Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) sudah pasti hanya diikuti dua pasangan calon, yakni Andika Perkasa-Hendrar Prihadi dan Ahmad Lutfi-Taj Yasin. Meski ada dua jenderal yang berkompetisi sebagai calon gubernur (Andika menyandang bintang empat, Lutfi punya tiga bintang di pundaknya), Andika yang lebih senior menyebut yang terjadi bukan perang bintang tapi perang ide.
Kenapa dipilih sebagai perang ide? Bukankah realitasnya memang ada dua perwira tinggi yang harus bertarung mendapatkan simpati dan dukungan untuk memimpin Provinsi Jawa Tengah?
Sebenarnya, ide menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki makna “rancangan yang tersusun di dalam pikiran; gagasan; cita-cita”.
Mungkin bagi Andika, mantan Panglima TNI yang diusung PDI Perjuangan sebagai calon gubernur; dia tidak ingin membawa-bawa korps bersenjata dalam kontestasi politik yang sejatinya memang tidak diijinkan dilakukan menurut peraturan perundangan.
Kita belum tahu apakah Lutfi juga bersepakat bahwa kontestasi ini adalah perang ide. Pasalnya, sampai tulisan ini disusun, mantan Kapolda Jateng ini belum memberi tanggapan secara resmi atas pernyataan Andika di GOR Sritex Solo. Tapi kita meyakini sebagai perwira tinggi, Lutfi pasti sepakat untuk tidak membawa-bawa jajaran korps untuk masuk dalam kontestasi politik, termasuk di Pilgub Jateng 2024 kali ini.
Menjadikan kontestasi sebagai perang ide, adalah sesuatu yang sudah seharusnya. Obral janji dalam kampanye sepertinya menjadi terminologi yang dihindari karena masyarakat, konon, sudah bosan dan kecewa karena banyak janji politik yang tak diwujudkan. Janji yang dinyalakan pada saat kampanye, menjadi sekedar janji.
“Tapi janji tinggal janji, di bibirmu”, seperti petikan lagu “Dingin” karya Rinto Harahap.
Pemilihan diksi ide atau gagasan, menarik disimak. Meski dalam KBBI, “janji” memiliki implikasi yang lebih jelas. KBBI mengartikan “janji” sebagai “ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat”; “persetujuan antara dua pihak”; “syarat, ketentuan (yang harus dipenuhi)”. Sementara “Ide” setara dengan gagasan, yang bermakna “susunan rancangan hasil pemikiran”. Artinya, tidak ada kewajiban menjadikan ide yang diterima menjadi tindakan nyata.
Tapi sudahlah, kamus bahasa memang seringkali kalah aktual dalam memberi makna atas kata yang dipakai dan yang dimaksud penggunanya.
Dalam berbahasa, makna memang merupakan entitas yang terus berubah. Bahasa tidak statis, makna kata-kata terus berkembang seiring waktu dan penggunaannya. Bahasa selalu terbuka untuk perubahan, termasuk dalam segi maknanya. Ambil contoh kata “duga” yang emiliki arti “mengira”, ternyata berasal dari kata “batu” dalam frasa “batu duga,” yang dulunya digunakan untuk memperkirakan kedalaman laut.
Perubahan makna kata selain bisa meluas, bisa juga menyempit atau bersifat peyoratif. Kata “tabib” yang dulunya merujuk pada dokter, kini justru merujuk kepada pelaku pengobatan yang tidak didasarkan pada ilmiah. Karena itu, perang ide yang dipakai sebagai narasi kompetisi pasangan calon dalam Pilgub Jateng 2024 sah-sah saja.
Sebagai warga masyarakat Jawa Tengah, bolehlah berharap bahwa Perang Ide yang akan terjadi adalah sesuatu yang memang pantas ditunggu. Kemunculan ide yang relevan, yang bisa diimplementasikan, dan bisa membawa Jawa Tengah lebih maju, lebih sejahtera, dan tetap aman dan tenteram; menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan.
Masyarakat sebagai pemilik hak pilih, sekaligus penentu siapa yang disepakati menjadi pemimpinnya, seringkali kesulitan mengekspresikan isi hatinya. Janji kampanye politik yang dibungkus dalam bentuk jargon dan rangkaian kata yang indah dan mudah diingat, kerap membuat masyarakat terkecoh. Buntutnya, salah pilih. Tak lama setelah pemimpin terpilih dilantik, banyak pendukung fanatik yang mendadak berubah menjadi pengecam. Pendukung menjadi pembenci, merasa dikecewakan, dikhianati, bahkan merasa ditipu.
Demokrasi sudah menjadi model politik yang diterapkan karena diyakini menjadi cara yang pas untuk memilih pemimpin eksekutif dan memilih wakil di lembaga legislatif. Sayangnya, belum selesai periode masa tugasnya, kekecewaan bermunculan. Sebagai pemilih, masyarakat hanya bisa menyatakan kekecewaan di ruang yang dikuasainya. Kalau dulu di warung kopi, kini ruang media sosial menjadi pilihan.
Hanya segelintir kelas menengah dan elit yang bisa mengekspresikannya dengan cara yang efektif dan berdampak. Hanya sedidkit yang bisa memakai ruang resmi dan terhormat untuk mengekspresikan kritik dan aspirasinya. Dengan kondisi seperti itu, rakyat kebanyakan selalu menjadi pihak yang dirugikan, menjadi yang terabaikan, dan bisa jadi tersingkirkan.
Kalau saja para pemimpin yang terpilih adalah sosok-sosok yang sudah “selesai dengan dirinya sendiri”, responsif, mau belajar dari sejarah para pendahulu, serta berkesunguhan dalam melayani rakyat; tidak ada hambatan besar untuk melakukan tugas yang seharusnya. Rakyat kita memahami, jika karena kondisi tak memungkin, kalaupun semula janjinya memberi minum susu sapi atau susu kambing; jika harus diganti dengan susu kerbau ataupun susu kedelai pun tidak masalah. Toh sama-sama susu.
Lantas, ide-ide apa yang akan muncul dalam “perang” Pilgub Jateng 2024?
Biarlah Jenderal (Purn) Andika Perkasa dan Hendrar Prihardi serta Komjen (Pol) Ahmad Lutfi dan Taj Yasin yang akan menyatakannya. Mungkin di sesi debat, kedua Paslon akan mengungkapkannya. Kalau dalam debat resmi paparan idenya tidak tuntas, tugas media massa meminta kelengkapan ide agar menjadi utuh.
Sebagai rakyat, kita berharap, para Cagub dan Cawagub Jateng bisa bersikap seperti RM Said yang kemudian kita kenal sebagai KGPAA Mangkunagoro I. Semboyan “Tiji Tibeh, Mati Siji Mati kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh” (terjemahan bakunya Mati Satu Mati Semua, Sejahtera Satu Sejahtera Semua) rasanya masih relevan. Pahit dan manis (harus) sama dirasakan.
- PON XXI: Jateng Sumbang Dua Medali Perunggu Dari Drumband
- Jelang Pilkada 2024, Polres Wonosobo Gelar Patroli Skala Besar
- PHK Massal Ribuan Buruh Di Jawa Tengah