Lanskap Demak

Oleh : Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng
Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng
Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng

Terdengar sayup-sayup dari "Pringgitan/Peringgitan" sebuah Dalem di daerah Negarigung ketika dilangsungkan pagelaran wayang kulit... Dalang menyampaikan "janturan"-nya... beberapa saat setelah "jejer"...

"Swuh rep data pitana/ Anenggih nagri pundi ta ingkang ka-eka adi dasa purwa/ Eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan/Ingkang mangka bebukaning carita lah punika negari Hastina ya negari Gajah Oya, Liman Benawi ya ing Kuru Janggala/ Mila winastan nagara Hastina, duking uni tilas kedhatoning Sang Prabu Hastimurti/ Mila winastan Gajah Oya, kang yasa Prabu Gajah Oya/ Yen ngupaya satus tan antuk kalih, sewu tan jangkep sedasa/ Ora mokal lamun mangka bebukaning carita, dasar negara panjang  apunjung wukir, gemah ripah loh jinawi, karta tata raharja/ Panjang dawa pocapane, punjung luhur kawibawane, pasir samodra wukir gunung/ Pranyata negari Hastina NGUNGKURAKE PAGUNUNGAN/ NGERINGAKEN BENGAWAN, NENGENAKEN PASABINAN, NGAYUNAKEN BANDARAN AGUNG/ Gemah ripah, kathah para nangkuda kang lumaku, dedagangan anglur selur tan ana pedhote...".

Begitulah dalang menyampaikan "janturan" versi Ki Nartosabdho ketika melukiskan lanskap Kerajaan Hastina saat mengawali pagelaran wayang kulit. Apakah "janturan" versi Nartosabdho mewarisi "anggitan" Sunan Kalijaga ketika berdakwah dalam mengembangkan ajaran/agama Islam khususnya di Jawa bagian Tengah yang  dilakukan dengan media pagelaran wayang kulit...

Belum ada yang melakukan penelitian tentang apa saja yang disampaikan Sunan Kalijaga dalam kegiatan berdakwah. "Janturan" dalang kemudian dieksplorasi menjadi banyak versi. Karena Sunan Kalijaga menggunakan media pagelaran wayang kulit dalam berdakwah, maka "janturan" dalang kemudian ada yang menganggap sebagai kreasi Sunan Kalijaga.............................

Bentang alam yang digambarkan di sekitar sebuah keraton... tentu dilihat dari arah depan, bukan dari arah belakang, ataupun dari samping keraton. Lanskap yang disampaikan pada "janturan"  tidak cocok apabila dikaitkan dengan kondisi geografis keraton-keraton Kerajaan Mataram, baik yang ada di Kota Gede (1587-1612), Kerta (1613-1645), Plered (1645/1647-1677), maupun di Kartasura (1677/1680-1745) bahkan di Keraton Mataram yang ada di Surakarta (1745- kini) dan di Yogyakarta (1755- kini)...

Maka lanskap keraton dari sebuah kerajaan besar sebagai inti dari "janturan" dalang  dianggap sesuai dengan bentang alam yang ada di keraton sebelumnya... di Demak ataupun di Pajang. Tetapi apabila disimak Adipati Hadiwijaya/Mas Karebet/Joko Tingkir mendirikan Keraton Pajang di Kesultanan Pajang yang terletak di sebelah Barat dari Sala (yang kemudian menjadi Surakarta sejak 1745).

Adipati Hadiwijaya tidak mengembangkan Desa Tingkir tempat asalnya sebagai tempat kedudukan keraton-nya meskipun memiliki peluang sejak melanjutkan kekuasaan Kesultanan Demak yang menyurut sejak gugur-nya Sultan Trenggono (1546).

Padahal dari Tingkir, Mas Karebet pernah menempuh perjalanan air lewat Sungai Tuntang ke kota Demak. Keberadaan Pajang cukup jauh dari aliran Bengawan Solo, sehingga ada dugaan Sultan Hadiwijaya ingin lebih menghidupkan kegiatan pertanian daripada ke-maritim-an seperti yang telah ditempuh Kesultanan Demak.

Kalaupun Sultan Hadiwijaya berkehendak menguasai Laut Kidul, jaraknya cukup jauh juga dari Pajang. Laut Kidul yang tidak seramah Selat Muria dan Laut Jawa baru "didekati" setelah Sutawijaya anak (tiri?) Sultan Hadiwijaya melakukan ritual "tapa"/bertapa di Sungai Gajah Wong yang mengalir ke Samudera Indonesia di sebelah Barat dari Kota Gede... pasti bukan di Sungai Manggisan yang mengalir di Timur bekas Hutan Mentaok itu.

Sedikit berbeda dengan Raden Mas Sa(h)id yang menurut sebuah versi bertapa bertahun-tahun di  tepi sungai di Cirebon sehingga kemudian dijuluki "Kalijaga" dari kata "njaga kali"... Versi Cirebon yang lebih rasional menyebutkan Raden Mas Said mendapat tugas dari Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam yang kegiatannya berpusat di Desa

Kalijaga, sehinhga kemudian Raden Mas Said dijuluki Sunan Kalijaga. Bila demikian maka urutan kejadiannya bermula dari Raden Mas Said berguru kepada Sunan Bonang, kemudian merantau ke Cirebon dan membantu Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam yang berpusat di Desa Kalijaga.

Setelah itu Sunan Kalijaga ditugasi Sultan Fatah merancang-bangun dan memperbesar Masjid Demak... selanjutnya ditugasi Sunan Gunung Jati merancang-bangun Masjid Agung "Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon.............................

Apabila "janturan" dalang dicermati, maka kalimat NGUNGKURAKE PAGUNUNGAN...yang artinya membelakangi pegunungan... sama dengan kondisi keberadaan Keraton Bintoro di Kesultanan Demak.

Kedaton Bintoro terlihat dari Selat Muria memiliki bentang alam yang indah dengan latar belakang deretan pegunungan... sebagaimana ditunjukkan pada Peta versi Baros ... berderet dari Barat ke Timur...

Gunung Ungaran, Gunung Andong, Gunung Telomoyo, dan Pegunungan Penawangan...Keraton-keraton Mataram dan Keraton Pajang tidak dilatar-belakangi pegunungan. Sedangkan Keraton Kasepuhan terletak di arah Timur Laut dari Gunung Ceremai, dan di sebelah Timur-nya bukan bengawan melainkan Laut Jawa ...............

Kalimat NGERINGAKEN BENGAWAN...dapat diartikan "menghormati" keberadaan bengawan (dari kata "ering" yang berarti segan) yang jabaran-nya (lahan) Keraton Bintoro menyesuaikan terhadap keberadaan Sungai Tuntang yang ada di sebelah Timur-nya... 

Sungai Tuntang berhulu di Rawa Pening... mengalir ke Utara melalui wilayah Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Demak...kemudian bermuara di Selat Muria yang terletak di Timur Laut dari Alun-alun Demak.

Sungai Tuntang inilah yang dilalui Joko Tingkir dengan perahu-nya ketika akan mengabdi di Kesultanan Demak. Dalam tulisan musafir asing diberitakan Sungai Tuntang dapat dilayari perahu-perahu berukuran besar... paling tidak dapat diartikan Sungai Tuntang memiliki muara yang terletak dekat dengan Demak.

Kompleks Keraton Demak berbatasan langsung dengan Sungai Tuntang, mirip Keraton Kasepuhan Cirebon yang semasa, yang awalnya berbatasan langsung dengan area perairan (Laut Jawa)...

Pemilihan tapak untuk Desa Glagahwangi yang dipilih Raden Patah sangat strategis, di sebelah Barat dari Sungai Tuntang. Bengawan ini menjadi "benteng alam" apabila ada serangan dari arah Timur, dari ke-bhre-an Lasem Majapahit.

Hal tersebut tidak terjadi karena Bhre Krtabhumi raja Majapahit (1468-1478) kemudian menganugerahi Raden Patah sebagai penguasa di Dmak beserta ribuan orang Majapahit (tentunya dari ke-bhre-an Lasem) sebagai rakyat-nya ........................

Kalimat NENGENAKEN PASABINAN berarti menempatkan area persawahan di sebelah kanan dari Keraton Demak. Arah Barat Laut dari Keraton Demak adalah Masjid Demak. Area persawahan berada di Barat dari Keraton Demak, di sebelah Barat dari permukiman pengikut Raden Patah di Kauman... dari tepi Selat Muria yang sekarang berwujud tepi Selatan aliran Sungai Tuntang di seberang Selatan dari Jalan Kyai Singkil... sampai ke Jalan Bhayangkara.

"Jagang" yang berwujud saluran air di bagian luar dari dinding tembok keraton Mataram, yang berfungsi sebagai benteng-alami-buatan dari keraton... masih terlihat (kini) di sepanjang Jalan Kauman IV. "Jagang" merupakan sungai buatan yang dibuat dengan menyodet aliran Sungai Tuntang yang diarahkan sepanjang sisi selatan dari kompleks Keraton Demak..  terus ke Barat hingga bermuara di Selat Muria (kini Sungai Tuntang)...

Aliran "jagang" tersebut awalnya berbelok ke Utara melewati belakang dan membatasi sisi Barat permukiman pengikut Raden Patah.. bermuara di Sampangan... kini tidak berbekas. Toponimik Sampangan berkaitan dengan kegiatan berperahu... jadi dapat dipastikan keberadaannya di tepi perairan ("jagang" dari Keraton Demak dan Selat Muria)..................

NGAYUNAKEN BANDARAN AGUNG berarti menghadap dan menghargai keberadaan "Bandaran Agung". Terdapat dua arti tentang "bandaran"... yang diartikan sebagai "lapangan yang luas" atau "alun-alun"... dan terkait dengan kata "bandar" yang berarti pelabuhan.

"Alun-alun" sudah diterapkan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, yang tertulis di kakawin Nagarakertagama (1365)... "Nahan tadinya mungw in watanan ALUN-ALUN tan pegat lot maganti...Demikianlah yang ada di ALUN-ALUN Watangan tidak putus-putus berganti terus".

Pagelaran wayang kulit khas Demak dapat dikatakan tidak ada dan tidak banyak diselenggarakan. "Pringgitan" juga tidak ada di rumah-rumah (tradisional) Demak. Di depan "Omah Pencu" tidak terdapat bangunan semacam "pendhapa"... berbeda dengan Dalem di Negarigung yang dilengkapi dengan bangunan "pendhapa" di depan... di Selatan-nya...

Maka "Omah Pencu Demak" juga tidak memiliki "Pringgitan", yang ada hanyalah "Emper Ngarep" yang berfungsi sebagai teras depan... lebih tepat sebagai "emperan" tanpa atap penaung yang lebar.

Sunan Kalijaga yang lebih banyak menyebarkan agama Islam ke Jawa bagian tengah Selatan menghadirkan "Pringgitan" sebagai tempat pagelaran wayang kulit di Dalem (pangeranan, bangsawan) di daerah Negarigung...

Terletak antara "Omah mBuri" dan "Pendhapa"... memanfaatkan bagian "Emper Ngarep" dari "Omah mBuri" dan "Emper Wingking" dari bangunan "Pendhapa". "Peringgitan" tempat "ringgit = wayang (kulit)" dimainkan...