Catatan dari Perda Pemajuan Kebudayaan Daerah

Oleh: Gunoto Saparie*)
Gunoto Saparie
Gunoto Saparie

Hampir setahun sudah sejak Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah disahkan.

Tepatnya 28 Agustus 2024. Sebuah dokumen resmi, dengan huruf-huruf tegas dan bahasa yang nyaris seperti doa: merawat kebudayaan, menjaganya dari kikisan waktu, dan, jika mungkin membuatnya tumbuh di tanah yang hari ini makin gersang oleh ingatan pendek dan hiruk pikuk praktisisme.

Akan tetapi, seperti banyak niat baik yang lahir dalam ruang sidang, Perda itu kini seolah menggantung di langit, terlalu jauh untuk dijangkau tangan rakyat, terlalu dekat untuk diabaikan sepenuhnya.

Ia belum bisa dilaksanakan. Alasannya terdengar teknokratis: peraturan gubernur, sebagai aturan turunan, belum juga lahir.

Kita tahu, dalam sistem pemerintahan yang hirarkis, Perda tanpa Pergub ibarat naskah drama tanpa panggung.

Ia hanya bunyi-bunyi yang terbit dari kertas, tidak pernah menjelma aksi. Maka kita pun bertanya: Mengapa kebudayaan, yang kerap dikutip dalam pidato dan selebaran resmi, kembali harus menunggu?

Ada pasal-pasal dalam Perda itu yang sejatinya berdenyut. Salah satunya tentang pembentukan Dewan Kebudayaan.

Sebuah badan yang mestinya bukan hanya seremoni, melainkan ruang hidup bagi suara-suara dari seniman, budayawan, tokoh adat, dan masyarakat adat yang selama ini bicara di ruang-ruang kecil.

Di sinilah seharusnya negara mendengarkan, tidak sekadar memutuskan. Akan tetapi, tubuh dari pasal itu belum punya nyawa, karena Pergub tak kunjung datang.

Barangkali, seperti banyak hal lain di republik ini, keterlambatan itu tak dianggap darurat. Birokrasi, seperti yang kita tahu, punya cara berjalan yang aneh.

Kadang tergesa untuk hal-hal yang menguntungkan, tapi lamban ketika yang dibahas adalah nilai, sejarah, dan warisan budaya yang tak bisa diukur dalam grafik pertumbuhan.

Barangkali juga karena kebudayaan, yang begitu akrab disebut dalam dokumen-dokumen pembangunan, masih dianggap semata-mata hiasan.

Akan tetapi kita tahu, kebudayaan bukan sekadar pertunjukan tari saat tamu datang, atau pameran batik saat festival tahunan digelar.

Kebudayaan adalah cara hidup, cara berpikir, cara kita memahami waktu, tanah, dan sesama.

Dan jika pemerintah sungguh ingin memajukannya, maka aturan yang sudah disahkan itu tak cukup berhenti sebagai formalitas. Ia perlu diterjemahkan ke dalam tindakan.

Ke dalam program. Ke dalam pendanaan. Ke dalam keberpihakan.

Dalam kesunyian itu, kita teringat bahwa kebudayaan sering kali tumbuh justru di sela-sela ketidakpedulian negara.

Ia dirawat oleh komunitas kecil, oleh individu yang keras kepala, oleh seniman yang menulis puisi meski tak dibaca siapa-siapa.

Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan negara abai. Justru karena akar rumput terus hidup, mestinya negara hadir, bukan untuk mengatur, tapi untuk memayungi.

Maka, evaluasi terhadap pelaksanaan Perda ini tak perlu menunggu audit resmi.

Cukuplah kita mendengar suara-suara dari teater kecil, sanggar tua, atau desa yang mempertahankan ritual—dan bertanya: apakah mereka sudah merasa diperhatikan?.

Apakah Dewan Kebudayaan yang dijanjikan sudah mendekat ke realitas mereka?. Ataukah semua ini hanya satu lagi janji yang lahir dari meja sidang, lalu menguap di atas meja birokrasi?.

Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa “kebudayaan adalah yang tersisa ketika yang lain hancur.” Akan tetapi, barangkali kita harus menambahkan: ia juga yang pertama diabaikan, ketika janji tinggal janji. Tiba-tiba kini Luthi-Taj Yassin sudah 100 hari memimpin provinsi ini.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)