Literasi Budaya Penting bagi Jurnalis untuk Pelestarian dan Penguatan Identitas Bangsa

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Alamsyah SS, M.Hum, dan Ketua Pusat Kajian Media dan Kebudayaan, Dr. Teguh Hadi Prayitno, MM, MH, M.Hum, Dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Kajian Media dan Kebudayaan bersama Kesbangpol Provinsi Jateng di kantor Kesbangpol Provinsi Jateng, Jl. Ahmad Yani No.160 Semarang, Jumat (26/07). Umar Dani/RMOLJateng
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Alamsyah SS, M.Hum, dan Ketua Pusat Kajian Media dan Kebudayaan, Dr. Teguh Hadi Prayitno, MM, MH, M.Hum, Dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Kajian Media dan Kebudayaan bersama Kesbangpol Provinsi Jateng di kantor Kesbangpol Provinsi Jateng, Jl. Ahmad Yani No.160 Semarang, Jumat (26/07). Umar Dani/RMOLJateng

Pengetahuan kebudayaan sangat penting bagi para jurnalis, sehingga literasi kebudayaan dalam media perlu ditegaskan.


Pernyataan ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Alamsyah SS, M.Hum, dalam diskusi "Pemasyarakatan dan Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila: Peran Media Dalam Melindungi Budaya Bangsa".

Acara ini diadakan oleh Pusat Kajian Media dan Kebudayaan bersama Kesbangpol Provinsi Jateng di kantor Kesbangpol Provinsi Jateng, Jl. Ahmad Yani No.160 Semarang, Jumat (26/07).

"Jurnalis perlu memiliki literasi budaya yang bertujuan untuk pelestarian budaya, membangun karakter, serta memperkuat ideologi ketahanan budaya, politik, dan ekonomi," kata Alamsyah di depan peserta.

Diskusi ini diikuti oleh para jurnalis, akademisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, dan berbagai kalangan lainnya, serta dibuka oleh Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jateng, Haerudin, SH, MH.

Menurut Alamsyah, bahasa sebagai salah satu unsur budaya memegang peranan penting, terutama di era jurnalisme warga saat ini. Ia berharap tidak ada wartawan yang "nabok nyilih tangan", atau dalam arti tidak melakukan tindakan yang merugikan dengan menggunakan orang lain.

Alamsyah juga berharap para wartawan tidak bersikap arogan meskipun memiliki pangkat, jabatan, kekuatan, dan kemampuan. Ia mengutip pepatah Jawa, "Ojo adigang, adigung, adiguna" yang berarti tidak sombong meskipun memiliki kekuatan dan kemampuan.

Ia juga mengingatkan pentingnya prinsip "Luwih becik alon-alon waton kelakon", yang mengajarkan untuk tidak terburu-buru agar tidak gagal dalam mencapai tujuan. Prinsip "Mulat sarira hangrasa wani" juga ditekankan, yang berarti harus selalu introspeksi diri dan berani menghadapi kebenaran dan kesalahan.

Selain itu, Alamsyah menekankan pentingnya keberanian untuk melawan kejahatan demi membela kebenaran, dengan keyakinan bahwa kejahatan pasti akan dikalahkan.

Acara ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran para jurnalis mengenai pentingnya nilai-nilai budaya dalam profesi mereka, serta menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan dan pemberitaan.

Ketua Pusat Kajian Media dan Kebudayaan, Dr. Teguh Hadi Prayitno, MM, MH, M.Hum, menyampaikan bahwa setelah sekian lama, akhirnya kita memiliki undang-undang tentang pemajuan kebudayaan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017.

Teguh mengatakan keberadaan media sosial saat ini, serta perkembangan teknologi dan globalisasi, banyak mencerabut potensi budaya kita.

"Potensi budaya kita yang diwujudkan dalam ekspresi seni, tradisi, relasi sosial, dan berbagai simbol lainnya di masyarakat, sebagian tercerabut akibat media sosial," ujar Teguh yang juga wartawan senior di Semarang.

Oleh karena itu, media massa atau pers harus terus memberikan kontribusi agar kebudayaan dapat menyatu dan terkoneksi dengan agama dan Pancasila, sehingga dapat memberi warna dalam kehidupan bersama untuk kemajuan bangsa dan negara.

"Pers dan teman-teman jurnalis harus lebih banyak mendorong nilai budaya melalui berita di media massa agar kita semakin maju, bersatu, dan toleran. Hal itu sejalan dengan fungsi pers dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yaitu sebagai media pendidikan, informasi, hiburan, dan kontrol sosial," ajak Teguh.

Pembicara lainnya dalam diskusi tersebut adalah Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Jateng, Muhammad Auliya Assahidin, SS, dan wartawan media Iswidodo.

Sementara itu, Pusat Kajian Media dan Kebudayaan sebagai lembaga nirlaba selain menyelenggarakan diskusi dan seminar, juga menyelenggarakan riset dan kegiatan lainnya.