Menyusuri Perjalanan Arsitektur Rumah Tradisional Jawa Pesisir Wetan

Oleh : Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng *)

Kata "arsitektur" telah menjadi bagian dari perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia.

Penerapannya dapat ditemukan di antaranya pada "arsitektur perusahaan" (enterprise architecture) yang diartikan sebagai "kerangka kerja" yang diharapkan dapat diterapkan pada organisasi atau perusahaan untuk mencapai tujuannya dalam pengambilan keputusan yang efektif, optimalisasi sumber daya, ataupun adaptasi terhadap perubahan yang sedang berkembang.

Dari internet didapatkan informasi bahwa "arsitektur perusahaan" didasarkan pada beberapa disiplin ilmu seperti arsitektur bisnis, arsitektur teknologi, arsitektur keamanan, dan arsitektur lainnya.

Dalam perkembangannya, penggunaan kata "arsitektur" di Indonesia, secara tertulis bermula terdapat pada teks orasi pengukuhan Prof. Vincent Robert van Romondt sebagai guru besar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (kini ITB) pada 26 Mei 1954 yang berjudul "Naar een Indonesische architectuur" atau Menuju Arsitektur Indonesia.

Karena Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung dibuka tahun 1950, dan Jurusan Arsitektur-nya dibuka 25 Oktober 1950 senyampang penggunaan kata "architectuur" atau "arsitektur".

Sedangkan sampai tahun 1970 kata "arsitektur" masih disamakan artinya dengan teknik sipil karena sama-sama mengurusi bangunan. Begitulah yang terjadi dalam anggapan di masyarakat umum.

Kata "arsitektur" di Indonesia bukan dari kata "architecture" tetapi dari kata "architectuur".

'Salah Kaprah’ merupakan Kesalahan (dalam bahasa) yang dianggap lazim. Hingga kini masih bisa ditemukan ketidakyakinan menggunakan kata "arsitektur" ataukah "arsitek"dalam berbagai bentuk komunikasi baik interpersonal (obrolan) maupun mass communication (pidato, misalnya).

"Salah Kaprah" cenderung identik dengan "Salah Tafsir". Dalam pendidikan arsitektur di Indonesia salah tafsir atau salah memahami dapat ditemukan pada pemahaman dogma arsitektur "Form Follows Function" atau "Bentuk Mengikuti Fungsi" dari dogma arsitektur "Form ever Follows Function" yang disampaikan Louis Benry Sullivan (3 September 1856 - 1924) dalam esai "The Tall Office Building Artistically Considered" pada tahun 1896.

Sementara, Dog A. Louis Sullivan "Bentuk Selalu Mengikuti Fungsi-nya" dipahami dalam desain arsitektur bahwa sebuah bangunan yang berfungsi sebagai sekolah tempat belajar selalu (baca: harus) memiliki wujud/bentuk/tampilan yang mudah dipahami sebagai tempat belajar.

Padahal tidak ada aturan tentang bentuk bangunan sekolah. Tempat belajar yang diwakili oleh ruang-ruang kelas dipahami harus terlihat dari luar sebagai tempat pembelajaran.

Karena proses belajar di dalam ruangan membutuhkan pencahayaan/penerangan alami (yang utama), maka tampilannya harus memiliki deretan jendela kaca.

Karena siswa yang belajar di dalam ruangan membutuhkan udara segar maka jendela kaca tersebut harus bisa dibuka. Hal tersebut sudah lebih modern daripada penggunaan jendela kayu pada pendidikan di masa Hindia Belanda....

"Salah Kaprah"... tetapi benar juga perlunya keberadaan jendela dari panil kaca bening. Setelah penggunaan a.c. menjadi umum, ruangan tempat belajar tidak lagi harus dilengkapi deretan jendela kaca bening yang ukurannya sama, dan posisi ketinggiannya juga sama dari permukaan lantai selasar di luarnya, karena menggunakan "artificial lighting".

Arsitek juga mudah memraktekkan desain yang disesuaikan dengan perkembangan arsitektur di dunia, "Post-Modern Architecture" atau bahkan arsitektur "Deconstruction". Tidak harus ada jendela kaca berderet di dinding ruangan, bentuk bangunan lebih atraktif dan dianggap mengikuti perkembangan zaman.

Arsitektur "Post-Modern" dipahami sebagai perpaduan antara Arsitektur Modern dan Arsitektur Tradisional. Padahal tujuan utama "Post-Modern Architecture" sebagaimana disampaikan Charles Jencks (21 Juni 1939 - 2019) adalah mendobrak kemapanan "Modern Architecture" yang telah berlangsung sejak 1960.

Mendobrak stagnan yang terjadi pada (karya) arsitektur di Indonesia juga dilakukan sekelompok arsitek "fresh graduate" yang telah berkarya dan tergabung dalam AMI (Arsitek Muda Indonesia) di tahun 1995.

Upaya yang dilakukan AMI melakukan pameran keliling (Jawa), diskusi arsitektur secara rutin tentang karyanya yang tidak pernah dilakukan arsitek-arsitek Indonesia sebelumnya.

Rasa "sungkan, ewuh-pakewuh, tidak membanggakan diri" menyebabkan bangunan-bangunan sebagai karya arsitektur tidak diketahui arsitek dan arsitektur-nya. Selain kelemahan dalam pendokumentasian dan publikasi.

Sejak media sosial menjadi sumber informasi yang murah dan diandalkan, data tentang arsitektur sebagian besar dapat dibaca di internet.

"Kupu Tarung" misalnya, telah umum diketahui dan dipahami adalah pintu yang memiliki 2 daun pintu yang keduanya dapat dibuka ke arah luar, atau ke arah dalam, ataupun dapat dibuka ke arah dalam dan luar.

Dari informasi di internet dapat ditemukan arti "Kupu Tarung", yaitu daun pintu yang dipasang berhadap-hadapan dan berpasangan.

Diinformasikan juga bahwa pintu 'Kupu Tarung' biasanya dibuat dari kayu jati atau mahoni, dan sering digunakan sebagai pintu depan. Pintu ini bisa memiliki desain klasik dengan ukiran yang rumit atau desain minimalis modern.

“Salah Kaprah" tentang pintu "Kupu Tarung" telah berlangsung lama, terutama sejak muncul pemahaman keperluan pintu berdaun-ganda yang luwes yang dapat memenuhi kebutuhan bukaan pintu yang dapat diatur selebar pintu atau setengah lebar pintu. Pemilik pintu berdaun ganda menjadi bangga dapat menghadirkan kesan formal bertamu di kediamannya.

Pada bangunan yang dibangun di masa Hindia Belanda, pintu dan jendelanya berdaun pintu ganda dan rangkap, dan berdaun-jendela ganda dan rangkap.

Daun pintu ataupun jendelanya berukuran tinggi, terbuat dari kayu (jati)  dan membuka ke arah luar. Daun jendela bagian luar dilengkapi "krepyak / jalusi" kayu yang dapat diatur posisi-nya miring ataupun horisontal.

Daun pintu bagian luar berwujud panil papan kayu dengan bagian bawah diberi beberapa bukaan horisontal untuk memasukkan udara ke dalam ruangan. Udara yang masuk tersebut akan merambat naik ke atas.

Hal ini sangat berbeda dengan keyakinan kakek-nenek-simbah yang pantang bagian kaki terhembus angin dari bawah agar tidak sakit "masuk angin. Daun pintu dan jendela bagian dalam berwujud panil kaca bening dengan bingkai kusennya, dibuka ke arah dalam.

Langit-langit/"plafond" bangunan (rumah) pada masa Hindia Belanda dibuat tinggi karena pintu dan jendelanya juga tinggi.

Volume udara dalam ruangan diperhatikan untuk kesesuaian dengan hawa di luar yang panas agar tercipta kenyamanan menghuni. Kini hal tersebut tidak bisa terwujud hanya dengan mengandalkan penerapan sirkulasi udara secara alami. (Setelah hujan turun pun suhu udara di luar rumah paling sejuk 29 derajat Celcius)

Arsitektur tradisional dalam proses perkembangannya menghadirkan solusi yang dihasilkan masyarakat tradisional untuk mengatasi permasalahan iklim tropis-lembab.

Masyarakat di daerah Pesisiran Jawa bagian Pesisir Wetan (dari Demak sampai Lasem) memiliki cara untuk beradaptasi dengan suhu udara yang panas di sekitar rumah.

Rumah tradisional (Jawa) semula "memiliki seribu jendela" dengan memanfaatkan celah-celah yang terbentuk di antara anyaman bilah-bilah bambu untuk dinding, sekaligus berfungsi sebagai lubang ventilasi.

Tanpa disadari telah terwujud sistem sirkulasi (udara) silang atau "cross ventilation system". Kebutuhan penerangan ke dalam ruangan sekaligus untuk menambah luasan media sirkulasi udara ke dalam-nya, kemudian dengan naluri "local geniys/genius loci/kearifan lokal"- nya melengkapi pintu masuk yang lebih lebar.

Dari semula wujud pintu berdaun ganda terbuat dari panil papan kayu yang membuka ke arah luar ataupun dalam engselnya. Jika menggunakan engsel tradisional dari kayu, dilengkapi lubang ventilasi di atas pintu. Kemudian ditambahkan pintu bagian depan,sehingga menghasilkan pintu rangkap berdaun-ganda.

Pintu bagian luar dari pintu rangkap berdaun ganda tersebut disebut "Kupu Tarung". Penyebutan ini didasari bentuk awal dari pintu "Kupu Tarung" yang dalam kondisi tertutup memiliki kontur seperti kupu yang mengembangkan sayapnya, atau dua ekor  kupu sedang kawin yang terlihat dari samping.

Membandingkan dengan pengertian pintu "Kupu Tarung" saat sekarang sangat berbeda. Perkawinan kupu jantan dan kupu betina tidak serta merta disimboliskan dari pintu rangkap berdaun-ganda yang tinggi dan memenuhi kerangka kosen-nya.

Pada masa lampau belum ada gambar denah dari pintu-ganda berdaun rangkap. Jadi penamaan "Kupu Tarung" bukan berdasarkan gambar denah pintu tetapi dari tampilan pintu tersebut.

Pintu "Kupu Tarung" dalam arsitektur tradisional Jawa daerah Pesisir Wetan akan mudah terlihat simbolisasinya ketika dalam kondisi tertutup.

Pintu "Kupu Tarung" juga menunjukkan kecerdasan para pendahulu yang menyiptakan bidang pintu yang berfungsi sebagai lubang ventilasi dan penerangan alami ke dalam ruangan.

Daun pintu "Kupu Tarung" berkisi-kisi tegak setinggi dada orang dewasa, dengan bagian bawah pejal berkesusilaan. Keberadaan ibu di balik daun lintu "Kupu Tarung" menjadi sedikit tersamar oleh dampak pembayangan dari atap "Emper Ngarep" yang tidak terlalu menjorok ke depan.

Dalam perkembangannya kontur atas daun pintu "Kupu Tarung" bermuka dari kontur V yang menyimboliskan kupu sedang bercinta, menjafi kontur A (V terbalik) yang menyimboliskan kupu sedang beradu-punggung/sayap, dan berkembang ke kontur horisontal sejajar dengan kontur atap teritisan "Emper Ngarep".

Masyarakat tradisional Kudus tidak mengenal pintu rangkap berdaun-ganda ber-"Kupu Tarung", tetapi pintu rangkap berdaun-ganda dan berpintu sorong.

Daun pintu "Kupu Tarung" pada rumah tradisional Kudus digantikan dengan daun pintu-sorong berkisi-kisi tegak. Keberadaan pemilik rumah yang ada di dalam rumah tidak akan secara jelas terlihat oleh orang yang berjalan di depan rumahnya, meskipun pintu-sorongnya berkisi-kisi.

Tetapi gadis yang ada di dalam rumah akan jelas melihat jejaka yang melintas di pekarangan depan pada proses menuju ke acara tradisional Dandangan.

"Salah Kaprah" dapat terjadi dibanyak hal dan "salah kaprah arsitektural" dapat dikatakan tidak pernah disampaikan dalang ketika memainkan "Goro-goro" Gareng-Petruk-Bagong pada pagelaran wayang kulit di "pringgitan".

*) Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng: Penggiat Pelestarian Cagar Budaya (Karena Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Tengah) (Dari 2014 – Sekarang). Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang Dari Tahun 2014), Pengamat Perkembangan Arsitektur. Penerima Penghargaan Upanyasa Bhakti Upapradana Dari Pemprov Jateng di Bidang Pengembangan Arsitektur Di Jawa Tengah. Penggiat Dan Peneliti Arsitektur Nusantara dan aktif di LSAI/Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Dewan Penasehat IPLBI/Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia). Pengamat Urban-Landscape sebagai Dewan Penasehat IALI/Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia Jateng (Dari 2012 – Sekarang). Dosen  Perkembangan Arsitektur, Konservasi/Pelestarian, Mempelopori Kegiatan Survala/Survei Arsitektur Lapangan.