Paradoks Joget Gemoy

S.Prasetyo Utomo
S.Prasetyo Utomo

Eksplorasi tubuh seorang calon presiden saat berjoget di hadapan massa pendukungnya, bisa saja muncul sebagai ekspresi perasaan senang, kegembiraan yang berkembang di bawah sadar.


Kenangan masa kecil calon presiden ini saat bertemu kakek, ayah, dan masyarakat yang menghidupkan seni tari, pewayangan, mitos kepahlawanan, telah menggerakkannya untuk berjoget di hadapan pendukungnya.  

Ia mencari kesan “menggemaskan”, “menghibur”, “santai”, sambil memeragakan mitos keperkasaan Gatotkaca yang gagah perkasa. 

Gesture dan ekspresi wajah calon presiden ini bukan semata-mata mengemaskan, tetapi lebih memberi sugesti akan seorang tokoh yang memiliki kemampuan untuk masuk, melebur, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, tanpa harus kehilangan prinsip dan jati dirinya sendiri.

Calon presiden ini sedang memasuki sebuah budaya yang memuja gesture, tari, joget yang mengeksplorasi tubuh secara jenaka sebagai tontonan yang disukai massa. 

Tak perlu keadiluhungan. Tak perlu kontemplasi, katarsis, dan filosofi. Generasi muda kita terhanyut budaya massa yang mendewakan popularitas.

Ia tak mau teralienasi. Ia mesti melebur ke dalam massa pemilih muda yang memiliki ruang komunikasi yang “cair”. Ia berupaya menyesuaikan diri dengan budaya anak muda.

Apakah dengan joget gemoy, calon presiden ini kehilangan jati dirinya?. Dalam pandangan penganut filosofi manjing ajur ajer, tokoh ini tak kehilangan jati dirinya. Ia sedang bermetamorfosis menjadi “tokoh kita”. 

Tentu saja filosofi ini telah diterapkan tokoh politik sebelumnya, yang berhadapan dengan masyarakat dari berbagai etnik, stratifikasi sosial, budaya, dan beragam kepentingan dengan gesture dan wajah rakyat yang dihadapinya.  

Diksi joget tidak hanya bermakna tarian, tetapi bisa bermakna cara membawa diri, bersikap, dan tingkah laku.

Joget bisa juga dimaknai sebagai ekspresi berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain mengikuti irama hiruk pikuk dunia. Seseorang yang “berjoget” bisa dipandang sedang menciptakan suatu karya, tidak sekadar menunggu nasib baik.

Gesture joget Gatotkaca bisa bermakna sebagai ekspresi jiwa ksatria, yang pantang menyerah, tangguh, sakti, yang tak pernah mengenal kekalahan  saat berhadapan dengan siapa pun.

Gatotkaca selalu gagah berani, memiliki nyali yang kuat saat berhadapan dengan lawan. Ia memiliki kecintaan pada tanah kelahirannya, kesetiaan pada kebenaran, dan kepatuhan pada orang tua. Ia hadir dalam medan pertempuran untuk terus bertarung.

Kalau kemudian seorang calon presiden berjoget dengan gesture Gatotkaca, tetapi gemoy, itu karena ia menyadari pergeseran produk industri kebudayaan yang mendikte selera konsumernya. 

Ia berada dalam kebudayaan massa yang terbebas dari tradisi joget sebagai karya adiluhung. Ia menciptakan gesture joget yang memenuhi kebutuhan “palsu” masyarakatnya, yang memerlukan “hiburan” yang bersifat “menggemaskan”.

Calon  presiden dengan joget gemoy menyadari benar bahwa ia menghadirkan produk seni tak lebih dari kebahagiaan semu, hiburan, seni ringan, yang hanya sementara menghibur rakyat dari kepenatan sosial karena berhadapan dengan segala problematika hidup. 

Karena itu, kita perlu melihat kekuatan ideologi di balik bahasa tutur yang disampaikan calon presiden setelah joget gemoy itu. 

Kebijakan politik yang menyertai joget gemoy itu tentu menarik dipahami. Sebagai calon presiden yang berguru pada presiden sebelumnya, ia menciptakan akar jati diri yang kuat dalam citra kekuasaannya. 

Inilah filosofi manjing ajur ajer yang sedang ia perankan  untuk masuk, melebur, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, tanpa harus kehilangan prinsip dan jati dirinya sendiri.

Hegemoni kekuasaan yang meneruskan kebijakan politik kekuasaan tokoh sebelumnya yang berwajah punokawan dengan segala daya tarik gesture yang diperagakannya, telah memikat hati rakyat. 

Rakyat seperti melihat wajah mereka sendiri dalam diri tokoh yang dihadapinya itu. Mayoritas rakyat mempertaruhkan kepercayaannya pada tokoh itu dengan penuh kecintaan.

Joget gemoy calon presiden itu hanyalah gesture di atas panggung untuk mencipta citra. Bahkan boleh dikatakan sebagai citra semu, citra palsu. 

Dukungan rakyat yang sesungguhnya justru mengalir ketika ia menyatakan diri sebagai penerus kebijakan politik presiden sebelumnya. 

Ia sedang mencari empati massa dengan cara menempatkan diri sebagai reproduksi kultural dan sosial wajah masyarakatnya.

Saya memandang joget gemoy yang diperagakan calon presiden di atas panggung itu sebagai sebuah paradoks. 

Ia sedang mengikuti fenomena kultural, sosial dan proses perubahan dalam modernitas arus budaya terkini. 

Jati diri utama hegemoni kekuasaannya berada dalam bahasa politik “meneruskan kebijakan politik” presiden sebelumnya. 

Joget gemoy itu hanyalah sebuah pencitraan visual untuk mendekatkan diri dengan para pemilihnya. Ia tak kehilangan identitas dirinya sendiri. 

Ia tidak kehilangan nilai-nilai yang selama ini dipertaruhkan. Ia hanya ingin menyajikan peran sebagaimana sebuah pementasan teater tradisional dengan gaya kemunculan punakawan yang berjoget. Memang bukan joget adiluhung. Joget itu menghibur.       

Penulis:

S. Prasetyo Utomo, budayawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.