Terdakwa kasus pidana tagihan fiktif Pelabuhan Khusus PLTU Batang, Rosi Yunita merasa dikorbankan oleh mantan atasannya di PT Aquila Transindo Utama (ATU). Sembari menangis, ia mengungkapkan hal itu saat sidang dalam pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan.
- Majelis Hakim Anggap Juliari Batubara Sudah Cukup Menderita Dimaki dan Dihina Rakyat
- Polisi Tangkap ‘Residivis’ Pencuri Kotak Amal di Semarang
- Penggerebekan Pabrik Pil Koplo, Wali Kota Semarang Akan Evaluasi Perizinan
Baca Juga
Ia mengaku hanya disuruh. Lalu, blak-blakan menyebut peran tiga saksi yang dalam sidang sebelumnya hadir. Tiga nama yang disebut dalam persidangan adalah Kapten Pandu Agus Pujo Utomo, Supervisor Ahmad Zaenuri dan Direktur PT Aquila Transindo Utama M Rondhi.
"Saya hanya disuruh atas nama Agus Pudjo," kata Rosi sembari terisak menjawab pertanyaan majelis hakim, Kamis (3/11) sore.
Ia menyebut nama kapten pandu itu saat dicecar hakim serta jaksa penuntut umum (JPU) tentang permintaan blangko kosong yang ditandatangani beserta cap pada staf PT Sparta Putra Adhyaksa (SPA) melalui chat. Staf PT SPA yang dimintai adalah Syaiful Niko yang juga pernah hadir sebagai saksi.
Rosi juga mengungkapkan bahwa yang memerintah adalah Kapten Pandu Agus Pujo. Setelah mendapatkan itu, ia serahkan pada Agus Pudjo.
Kemudian, ia kembali disuruh membuat surat keterangan pandu sebagai dasar pembuatan pra nota. Pra nota itu sebagai dasar terbitnya invoice.
"Ngeprintnya di kantor. Printernya di meja Supervisor. Di situ bertiga. Saya, Agus Pujo dan Pak Ahmad (supervisor). Tahu semua," jelasnya.
Terkait penerbitan invoice jasa pandu dan tunda, hal itu merupakan kewenangan finance atau keuangan. Ia tidak tahu sama sekali.
Rosi juga mengatakan hanya mengerjakan perintah. Untuk jobdesk atau aturan kerja selama bekerja di PT ATU, ia mengaku sejak masuk kerja tidak pernah diberi tahu. Selama kerja, ia hanya bekerja sesuai perintah atasannya.
Hingga akhirnya ada laporan ke Polres Pekalongan Kota, Rosi merasa syok. Saat itu, ia mendapat tekanan dari pimpinannya agar tidak menyebut nama kapten Agus Pujo dan Ahmad Zaenuri.
"Saya dipaksa untuk bilang seperti itu, dipaksa pak Rondhi direktur. Sebelum BAP Pertama," tutur Rosi di depan majelis hakim.
Ia bahkan dijanjikan mendapat pendampingan, tapi tidak ada. Bahkan ada utusan PT ATU yang datang ke Rutan untuk memaksanya mengaku bahwa perbuatan itu dilakukan sendiri.
Hingga akhirnya, Rosi sadar dikorbankan dan membuat pernyataan tambahan dalam BAP. Ia mengungkapkan bahwa mengalami tekanan pada BAP pertama.
"Setelah jadi tersangka saya baru cerita ke orangtua. Saya baru sadar kalau dipakake (dikorbankan)," ucapnya sambil menangis.
Sidang pidana itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mukhtari dengan hakim anggota Budi Setyawan dan Hilarius Grahita.
Ketiga hakim itu menyesalkan pernyataan Rosi yang baru diungkapkan saat pemeriksaan terdakwa. Seharusnya, pernyataan itu dibuka saat ketiga nama yang disebut Rosi menjadi saksi.
"Mengapa kemarin tidak ngomong? Jujur, ada apa dengan kamu? Sekarang, di sini tidak ada orangnya," kata Hakim Hilarius Grahita.
Rosi hanya menjawab lupa sambil menangis. Hingga menyebut bahwa 95 persen yang bekerja di PT ATU merupakan seniornya.
Pada akhir persidangan terdakwa Rosi menyatakan bahwa dirinya korban. Sebab, ia tidak tahu hal yang dilakukannya itu salah karena hal itu merupakan pekerjaan yang diminta kantor.
- Sudah Membusuk, Dua Jenazah Teroris Poso Langsung Dimakamkan Di Pobaya Palu
- KPK Tetapkan Bupati Banjarnegara Sebagai Tersangka
- Jadi Kurir Narkoba Dijanjikan Bonus Rp 10 Juta, Berakhir Dalam Jeruji Besi