Mitos Dibalik Gerhana Bulan

Gerhana atau orang Jawa menyebutnya dengan Grahono lekat dengan sebuah mistis atau mitos yang hingga kini masih diyakini kebenarannya, termasuk mbah Sumirah (70) warga yang tinggal di kawasan padat penduduk Kecamatan Semarang Tengah. Wanita yang kesehariannya berjualan kue ini menceritakan saat dirinya berusia 19.


"Saat itu saya mengandung anak pertama tahun 67-an, ayah mertua menyuruh saya sembunyi di kolong tempat tidur, padahal agak pengab," ujar Mirah sambil menerawang masa lalunya kepada RMOL Jateng, Rabu (31/1).

Mirah kembali bercerita, menurut ayahnya yang berprofesi sebagai seniman di perkumpulan wayang orang Sriwanito (komplek Sobokarti) mewanti- wanti agar tidak keluar rumah. Mertuanya menyebut bahwa Gerhana Bulan ini identik dengan marahnya sang angkara murka yang digambarkan bulan tersebut akan dimakan oleh Buto raksasa jelmaan dari Betoro Kolo.

"Perut saya selama proses gerhana bulan suruh ngelus-ngelus biar anak saya kelak sifatnya tidak meniru Buto yang digambarkan sebagai sosok yang serakah," imbuhnya.

Pada saat gerhana berlangsung  Mirah juga mendengar aneka tetabuhan, baik berasal dari lonceng gereja, bedug masjid, kentongan. Ada mitos yang mengatakan bahwa dengan dibunyikan tetabuhan berharap Buto tersebut tidak jadi memakan Sosrodoro (rembulan) sehingga dunia tetap menjadi terang benderang.

"Mitosnya dulu kalau bulanya dimakan Buto,  bumi  menjadi gelap dan Buto itu akan mencari mangsa bayi yang masih didalam perut," terang Mirah.

Mirah menyebut bahwa orang tua jaman dahulu masih kuat atau percaya dengan mitos seperti di atas. Dengan bergulirnya waktu dan tambah pengalaman, gerhana bulan cukup dimaknai dengan intropeksi diri dan semakin mendekatkan diri pada sang Khaliq.