Peringatan hari raya Idul Adha membawa berkah tersendiri bagi penjual arang pasangan tua, Widarmi (63) dan suaminya, Paniro (63) asal Salatiga.
- Power On Hand, Kapolda Jateng; Sat Brimob Siap Terdepan Kawal Pilkada
- Polisi Bubarkan Konvoi Lulusan SMA di Grobogan
- Bahas APBD 2022, Bupati Purbalingga Sampaikan Kebijakan Umum Anggaran ke DPRD
Baca Juga
Keduanya tengah berjibaku dengan debu serta hitam arang saat ditemui RMOL Jateng di lahan kontrakan memanjang ke belakang.
"Saya sudah 25 tahun menjual arang. Cuma ini keahlian untuk melanjutkan hidup," kata Widarmi, memulai percakapan ringan sambil tangannya telaten membungkusi arang dengan ukuran beragam, Jum'at (30/6).
Ia pun mengungkapkan, jika momen-momen kurban memang penjualan agak sedikit meningkat. Bagi orang lain, bahan bakar arang dengan sumber kayu beragam itu tidak ada artinya. Namun berbeda dengan pasutri ini, satu anak serta seorang cucu itu.
"Inilah ladang kami mencari makan. Syukur alhamdulillah, bisa juga buat anak dan cucu yang masih satu rumah dengan kami," ungkap Widarmi.
Jika pada hari-hari biasa, arang yang ia jual berkisar mulai dari Rp5000 satu bungkus hitam hingga Rp20 ribu untuk bungkusan agak besar itu pun hanya mengandalkan langganan saja.
Namun, pada momen-momen seperti kurban saat ini Widarmi dan suami sedikit bisa tersenyum. Pasalnya, pembelian perorangan cukup banyak.
"Yang beli perorangan untuk bakar-bakar sate habis penyembelihan hewan kurban rata-rata. Tapi jumlahnya tidak banyak, tapi tetap disyukuri," timpal Paniro.
Dengan beban sewan layan dengan seorang toke/ tauke (nama yang digunakan di kalangan pebisnis China) setahun Rp10 juta, Paniro mengaku cukup membuatnya tidak bisa leha-leha.
Setelah yang sewa lahan terkumpul, sisanya baru bisa ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Sudah bisa makan, menyambung hidup saja sudah bersyukur alhamdulillah," terangnya.
Untung yang tak seberapa, keduanya juga harus memikirkan kembali cara 'kulakan' atau membeli bahan baku arang yang akan dijual kembali.
"Kami beli sudah dalam bentuk arang jadi, jadi bukan kayu yang dibakar lagi. Satu bagor besar itu bisa dengan harga Rp 60-70 ribu. Yang tidak mesti, karena susah-susah gampang dapetin bahan bakunya. Kami juga tidak tahu dari mana kayu-kayu ini di dapat, tahunya sudah dalam bentuk arang dari pemasok," pungkasnya.
Pasutri ini pun memiliki impian menginjakkan kaki di Tanah Suci Mekkah. Meski begitu, mereka belum memiliki tabungan karena hasil yang diperoleh hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Dishub Kota Semarang Bakal Usulkan Penambahan Palang Pintu di Perlintasan Kereta Api
- Riswanto Resmi Dilantik Sebagai Ketua Kepengurusan LAZISNU PCNU Kota Tegal
- Anggota DPR RI Minta Kesadaran Hak Konsumen Makin Meningkat