KENAPA hasil survei tentang kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) di akhir kepemimpinannya kebanyakan memberi hasil yang baik? Approval rating alias tingkat kepuasan terhadap kinerja mantan Walikota Solo ini selalu tinggi. Sepertinya wabah penyakit kaum elit yang disebut lame duck atau bebek lumpuh tak mampu menderanya.
Berbagai dugaan bisa dilontarkan secara gampangan untuk mematahkannya. Mulai dari mencurigai pelaku survei masuk angin, sudah dikondisikan, atau apalah sebutan tak sedap lain yang ingin disematkan. Bolah-boleh saja. Namun pernahkah kita merenungkan, jangan-jangan Jokowi memiliki vaksin yang disiapkannya menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden yang akan terjadi pada hari Minggu Kliwon, 20 Oktober 2024.
Dalam primbon Jawa Minggu Kliwon memiliki total neptu atau skor 13 (Minggu 5, Kliwon 8). Seperti apa sifat hari itu, silakan diskusikan sendiri. Sebagai tambahan info, Jokowi lahir hari Rabu Pon 21 Juni 1961 sehingga neptunya 14 (Rabu 7, Pon 7).
Kembali ke pertanyaan kenapa hasil-hasil survei masih terus mengafirmasi bahwa kinerja Pak Jokowi baik, dengan tingkat kesukaan yang bahkan berada di atas 80%? Apa yang menyebabkan hal itu? Karena adanya loyalis, atau karena memakai buzzer, atau karena memang begitu adanya?
Untuk menjawabnya kita tak bisa gegabah, memilih logika karena perasaan semata. Sebaiknya kita membuat perkiraan yang jernih, ngenta-enta, mengira-ngira berdasarkan logika berpikir yang seharusnya. Karena itu, lebih baik jika kita mendalami dan mengulik kenapa persepsi publik memberi nilai positif kepada Jokowi.
Di era sekarang persepsi orang seringkali melekat dengan apa yang disebut sentiment alias tone yaitu perasaan yang dimiliki individu atau kelompok tentang sosok tertentu dan layanan tertentu, yang bisa dikuantifikasi atau diukur dengan membagi jawaban menjadi 3 (positif, netral, negatif) atau lima jenis seperti sangat puas, puas, cukup puas, kurang puas dan tidak puas. Terserah yang mau mengukur. Dengan begitu, apa yang disebut approval rating misalnya, adalah kumpulan pendapat terbanyak dari responden yang menjadi objek survei.
Ada pun modal atau bekal yang kemudian menjadi pendapat atau persepsi orang adalah apa yang disebut citra, rupa, image.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan citra sebagai nomina rupa, gambar, gambaran; Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; Kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi; Data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi. Mengacu pada definisi tersebut, pasti ada benang merah dan peta jalan yang jelas bagaimana terbentuknya citra sebagai bahan baku utama persepsi atau pendapat orang banyak. Dulu sebutannya adalah pendapat umum.
Sosok Jokowi sebagai pemimpin, terlepas dari sikap suka atau tidak suka, harus diakui cukup solid. Harus diakui, dia berhasil membangun citra dirinya melalui paduan aksi dan publikasi yang koheren, sehingga masa kepemimpinannya yang menghadapi banyak persoalan tetap solid dan terpercaya. Kalau kemudian approval rating tinggi di akhir masa jabatan keduanya, itu bukan hasil kerja satu dua bulan.
Melihat sepak-terjangnya, pasti ada banyak citra yang melekat pada diri seorang Jokowi. Namun kali ini kita ambil sembilan citra saja, supaya tidak berlebihan. Supaya mirip dengan program besarnya sewaktu kampanye sebagai calon presiden (capres) kali pertama, Nawacita.
Sederhananya, kita sebutlah Nawacitra Jokowi, suatu Kumpulan persepsi yang membuat dia terlihat kokoh, dan seperti tak tergoyahkan meski berbagai distraksi menerjangnya.
Nawacitra ini semata adalah catatan hasil perenungan penulis. Bukan kajian akademik, ilmiah, dan bukan pula pesanan. Ke-9 citra yang melekat pada diri Jokowi meliputi kesan dia adalah orang yang mau bekerja keras (slogannya kerja, kerja, kerja), tidak suka bermusuhan (selalu menghindar saat dikonfrontasikan dengan pendapat orang), pemberani (berani mengambil risiko, diperlihatkan dengan mendatangani Uni Soviet dan Ukraina saat pertempuran meletus), sederhana (kostum casual dipakai saat kunjungan kerja), rendah hati (selalu menebar senyum, mampu menahan diri dalam situasi tidak enak).
Ada pun empat citra Jokowi yang lain adalah sosoknya sebagai pemimpin yang mampu mewujudkan impian banyak orang yang selama ini terpendam (seperti tol TransJawa, double track kereta api, bandara dan pelabuhan-pelabuhan laut baru selain revitalisasi), murah hati (suka bagi-bagi sepeda, kaos, dan gift lainnya), tidak terlibat korupsi,dan bisa menempatkan diri (tahu diri bagaimana harus bersikap).
Pasti banyak yang punya pendapat lain tentang hal ini. Bisa karena pendapatnya berbeda atau berkebalikan dengan apa yang diuraikan, bisa juga menganggap jumlah citra yang diuraikan kurang banyak atau terlalu banyak; pasti ada pula yang setuju -meski sedikit. Silakan saja diungkapkan.
Apakah Nawacitra Jokowi akan mampu bertahan (atau berkurang, atau bertambah), biar waktu yang membuktikannya.
Apakah gerakan yan dilakukan para mahasiswa dengan aksi Nawadosa Jokowi di Kampus Universitas Indonesia Depok akan meredusir Nawacitra, tidak ada yang tahu pasti.
Sekali lagi biarlah waktu yang membuktikan, apakah citra Jokowi sampai akhir pemerintahannya masih seperti sekarang atau mengalami berubah. Kita manut jaman kelakone (ikut kehendak zaman) saja.
Tulisan Merupakan Opini Atau Pendapat Pribadi, Tidak Mewakili Lembaga Dan Institusi RMOLJawaTengah.