmadu berkeliling hingga akhirnya berhenti di kediaman Bupati Karanganyar Juliyatmono di Pokoh, Ngijo Tasikmadu.

Pasangan Juliyatmono dan Rober Kristanto yang menggunakan ikat kepala dan baju berwarna hitam sudah menunggu di depan rumah bersama dengan para Punakawan (Semar, Gareng,  Petruk,  Bagong).

Perwakilan dari rombongan kirab menyerahkan pusaka berwujud tombak kepada Juliyatmono sebagai simbol rakyat (Karanganyar) ke memberikan amanah kepada keduanya untuk membangun Karanganyar yang lebih baik. 

"Terima kasih dari saya dan mas Rober (untuk acara ini). Mengambil tema Siji Wadah Ojo Pecah" (menjadi satu dan jangan terpecah). Mari bersama - sama membangun Karanganyar menjadi lebih baik dalam 5 tahun kedepan. Mohon mohon doanya agar kami dapat menyelesaikan amanah yang sudah diberikan ini sampai berakhirnya masa bakti pada 2023 mendatang," ucap Juliyatmono.

Sementara itu salah satu panitia acara,  Aris Susanto sampaikan aksi kebudayaan itu juga sebagai bentuk keprihatinan munculnya ujaran kebencian, permusuhan, fitnah, serta provokasi sesama anak bangsa belakangan ini.

"Menjelang Pilpres saat ini, kita bisa saksikan maraknya ujaran kebencian, provokasi, maupun penghinaa di sosial media. Situasi seperti ini tak bisa kita biarkan terus menerus, mau jadi apa bangsa ini," paparnya.

Aksi budaya ini juga didukung masyarakat dari berbagai lintas agama, lintas organisasi keagamaan dan kepemudaan, dan organisasi lintas sosial kemasyarakatan.

"Sebagai bentuk harapan warga kepada pemimpinnya agar mengayomi segenap rakyat Bumi Intanpari tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Juga  mengajak masyarakat agar tetap bersatu dan tak tercerai berai karena perbedaan," jelasnya.

Acara yang berakhir menjelang tengah  tengah malam ini ditutup dengan 'sebara jadah sewu' kepada seluruh masyarakat yang hadir.  Jadah Sewu sendiri merupakan bahasa cinta, bahasa ajakan tetap merekat, serta bahasa kesungguhan.

"Selain merekatkan, jadah itu juga berarti sungguh-sungguh (bahasa Arab; Jadda) dalam melayani rakyat," jelasnya.

Uniknya pembuatan jadah ini prosesnya menggunakan air yang berasal dari tujuh sumber air. Diantaranya air Zam-Zam, air sumber Pringgondani dan Sendang Drajad Lereng Lawu, Sumur Songo peninggalan PB IX, sumur Pesanggrahan Langenharjo, Umbul Pengging.