SUDAH banyak yang tahu debut Andika Perkasa sebagai komandan pasukan pengawal presiden (Dan Paspampres). Kepemimpinannya sebagai Kepala Staf Angkatan darat (KSAD) dan sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kepangkatannya sebagai jenderal bintang empat, juga sudah sering kita dengar.
- Wali Kota Tegal : Wilayah Eks Karesidenan Pekalongan Harus Jadi Super Prioritas
- Lindungi Situs Kuno, Banjarnegara dan Kemenkumham Bahas Raperda Cagar Budaya
- Divonis 15 Tahun Atas Kasus Pencabulan Anak, Kuasa Hukum R Berencana Banding
Baca Juga
Perjalanan karirnya sebagai ksatria, berjalan baik sampai purna tugas pada 19 Desember 2022. Namun dalam jagat politik, orang baru melihatnya saat dia bergabung sebagai salah satu Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo – Mahfud MD di Pilpres 2024. Andika terlihat berkhidmat menekuni jagat politik.
Fenomena kemunculannya sebagai salah satu nama yang dianggap layak memimpin Provinsi Jawa Tengah menjadi indikasi bahwa Andika didorong untuk masuk dalam Pilkada serentak di provinsi yang berada di tengah-tengah pulau Jawa. Meski tak banyak gembar-gembor, dan tidak banyak baliho dan deklarasi dukungan, namanya terus muncul di berbagai wacana dan ruang-ruang survey.
Ada yang mempertanyakan, apakah pas seorang mantan panglima TNI -yang biasanya didapuk menjadi Menteri Pertahanan dan Menko Polhukam- masuk dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub)? Apalagi dalam protokol resmi, kostum seorang gubernur di Indonesia diberi penanda “Bintang Tiga” di pundaknya. Bagaimana tentang hal ini?.
Di era kini, khususnya di ruang politik, sepertinya jenjang karir di militer, Polri dan aparatur sipil negara (ASN) tidak lagi dipandang pararel dengan jenjang kepangkatan yang diraihnya seperti era Orde Baru yang pararelitasnya sangat jelas.
Seorang perwira aktif yang dikaryakan sebagai kepala daerah seperti Walikota atau Bupati, dipastikan tak akan mendapat kenaikan pangkat ke bintang satu atau Brigadir jenderal. Bupati dan Walikota harus menerima status Melati tiga (Kolonel) sampai yang bersangkutan purna tugas alias pensiun.
Sedangkan untuk jabatan Gubernur biasanya diisi oleh perwira tinggi bintang dua, jika yang bersangkutan Bintang satu otomatis naik Bintang dua, dan jika sudah menjabat secara otomatis mendapat kehormatan sebagai perwira bintang tiga, Letnan Jenderal jika yang bersangkutan dari korps TNI AD atau Korps Marinir, Komisaris Jenderal jika dari Polri, Marsekal Madya jika dari TNI AU dan Laksamana Madya jika dari korps TNI AL.
Namun era politik sekarang pararelitas tersebut tidak lagi menjadi ukuran. Seorang Letnan Jenderal bisa menjadi Menteri Pertahanan, seorang jenderal bintang empat bisa ditempatkan sebagai Kepala Staf Presiden.
Di Lembaga legislatif banyak perwira tinggi dan pensiunan aparatur sipil negara setingkat Direktur Jenderal ayang menjadi anggota DPR RI bahkan tanpa jabatan di alat kelengkapan dewan (AKD) khususnya Komisi yang sekarang jumlahnya ada 11 Komisi. Itu semua adalah buah dari reformasi politik yang menghapus pola Dwi Fungsi ABRI, nama saat tiga matra TNI dan Polri dihimpiun di satu kesatuan besar.
Wajar saja kalau kini seorang pensiunan jenderal dengan empat bintang masuk dalam kontestasi pemilihan langsung. Tidak ada yang salah, dan pastinya tidak ada aturan yang dilanggar. Karena itu, munculnya nama Andika Perkasa di bursa Pilgub Jateng 2024 menarik untuk dicermati.
Yang justru patut dipertanyakan adalah, apakah yang bersangkutan selaras dengan harapan warga Jawa Tengah yang jumlahnya sekitar 34,5 juta jiwa?. Apakah yang bersangkutan mampu menanganai persoalan-persoalan yang ada di Jawa Tengah jika terpilih kelak?.
Provinsi Jawa Tengah saat ini dalam kondisi tertinggal jika dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Mengacu data BPS tahun 2023, memakai patokan garis kemiskinan per kapita per bulan mencapai Rp 477.580, masih ada 3,9 juta warga Jateng (10,77%) yang tergolong miskin; sementara di Jatim dengan patokan garis kemiskinan per kapita per bulan Rp 507.286 terdapat 4,18 juta (10,35%) warga miskin.
Adapun di Jabar dengan ukuran garis kemiskinan per kapita per bulan mencapai Rp 495.229 memiliki 3,9 juta (7,62%) warga miskin. Itu satu soal, masih ada masalah lain seperti infrastuktur yang belum merata (Utara dan Selatan serta Pantura Barat dan Timur yang timpang), upah pekerja yang masih rendah (UMP Jateng 2024 Rp 2.036.947; Jatim Rp 2.165.244; Jabar Rp2.057.495) sehingga mendorong urbanisasi.
Jawa Tengah juga masih harus bergulat menghadapi masalah lingkungan, banjir, kurangnya kesempatan kerja, tak boleh diabaikan pula ketersediaan fasilitas pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial yang belum sepadan dengan kebutuhan masyarakat. Ada banyak hal yang membutuhkan kesungguhan dan kejernihan pikir dan sikap untuk mengatasinya.
Kembali ke sosok Andika, apakah dia sosok yang relevan untuk memimpin Jateng lima tahun ke depan?. Masyarakat awam biasa melihat pemimpin ideal dengan 5 hal (nuansanya patriarki), yaitu Wisma (rumah), Wanita (perempuan), Turangga (kuda), Kukila (burung) dan Curiga (pusaka).
Dengan memiliki 5 hal itu, selain dinilai sudah selesai dengan dirinya sendiri, juga memiliki modal untuk menjadi pemimpin. Dengan memiliki rumah seorang pemimpin lebih tenang dalam bekerja karena punya kepastian tempat tinggal, dan menjadi lengkap jika sudah memiliki pasangan hidup.
Pemilikan akan kuda melambangkan bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan mobilitas yang memadai, serta punya ruang pandang (helicopter view) melihat sekelilingnya dengan lebih baik.
Sedangkan pemilikan burung atau kukilo melambangkan yang bersangkutan memiliki kepedulian dan kemampuan berkomunikasi dengan mahluk hidup yang lain. Adapun curiga atau keris melambangkan keahlian khusus, kepercayaan diri serta kualitas pengetahuannya. Dan, Andika Perkasa rasanya sudah memiliki kelimanya.
Jika dilihat dari tiga pilar pemimpin: Wirya (keluhuran, karisma, Arta (modal, kekayaan), Winasis (ilmu atau kepandaian); rasanya ketiganya juga ada dalam diri Andika. Jika betul dia diusung masuk kontestasi, dalang akan mudah membuat narasi (nyandra) tentang sosoknya untuk disampaikan ke khalayak.
Yang perlu ditegaskan, memimpin Jawa Tengah juga memerlukan kedewasaan karena warganya lebih banyak memakai perlambang karena tidak suka berkonflik. Falsafah “Wani ngalah luhur wekasane” (Prinsip hidup yang selalu mengutamakan kesabaran dan rela mengalah) masih dipegang, kalau diganggu atau dikecewakan tidak langsung melakukan perlawanan. “Ngamuk” atau melawan kalau konflik tidak berkahir meski sudah bersikap ngalah dan ngalih.
Persoalannya sering para pemimpin tidak peka, tidak “tanggap ing sasmita”; masyarakat yang mengalah dianggap menerima, warga yang menghindar dianggap mbalela, saat menyampaikan sikapnya dianggap kriminal.
Bisa jadi hal itu terjadi bukan saja karena tidak peka, tapi karena ego pemimpin yang terlalu dominan. Sosok seperti itu belum “manunggal” dengan rakyat sebagaimana konsepsi “manungaling kawulo-gusti” (Satunya pemahaman antara rakyat dan pemimpin).
Sri Mangkunegara IV mengingatkan bagaimana pemimpin harus bersikap melalui Serat Wedatama, bait ke-3 bab Pangkur: “Nggugu karsaning priyangga, Nora nganggo peparah lamun angling, Lumuh ingaran balilu, Uger guru aleman, Nanging jamna ingkang wus waspadeng semu, Sinamun ing samudana, Sesadon ingadu manis” (Hanya menuruti kehendak diri sendiri, Tidak memakai perhitungan ketika berkata, Tidak mau dianggap bodoh, Hanya mabuk pujian, Namun orang yang tahu gelagat, Menyamarkan dalam sikap merendah, Menanggapi dengan ramah).
Semoga sang jenderal berkenan diusung dan didukung dalam Pilgub Jateng 2024 agar bisa bersama mewujudkan Jawa Tengah yang “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Titi Tentrem Kerta Raharja, Tukul Kang Sarwo Tinandur, Murah Kang Sarwo Tinuku” (Tanahnya subur, ramai semarak, kehidupan teratur dan tertata, segala yang ditanam tumbuh, tersedia barang-barang murah serta masyarakat mampu membelinya).
- Wali Kota Tegal : Wilayah Eks Karesidenan Pekalongan Harus Jadi Super Prioritas
- Lindungi Situs Kuno, Banjarnegara dan Kemenkumham Bahas Raperda Cagar Budaya
- Divonis 15 Tahun Atas Kasus Pencabulan Anak, Kuasa Hukum R Berencana Banding