Semarang - Hampir semua orang, tidak hanya orang Jawa atau pun orang yang tinggal di Jawa Tengah, kalau ditanya tentang bentuk rumah khas Jawa Tengah pada umumnya akan menjawab joglo.
Orang yang tinggal di (kabupaten) Demak juga cenderung menjawab yang sama Joglo. Bahkan bisa terjadi ada orang di Demak menyebut bentuk bangunan Masjid Agung Demak adalah Joglo. Keliru besar. Barangkali karena melihat bangunan pendhapa/pendopo yang ada di sebelah timur kompleks Sunan Kalijaga, Pendopo Notobratan.
Bangunan pendopo tersebut merupakan bangunan tradisional Jawa jenis joglo, dan telah berstatus Bangunan Cagar Budaya. Seperti yang terjadi di banyak bangunan cagar budaya di Jawa Tengah setelah berstatus bangunan cagar budaya. Kemudian, ya sudah begitu saja. Tidak ada upaya untuk mempublikasikan, baik oleh pemilik atau pun pemerintah daerah setempat.
Berbeda dengan perlakuan terhadap bangunan cagar budaya atau heritage building di Singapura. Di Singapura, terutama bagi pelancong yang hobi berjalan kaki, turis akan menemukan dinding pagar depan di tepi trotoar informasi singkat tentang nilai budaya (heritage) bangunan utamanya. Hal tersebut menjadi bagian dari daya tarik wisata di negara-kota tersebut.
Di Gereja Blenduk di Kota Lama, Semarang, yang sekarang sedang direhabilitasi menyeluruh juga tidak dilengkapi informasi singkat tentang kecagar budayaannya. Di satu sisi peningkatan kualitas infrastruktur di kawasan Kota Lama telah memberikan tambahan pemasukan dengan menggiurkan kepada pemerintah setempat, meski pun secara tidak langsung.
Turis asing ada yang ke Kota Lama berbekal peta pelancong atau tourist map ketika menapaki trotoar yang dibatasi deretan bollard yang terlalu ramai itu.
Di Demak sangat jarang dijumpai turis asing berjalan kaki berombongan apalagi sendirian. Hal yang sama juga tidak dijumpai di depan Gapura Makam Kadilangu atau pun di sepanjang Jalan Raden Sahid. Meski pun sangat banyak wisatawan religi dan bus pariwisata diparkir tepinya. Kondisi tersebut jauh dari prediksi di tahun 1990an ketika Gubernur Jawa Tengah tersentak ketika mengetahui Kerajaan Brunei berniat akan melakukan studi tentang keletakan Keraton Demak. Mestinya pasca pencarian letak Kraton Demak diikuti kedatangan wisatawan asing khususnya dari Brunei dan Malaysia.
Tetapi ternyata tidak terjadi. Pendopo Notobratan juga tidak diperkaya dengan informasi tentang kesejarahan dan kecagar budayaannya. Tidak ditemukan informasi yang memadai tentang Pendopo Notobratan. Di internet hanya tertulis informasi tentang batas baratnya, Gang Nglorong; batas utara, Jalan Raden Sahid; batas timur, pekarangan; batas selatan, Gang Nglorong. Garis Lintang, 6.8999980. Bujur, 110.6488070. Level Cagar Budaya: Nasional, dengan Nomor Surat Keputusan: PM.57/PW.007/MKP/2010 tertanggal 2010-06-22. Kode Pengelolaan: KB000405.
Kiranya perlu tambahan informasi. Bangunan Pendopo Notobratan adalah Bangunan Cagar Budaya Peringkat Kabupaten Demak? Ataukah sudah level peringkat Provinsi Jawa Tengah? Ataukah telah berperingkat nasional? Mungkin tidak semua warga kota/kabupaten Demak pernah berkunjung ke Pendopo Notobratan. Pada bagian depannya sudah mendapat tambahan bangunan kuncung berbentuk kampung beratap yang kini disebut pelana dengan gunung-gunung atau tebeng dari rangkaian papan kayu yang ujungnya dibentuk wajikan.
Melihat konstruksi bagian console (konsol) penyangga atap empernya terlihat konstruksi konsolnya yang non-tradisional.
Bangunan kuncung tersebut memang perlu dan boleh ditambahkan sebagai ruangan penerima tamu sebelum masuk ke pendhopo. Dengan mempertimbangkan tidak semua warga kota Demak pernah ke Pendhopo Notobratan, maka sangat mungkin kata Joglo didapatkan dari ‘dengar-dengar’ atau mungkin dari informasi tentang arsitektur tradisional Jawa yang tersebar ke masyarakat umum pasca Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah yang diadakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981/1982.
Buku Rumah Tradisional Jawa yang ditulis Hamzuri yang telah dihasilkan hanya mendasarkan pada pengamatan terhadap bangunan tradisional Jawa yang ada di Negarigung di Surakarta dan Yogyakarta serta daerah di sekitarnya. Tidak melihat pada keragaman arsitektur yang ada di sepanjang Pantai Utara Jawa khususnya di daerah Pesisir Wetan. Hamzuri yang menulis buku atau membuat laporan tentang Rumah Tradisional Jawa juga penulis-penulis berikutnya seperti Sugiarto Dakung yang menulis Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (1987) dan Ismunandar yang menulis Joglo - Arsitektur Rumah Tradisional Jawa (1990) sama sekali tidak menyinggung tentang arsitektur tradisional Jawa yang ada di daerah Pesisiran.
Tulisan Hamzuri merujuk pada karya grafis R. Ngabehi Mintoboedojo, ahli bangunan Djawa tradisional di Kraton Jogjakarta. Karya grafis Mintoboedojo telah diperiksa BPH Hadiwidjojo sebagai Pengageng Tepas KHP Gladag Sarto Krijo Kraton Jogjjakarta. Diketahui BPH Hadinegoro sebagai Pengageng Begadan Musium Kraton Jogjakarta pada tanggal 12 Juni 1972.
Arsitektur Tradisional Jawa Pesisiran terlewat untuk diamati oleh Mintoboedojo. Ia tidak mengetahui bahwa di daerah Pesisiran terdapat bangunan tradisional setempat/lokal Pesisiran Wetan yang disebut Omah Pencu.
Pencu adalah jenis bangunan tradisional Jawa yang khas Pesisiran Wetan khususnya yang terbentang dari Sayung hingga Pati. Bentuk bangunan tradisional Jawa jenis Pencu berbeda dengan Joglo. Tetapi kini orang-orang Pesisiran Wetan lebih suka menyebut Omah Pencu miliknya dengan Joglo Pencu. Coba lihat, bangunan Bentara Budaya Kompas Jakarta di Palmerah, Tanah Abang, diberitakan via internet berbentuk Joglo Kudusan. Padahal bentuk dasarnya adalah Pencu.
Romo Mangun yang melakukan eksplorasi pada Bentara Budaya Kompas Jakarta telah menghadirkan kombinasi Pencu Kudusan dan Pencu Jeparan. Orang-orang Kompas yang ada di Bentara Budaya Jakarta juga tidak tahu tentang hal itu.
Pencu memiliki kekhasan bagian Brunjung-nya yang lebih tinggi dari Brunjung pada Joglo. Wuwungan sebagai penutup untuk lingir dari bidang atap, di atas balok nok di bagian teratas pada atap berwujud gendheng/genteng wayang[an]. Jumlahnya gasal (ganjil), dan di bagian tengah berwujud gendheng/genteng kelir berbentuk dasar Gunungan seperti pada pakeliran wayang kulit. Filosofi dan simbolisnya adalah Jimat Kalimusada yang bermakna Kalimat Syahadat dan menginformasikan bahwa penghuni Omah Pencu tersebut adalah seorang Muslim.
Semua gendheng/genteng wayang dan kelir menghadap ke arah depan. Dan pada gendheng/genteng kelir terdapat angka tahun yang menginformasikan tentang tahun pembangunan perbaikan/penyempurnaan/rehabilitasi yang terbaru.
Sayang sekali gendheng/genteng kelir berangka tahun terbangunnya Omah Pencu tidak dilestarikan.
Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng: Penggiat Pelestarian Cagar Budaya (Karena Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Tengah) (Dari 2014 – Sekarang). Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang Dari Tahun 2014), Pengamat Perkembangan Arsitektur. Penerima Penghargaan Upanyasa Bhakti Upapradana Dari Pemprov Jateng di Bidang Pengembangan Arsitektur Di Jawa Tengah. Penggiat Dan Peneliti Arsitektur Nusantara dan aktif di LSAI/Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia dan Dewan Penasehat IPLBI/Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia). Pengamat Urban-Landscape sebagai Dewan Penasehat IALI/Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia Jateng (Dari 2012 – Sekarang). Dosen Perkembangan Arsitektur, Konservasi/Pelestarian, Mempelopori Kegiatan Survala/Survei Arsitektur Lapangan.
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- Warga Resah Atas Aksi Kera Berekor Panjang Yang Masuk Rumah
- MTI Serukan Pentingnya Masterplan Untuk Integrasi Dan Keberlanjutan