Setiap terjadi gonjang-ganjing seringkali muncul respons mendadak yang kesannya solutif tapi ternyata bisa mengubah secara mendasar apa yang ada sekarang. Begitu pula reaksi publik terhadap positioning institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akibat ulah oknum anggotanya.
- Ruwetnya Jagat Permediaan Dan (Masih) Diamnya Pemerintah
- Menyoal Penamaan Polresta Di Wilayah Kabupaten
Baca Juga
Kecaman masyarakat kemudian ditangkap para narator publik dan kelompok kritis dengan menyuarakan gagasan seperti mengembalikan Polri menjadi satu wadah dengan TNI di institusi yang dulu bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ada pula usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, ada pula yang menginginkan Polri tetap mandiri seperti sekarang ini.
Mencuatnya wacana tersebut ke publik tentu bukanlah buah kesengajaan, tapi sebagai reaksi atas apa yang (mungkin) dirasakan masyarakat terhadap suasana yang terjadi belakangan ini. Yang harus dijaga adalah bagaimana wacana yang muncul ke ruang publik -utamanya di ruang digital dan media sosial, tidak bergulir menjadi bola liar yang mengacaukan kognisi kolektif masyarakat. Wacana tersebut perlu diurai, agar bisa lebih banyak orang yang paham kenapa begini, kenapa begitu. Rasanya perlu dikulik ihwal begono-begininya sampai Polri sampai pada posisi yang sekarang.
Ihwal Polri dipisahkan dari ABRI disebut-sebut sebagai Amanat Reformasi 1998. Para tokoh gerakan reformasi berharap dipisahkannya Polri dari ABRI supaya bisa menjadi lembaga profesional, mandiri, dan bebas dari intervensi dalam penegakan hukum.
Setelah terjadi perdebatan yang ketat pada 5 Oktober 1998, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No 2 Tahun 1998 yang menyatakan pemisahan Polri dari ABRI. Sejak bergulirnya reformasi 1998, yang menghentikan Orde Baru, estafet dilanjutkan pemerintahan Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Memang dalam tuntutan reformasi, salah satunya adalah pemisahan Polri dari ABRI.
Para reformator berharap, pemisahan dari ABRI dan menjadikan Polri sebagai lembaga yang mandiri langsung di bawah Presiden akan menjadikannya professional dan bebas dari intervensi dalam penegakan hukum. Ada perdebatan pro dan kontra setelah Presiden Habibie mengungkapkan rencananya pada HUT ABRI 5 Oktober 1998. Wiranto yang saat itu menjadi Menhankam sekaligus Panglima ABRI menyatakan pelaksanaanya dilakukan secara bertahap.
Keputusan final terjadi setelah Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 yang menyatakan pemisahan Polri dari ABRI. Upacara penanda pemisahannya dilakukan melalui upacara penyerahan Panji Tribrata Polri dari Kasum ABRI Letjen TNI Fachrul Razi kepada Kapolri Jenderal (Pol) Roesmanhadi pada tanggal 1 April 1999 di Mabes ABRI Cilangkap, Jakarta Timur.
Semenjak itu nomenklatur di lingkungan ABRI berubah karena penamaan ABRI diganti menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), Mabes ABRI bertransformasi menjadi Kementerian Pertahanan dan Keamanan, dan Polri yang mandiri memiliki markas besar sendiri.
Perlu dicatat, sebelum berada dalam satu naungan ABRI, TNI masing-masing matra dan Polri memiliki Menteri Panglima sendiri. Sebutananya Menteri Panglima Angkatan Darat, Menteri Panglima Angkatan Udara, Menteri Panglima Angkatan Laut, Menteri Angkatan Kepolisian. Dengan alasan mengantisipasi ancaman disintegrasi nasional, tahun 1962 TNI AD, TNI AL, TNI AU dan Polri berhimpun dalam satu wadah yan dinamakan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Setelah berlangsung 25 tahun, haruskah Polri dijadikan satu wadah lagi bersama TNI karena alasan untuk pengawasannya? Atau menempatkannya di bawah Kementerian?
Menempatkan Polri di bawah Kementerian juga bukan wacana baru pascareformasi. Di tahun 2014 pernah muncul gagasan mengembalikan Polri ke bawah Kementerian. Ada yang memandang lebih baik ada di bawah Kementerian Pertahanan, ada pula yang memandang lebih pas kalau berada di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Gagasan itu juga muncul sebagai reaksi atas beberapa kejadian yang dilakukan oknum anggota yang mencoreng institusi.
Di tahun 2005 juga sempat muncul wacana Polri di bawah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan bersama TNI, namun itu hanyalah salah tafsir kebijakan. Menteri Koordinator adalah Menteri senior yang menjadi koordinator dan mengatur sinergi antar-sektor yang ada di dalam lingkup tugasnya; bukan sebagai pemegang kendali atau komando langsung.
Salah tangkap tentang keberadaan Polri di bawah Kementerian juga terjadi lagi saat Presiden Prabowo menetapkan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara dalam Kabinet Merah Putih Periode 2024-2029 dengan Peraturan Presiden Nomer 139 Tahun 2024.
Meski Pasal 24 Perpres No 139 jelas dan klir dengan menyebutkan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan pada Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 mengoordinasikan: a. Kementerian Dalam Negeri; b. Kementerian Luar Negeri; c. Kementerian Pertahanan; d. Kementerian Komunikasi dan Digital; e. Kejaksaan Agung Republik Indonesia; f. Tentara Nasional Indonesia; g. Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan h. instansi lain yang dianggap perlu; ada yang menafsir sebagai “Polri dibawah kendali Menko Polkam”. Menko tugasnya mengoordinasikan, bukan membawahi.
Pemerintah khususnya para petinggi Polri memang tidak perlu bersikap reaktif terhadap berbagai wacana yang menginginkan Polri berada di bawah otoritas tertentu. Wacana dan lontaran publik harus dipandang sebagai keinginan besar agar Polri bisa melakukan penegakan hukum secara profesional dan bebas dari intervensi. Publik merasa perlu ada lembaga yang mengawasi Polri dalam posisi yang setara, agar penyimpangan yang dilakukan oknum anggota bisa ditangani secara adil dan terbuka.
Dalam bahasa sederhana, Polri harus lebih responsif menanggapi wacana perlunya pengawasan dan pengendalian terhadap institusinya. Polri harus memperlakukan wacana-wacana yang berkembang sebagai dorongan agar Polri menjaga kemandiriannya dengan cara mewujudkan integritas yang polanya bisa dimengerti masyarakat awam. Keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus diterima dengan segala keterbatasannya sebagai Lembaga yang harus dimaksimalkan perannya. Begitu pula dengan fungsi Propam (Profesi dan Pengamanan) yang cukup jelas dalam menjaga citra kepolisian dari penyimpangan yang dilakukan oleh oknum anggota.
Yang menjadi persoalan, semua itu dirasa masih belum cukup sebagai perangkat penjaga integritas Polri. Surutnya lembaga pengawas independen yang bersifat swadaya juga memperbesar kekurangan fungsi pengawasan terhadap Polri.
Mengingat bahwa regulasi baru yang sesuai harapan masyarakat belum ada, alangkah eloknya kalau dari internal Polri muncul insiatif membuat pola pengawasan yang lebih bisa dimengerti dan diterima masyarakat awam. Tujuannya, supaya kepercayaan terhadap integritas Polri bisa terjaga dan tersampaikan ke publik dengan optimal.
- Evakuasi Korban Pendaki Hilang Di Gunung Merbabu Dilakukan Pagi Ini
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- Warga Resah Atas Aksi Kera Berekor Panjang Yang Masuk Rumah