Pandemi Covid-19 Melanda, Kupat Jembut Tetap Dibagikan

Sebuah tradisi satu minggu usai Lebaran atau masyarakat Jawa menyebut "Bodho Syawal" terus dilestarikan oleh masyarakat Kota Semarang dengan membagikan Kupat Jembut.


Sebuah tradisi satu minggu usai Lebaran atau masyarakat Jawa menyebut "Bodho Syawal" terus dilestarikan oleh masyarakat Kota Semarang dengan membagikan Kupat Jembut.

Nama Kupat Jembut mungkin terdengar tabu, namun bagi warga Kota Semarang membagikan panganan tersebut sudah menjadi tradisi yang sudah turun temurun sejak dulu.

Bernama Kupat Jembut karena ketupat tersebut pada bagian tengahnya berisi kecambah yang pengisiannya hingga menonjol dan keluar dari ketupat. Untuk memakan Kupat Jembut juga tidak perlu menggunakan kuah opor, cukup dengan lalapan sayuran atau urap.

Beberapa orang menyebut Kupat Jembut dengan Kupat Sumpel karena kecambah menyumpal di bagian tengah ketupat hingga penuh.

Ketua RW 1 Kelurahan Pedurungan Tengah, Wasi Darono mengatakan, tradisi pembagian Kupat Jembut sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun silam. Dan pembagian kupat ini hanya saat bulan Syawal tepatnya tujuh hari setelah hari Raya Idul Fitri.

"Jadi ini tradisi sesepuh kita dan tinggal melanjutkan saat syawalan dengan membuat Kupat Jembut atau Ketupat Sumpel," kata Wasi usai membagikan kupat, Kamis (20/5).

Saat akan pembagian Kupat Jembut, puluhan remaja dan anak-anak yang ada di Kelurahan Pedurungan Tengah berbaris rapi didepan sebuah musolla dengan membawa kantong plastik. Momen pembagian Kupat Jembut ini memang ditunggu mereka karena hanya ada satu tahun sekali.

Wasi juga mengatakan hingga saat ini antusiasme warga untuk melestarikan tradisi syawalan masih saat tinggi, meskipun saat ini tengah didera pandemi Covid-19.

Sebelum adanya pandemi, tambahnya, tradisi pembagian Kupat Jembut selalu diawali dengan pesta petasan setelah shalat subuh.

"Karena pandemi ini kita sesuaikan dengan membagikan ke anak-anak. Setiap rumah yang membuat kupat sumpel akan di datangi bergiliran," bebernya.

Tradisi bulan Syawal ini dinilai Wasi sebagai sarana menjalin rasa kebersamaan dan berbagi dengan sanak saudara dan tetangga sekitar.

"Harapanya warga masyarakat tetap merawat tradisi ini dalam rangka untuk menjalin silaturahim dan ukhuwah kebersamaan dalam masyarakat," tuturnya.

Salah seorang warga, Tri Martiningsih mengaku senang mengikuti tradisi ini. Bahkan dirinya selalu menunggu perayaan Kupat Jembut. Menurutnya, tardisi semacam ini perlu terus dilestarikan.

"Yang pasti senang karena ini tradisi leluhur yang harus tetap dilestarikan," kata Tri saat mengantar anaknya menerima Kupat Jembut.