Kenapa di wilayah kabupaten kepolisian RI (Polri) memakai nama Kepolisian resor Kota atau Polresta?
Tata nama yang muncul di beberapa daerah otonom itu serasa mengganjal di hati. Fenomena perubahan status beberapa Polres (Kepolisian Resor) yang ada di wilayah kabupaten menjadi Polresta (Kepolisian Resor Kota) menimbulkan kebingungan. Kenapa Polri memakai nomenklatur atau tata nama “Kota” di wilayah yang berstatus kabupaten?
Penulis menyoal hal itu bukan karena tidak setuju peningkatan status organisasi Polri, tapi ada dorongan memberi masukan dalam hal tata nama dan bahasa semata agar lebih mudah dipahami kaum awam. Pemakaian Kota di Kabupaten seperti menyebabkan ada yang terpoutus dalam hubbungannya dengan “rasa bahasa”.
Memang kabupaten dan kota adalah wilayah pemerintahan yang setara, sama-sama daerah Tingkat dua di bawah provinsi. Namun hal-hal yang secara esensi berbeda. Perbedaan yang paling jelas adalah pimpinan tertinggi di Kabupaten adalah Bupati, sementara di Kota disebut Wali Kota. Penduduk di kabupaten umumnya memiliki mata pencarian di bidang pertanian, sedangkan warga kota biasanya didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa. Dalam konteks luasan wilayah, kota memiliki wilayahnya lebih kecil dibandingkan kabupaten, namun kota memiliki Tingkat kepadatan penduduk lebih tinggi.
Kota sendiri kondisinya beragam. Di Indonesia, kota-kota diklasifikasikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 berdasarkan jumlah penduduknya. Dimulai dari Kota Kecil (Berpenduduk 20.000–50.000 jiwa); Kota Sedang (Berpenduduk 50.000–100.000 jiwa); Kota Besar (Berpenduduk 100.000–1.000.000 jiwa); Kota Metropolitan (Berpenduduk 1 juta – 5 juta jiwa); dan Kota Megapolitan (Berpenduduk lebih dari 5 juta jiwa). Penetapan kelas resor kepolisian juga mempertimbangkan hal ini sehingga ada Polresta, Polrestabes dan Polres Metro.
Memang, pemerintah belum membuat klasifikasi untuk kabupaten yang mengacu pada jumlah penduduk. Jumlah penduduk di wilayah kabupaten hanya berpengaruh terhadap jumlah anggota DPRD setempat, itupun mengacu pada regulasi yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan, aturan itupun berlaku sama untuk wilayah Kota.
Mengacu Pasal 191 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, jumlah kursi DPRD kabupaten/kota berkisar antara 20 kursi sampai 55 kursi. Kabupaten dan kota berpenduduk sampai dengan 100.000 jiwa mendapat alokasi 20 kursi anggota DPRD; Kabupaten/kota berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa sampai dengan 200.000 jiwa mendapat alokasi 25 kursi anggota DPRD; Kabupaten/kota berpenduduk >200 ribu sampai dengan 300 ribu jiwa mendapat alokasi 30 kursi anggota DPRD; Kabupaten/kota berpenduduk >300 ribu jiwa sampai dengan 400 ribu jiwa mendapat alokasi 35 kursi anggota DPRD; Kabupaten/kota berpenduduk lebih dari 400 ribujiwa – 500 ribu jiwa mendapat alokasi 40 kursi; Kabupaten/kota berpenduduk >500 ribu sampai dengan 1 juta jiwa mendapat alokasi 45 kursi; Kabupaten/kota berpenduduk >1 juta jiwa sampai dengan 3 juta jiwa memperoleh alokasi 50 kursi; dan Kabupaten/kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa memperoleh alokasi 55 kursi anggota DPRD.
Dalam hal struktur pemerintahan, wilayah kota dibagi menjadi beberapa kecamatan, dan kecamatan yang ada dibagi menjadi wilayah kelurahan. Di Kota, pemangku jabatan camat maupun lurah ditunjuk oleh Wali Kota. Aparatur aparatur sipil yang ditunjuk menjadi camat dan lurah tidak punya terminasi masa jabatan, lama atau singkatnya masa tugasnya sangat tergantung pada Wali Kota dan Kabag Tata Pemerintahan. Namun dalam konteks kabupaten, hanya camat dan lurah saja yang ditunjuk dari kalangan aparatur sipil negara. Namun di wilayah kabupaten ada wilayah Desa, setara dengan kelurahan, namun Kepala Desa dihasilkan melalui pemilihan langsung.
Memang ada perbedaan yang signifikan antara kabupaten dan kota sebagai wilayah pemerintahan otonom yang ada di wilayah NKRI. Karena itulah, memakai tata nama kepolisian kota di wilayah kabupaten terasa kurang pas. Sampai saat ini di wilayah Kepolisian daerah (Polda) Jateng sudah ada 5 Polresta di wilayah kabupaten. Yang pertama adalah Polresta Banyumas yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor : Kep/1891/X/2019 tanggal 02 Oktober 2019 tentang Perubahan Tipe Kepolisian Resort Banyumas menjadi Kepolisian Resort Kota Banyumas Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Wilayah kabupaten yang organisasi kepolisiannya memakai nama kota berikutnya adalah Kabupaten Pati. Keputusan Kapolri bernomor 1154 VIII 2022 tertangal 30 Agustus 2022 mengubah tipe Kepolisian Resor Pati menjadi Kepolisian Resor Kota Pati Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Momentum yang sama juga terjadi di Kabupaten Cilacap yang sejak 30 Agustus 2022 Polresnya berubah menjadi Polresta. Kenaikan status menjadi Polresta pada saat itu juga terjadi di Kabupaten Magelang, kabupaten ya, bukan kota Magelang.
Polda Jateng pernah mengusulkan kenaikan status 5 Polres di wilayahnya menjadi Polresta dengan pertimbangan tertentu. Kelima Polres yang diusulkan naik status adalah Polres Cilacap, Polres Magelang, Polres Pati, Polres Batang, dan Polres Klaten. Namun pemerintah pusat hanya menyetujui tiga Polres yaitu Cilacap, Kabupaten Magelang dan Pati, menyusul Kabupaten Banyumas yang sudah memiliki Polresta.
Ada ironi dalam pemakaian nomenklatur kepolisian kita. Di Kota Magelang organisasinya dinamakan Polres Magelang, sementara di Kabupaten Magelang nama organisasi kepolisiannya adalah Polresta. Hal yang hamper sama terjadi di Kota Tegal dan Kabupaten Tegal serta Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, dimana payung organisasinya memakai terminologi Polres. Ada Polres Pekalongan dan Polres Tegal Kota; sementara di sisinya ada Polres Kabupaten Pekalongan dan Tegal yag keempatnya sama-sama dipimpin perwira polisi berpangkat AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi). Kepolisian di Kota Salatiga juga memakai penamaan Polres tanpa “Ta”.
Untuk menghindari kerancuan, dan memudahkan pengetahuan masyarakat, ada baiknya pimpinan Polri mempertimbangkan Kembali kebijkannya. Selayaknya kepolisian memakai nomenklatur kota, kota besar, dan metro untuk wilayah yang status wilayahnya kota. Sehingga untuk Kota Tegal, Kota Salatiga, Kota Pekalongan dan Kota Magelang penyebutannya adalah “Polresta”. Sementara untuk Kota Surakarta dan Kota Semarang memakai penamaan “Polrestabes” yang dipimpin perwira polisi berpangkat Komisaris besar (Kombes).
Bagaimana dengan kepolisian resor di wilayah kabupaten?
Untuk kabupaten bisa dipakai jenjang serupa dengan menimbang tingkat kerawanan dan luas wilayah hukumnya, serta jumlah penduduk. Misalnya untuk Banyumas, Pati, Cilacap dan Kabupaten Magelang memakai penyebutan Kepolisian Resor Kabupaten Besar (Polreskabes) yang dipimpin perwira polisi melati tiga, sementara untuk kabupaten lainnya tetap memakai sebutan Polres atau Polreskab. Bahkan untuk Kabupaten Bogor yang penduduknya lima juta jiwa lebih yang bisa naik status bukan saja menjadi Polreskabes, tapi bisa menjadi Polreskab Metro, setara dengan Polrestro Jakarta Barat.
Itu semua hanya sekedar masukan agar memudahkan pemahaman dan komunikasi ke masyarakat. Namun semuanya kembali kepada Kapolri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Kedua pimpinan bisa langsung mengeksekusinya, tanpa harus membawa ke DPR untuk perubahan undang-undang. Sekedar usul saja, barangkali ada gunanya.
- Kapolres Boyolali Pimpin Satresnarkoba Dan Satlantas Bergerak Cegah Narkoba Di Transportasi Publik
- AKBP Rosyid Hartanto Pimpin Upacara Serah Terima Jabatan Pejabat Polres Boyolali
- Operasi Candi: Polres Tegal Kota Laksanakan Binluh Dan Sosialisasi Kepada Ojol