Retno Lawiyani, ‘Kartini’ Wonogiri

Pelestari Seni Tatah Sungging dari Kepuhsari
Istimewa
Istimewa

Seni Tatah Sungging (lukis wayang kulit dengan cara memahat-red) telah mengakar di masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri.

Bahkan, di desa yang berpenduduk 6.080 jiwa dan berada di ketinggian 173 dpl ini, Seni Tatah Sungging, sudah ada sejak abad ke 17. Karena itu, tak aneh jika kesenian ini sudah menjadi urat nadi kehidupan sosialnya. Hampir setiap warga disana memiliki bakat memahat wayang kulit.

Potensi ini pula yang kemudian menjadi landasan lahirnya komunitas-komunitas gerak seni bernilai ekonomi. Di desa Kepuhsari terdapat tujuh sanggar yang mewadahi berbagai kegiatan seni pewayangan, yang meliputi melukis, menatah, mewarnai dan menggapit wayang. Kegiatan dikemas dengan baik bahkan berkembang dalam berbagai media dan rupa karya.

Bak gayung bersambut, Pemerintah Kabupaten Wonogiri pun akhirnya menetapkan Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran sebagai Kampung Wayang pada 29 November 2014.

Menariknya, ada satu sosok yang cukup mencuat dalam gerak seni ini. Ia adalah Retno Lawiyani. Asto Kenyo Art (AKA), adalah nama yang dipilih untuk sanggar yang didirikannya pada tahun 2002.

Nama tersebut dipilih agar menjadi petunjuk pemilik sanggar yang seorang perempuan. Berasal dari bahasa jawa, Asto Kenyo Art berarti hasil karya seni tangan seorang Perempuan. Harapan besarnya, sanggar AKA dapat mewadahi karya seni dan bemanfaat untuk lingkungannya.

“Saya lahir di lingkungan seniman dan memiliki bakat. Akhirnya saya berkeinginan untuk memiliki sanggar yang bisa menampung karya agar dinikmati banyak orang. Bahkan kegiatan sanggar bukan hanya sebatas mewadahi karya saya saja tetapi bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar,” ujarnya dikutip dari Jurnal Ilmiah Muqodimmah, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2023.

Retno juga menambahkan harapannya agar apa yang digelutinya bisa menjadi profesi, tempat berimajinasi secara bersama dengan lingkungan sekitar dan masyarakat secara umum. “Tidak perlu berharap terlalu hebat tetapi bisa bermanfaat untuk lingkungan” imbuhnya.

Perempuan kelahiran tahun 1979 ini, seperti berjibaku dalam memuaskan jiwa seninya sekaligus melakukan berbagai upaya untuk menjaga eksistensi seni tatah sunggih di daerahnya.

Terbukti, sanggarnya menjadi rujukan utama bagi penggiat seni wayang dan wisatawan, bukan saja domestik tetapi juga wisatawan mancanegara (wisman).

“Di lebaran kemarin kami menerima wisman dari Swiss. Sebelumnya dari Jepang,” terangnya, Sabtu (19/4).

Perempuan lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa Surakarta ini, menjelaskan selain sebagai tempat produksi wayang kulit, sanggarnya juga menjadi sarana edukasi. 

Pengunjung atau pengrajin dipersilahkan datang untuk belajar proses pembuatan wayang atau sekedar melihat aktifitas produksinya.

Dirinya sadar bahwa kemajuan teknologi akan berdampak pada perkembangan kehidupan. Termasuk  seni perwayangan yang digelutinya.

Untuk itulah, tak henti dirinya berinovasi dan mengembangkan seni wayang menjadi lebih populer dengan berbagai media, bukan menyungging wayang berbahan kulit kerbau saja.

“Kami juga mengembangkan produk agar tidak hanya melayani pementasan dalang, tetapi berinovasi karya mengikuti kebutuhan pasar,” jelasnya.

Retno, yang menjadi mahasiswa Fakultas Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret melalui jalur prestasi ini terus mencoba mengenalkan wayang agar dapat dinikmati seluruh kalangan.

Bukan hanya dalam pementasan, tetapi bisa menjadi bagian kehidupan. Kemudian dibuatlah souvenir, hiasan, lukisan karikatur, bingkisan dan berbagai karya kerajinan populer.

Dirinya juga mengembangkan produk dengan berbagai media yang lebih variatif selain kulit kerbau. Seperti, media kaca, kain untuk fashion dan berbagai perlengkapan interior maupun ekterior rumah.

“Alhamdulillah, seni tatah sungging berkembang baik. Bahkan kami berkesempatan untuk mengexplore karya ketika terpilih untuk menyiapkan undangan dan buah tangan saat berlangsungnya Asian Games tahun 2018,” ucapnya bangga.

Retno menilai sebuah kisah (pemberitaan-red) yang mengangkat dirinya dan desa Kepusari sebagai pusat seni tatah sungging di Jawa Tengah yang disunting TVRI Jateng merupakan salah satu bukti penghargaan atas pencapaian yang telah diupayakannya selama ini.

Meski dengan rendah hati mengatakan rasa syukurnya atas apa yang telah diterimanya hingga sekarang, namun dirinya berharap berkesempatan mewujudkan mimpi besarnya.

“Aktivitas Sanggar Asto Kenyo Art bisa menjadi media pemberdayaan masyarakat darisemua sektor  dan karya saya bisa go internasional secara continue,” harapan yang disampaikannya menjelang Hari Kartini, Minggu (27/4).

Dengan menjiwai semangat Kartini, Retno berpesan agar generasi muda terutama perempuan, menjadi perrempuan Indonesia yang berpendidikan, berdaya saing, mandiri dan beretika.