Prospek Ekonomi Jawa Tengah 2025

RMOLJateng Round Table FGD Series 5Th. Dokumentasi
RMOLJateng Round Table FGD Series 5Th. Dokumentasi

Semarang - Jawa Tengah kini telah memiliki pemimpin baru yaitu Ahmad Lutfi dan Taj Yasin yang segera akan memimpin Jawa Tengah untuk periode 2025-2029.

Hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada) Jawa Tengah ini telah diterima oleh semua pihak tanpa ada aduan atau sengketa hasil Pemilukada dari pasangan lawannya yaitu Andika dan Hendi. Hal ini berbeda dengan beberapa provinsi yang masih menghadapi sengketa Pemilukada.

Pemilukada dan penetapan hasilnya yang aman dan tanpa gejolak di Jawa Tengah merupakan modal yang penting untuk ekonomi Jawa Tengah. Pertama, pemerintah provinsi Jawa Tengah yang baru di bawah Ahmad Lutfi dan Taj Yasin bisa segera bekerja nantinya untuk membenahi perekonomian Jawa Tengah tanpa direpotkan oleh masalah politik. Kedua, lancarnya Pemilukada Jawa Tengah juga bisa dipandang sebagai stabilitas politik dan keamanan yang mantap sehingga merupakan daya tarik bagi investor untuk masuk ke Jawa Tengah yanag akan mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah.

Lalu bagaimana prospek ekonomi Jawa Tengah mendatang yaitu di tahun 2025 dan apa saja masalah-masalah yang masih menghadang? Tulisan ini hendak sedikit memberi gambaran tentang hal tersebut.

Gambaran ekonomi suatu daerah dan prospeknya biasanya dilihat dari tiga hal yang di jaman Orde Baru dulu dikenal sebagai Trilogi Pembangunan yang sebenarnya masih relevan sampai sekarang. Ketiga hal tersebut adalah: pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas.. Pertumbuhan diukur dengan pertumbuhan ekonomi. Pemerataan diukur dengan: pemerataan ditribusi pendapatan, pemerataan antar wilayah, dan indikator lain antara lain kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan stabilitas diukur dengan tingkat inflasi.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Jawa Tengah pada tahun 2025 menurut prediksi BI mendatang diperkirakan tumbuh antara 4,8% sampai 5,6% (year on year), meningkat dibanding prediksi tahun 2024 ini  sebesar 4,7% sampai 5,5%. Jadi di tahun 2025, ekonomi Jawa Tengah diprediksi masih tumbuh positif dan meningkat dibanding tahun 2024.

Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah di tahun 2025 yang diprediksi positif dan meningkat dibanding tahun 2024 yang dihitung berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bisa diartikan adanya peningkatan nilai produksi seluruh sektor atau lapangan usaha dan bisa juga berarti meningkatnya pengeluaran yang juga mencerminkan pendapatan penduduk suatu daerah.

Lapangan usaha yang selama ini menyumbang pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah adalah industri pengolahan, disusul kemudian dengan perdagangan, pertanian, kehutanan dan perikanan, serta sektor konstruksi. Pada tahun 2023 misalnya sumbangan Industri pengolahan terhadap PDRB Jawa Tengah adalah 34,03%, kedua Sektor Perdagangan 13,61% disusul pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 13,23%. Sektor Konstruksi 11,22%.

Dari sisi pengeluaran, penyumbang pertumbuhan ekonmi Jawa Tengah selama ini adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga, disusul kemudian pembentukan modal tetap bruto (investasi) dan ekspor barang dan jasa ke luar daerah. Pada tahun 2023, sumbangan pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDRB Jawa Tengah adalah 60,90%. Sedangkan sumbangan pembentukan modal tetap bruto 30,02%, dan ekspor ke lain daerah sebesar 27,68%.

Pemerataan

Ada dua indikator dalam pemerataan ekonomi Jawa Tengah yaitu pemerataan distribusi pendapatan antar individu dan pemerataan antar wilayah. Kesenjangan Distribusi Pendapatan diukur dengan Gini Ratio. Besarnya Gini Ratio antara 0 (tidak ada ketimpangan sama sekali) sampai 1 (sangat timpang). Besarnya Gini Ratio Jawa Tengah adalah sebagai berikut tahun 2019 (0,361), 2020 (0, 362), 2021 (0,372), 2022 (0,374), 2023 (0,369), dan 2024 (0,367).

Dari angka Gini Ratio tersebut maka ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa Tengah periode 2019-2024 tergolong moderat menurut kriteria Bank Dunia. Namun demikian ke depannya ketimpangan distribusi atau pemerataan pendapatan ini tetap perlu mendapat perhatian dan diusahakan agar Gini Ratio makin menurun sehingga menjadi di bawah 0,3 yang menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan antar individu yang rendah. Caranya dengan mempertahankan adanya bantuan sosial untuk jangka pendek, pemberdayaan masyarakat dalam jangka menengah, dan redistribusi peluang dan asset khusunya bagi golongan menengah ke bawah.

Ketimpangan Antar Wilayah

Ketimpangan antar wilayah diukur dengan Indeks Williamson. Besarnya Indeks Williamson adalah 0 sampai 1. Makin besar Indeks Williamson makin timpang pemerataan antar wilayah. Besarnya Indeks Williamson Jawa Tengah tahun 2019 sampai 2023 adalah: 2019 (0,6186), 2020 (0,6564), 2021 (0,6549), 2022 (0,6525), dan 2023 (0,6325).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ketimpangan antar wilayah (Kabupaten/Kota) di Jawa Tengah masih tinggi karena angka Indeks Williamsonnya masih di atas 0,5. Menjadi tantangan pemerintah yang baru untuk memperkecil kesenjangan kemajuan antar wilayah di Jawa Tengah ke depannya. Misalnya dengan Pembangunan infrastruktur yang menjadi kewenangan Provinsi yang lebih merata antar Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.

Stabilitas

Ukuran stabilitas ekonomi wilayah atau daerah biasanya adalah tingkat inflasi. Di samping pertumbuhan ekonomi yang meningkat di tahun 2025 dibanding tahun 2024 seperti telah disebutkan di depan, indikator ekonomi lain yang baik adalah tingkat inflasi di Jawa Tengah yang di tahun 2025 oleh BI diprediksi masih dalam rentang target inflasi nasional yaitu 2,5% plus minus 1%.

Inflasi yang rendah ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan demikian juga pengeluaran konsumsi rumahtangga. Selama ini inflasi di Jawa Tengah memang terkendali rendah. Tingkat inflasi tahun ke tahun (yoy) gabungan 6 kota di Jawa Tengah adalah sebagai berikut: tahun 2019 (2,81%), 2020 (1,56%), 2021 (1,70%), 2022 (3,87%), 2023 (2, 89%), dan 2024 (2,69%)

Tingkat inflasi yang rendah ini tentu berkat kerja keras Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Juga Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang perlu dilanjutkan di tahun-tahun mendatang

Beberapa Tantangan Ke Depan

 Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendatang. Pertama, Menjaga konsumsi rumahtangga tetap tinggi karena konsumsi rumahtangga merupakan penopang utama pertumbhan ekonomi Jawa Tengah selama ini. Presiden Prabowo baru-baru ini menyatakan bahwa hendaknya UMP tahun 2025 dinaikkan 6,5%.

Ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi bisa meningkatkan konsumsi rumahtangga tetapi di sisi lain memberatkan bagi industri manufaktur (khususnya yang padat karya seperti industri tekstil) yang merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Hal tersebut berpotensi menimbulkan PHK yang kemudian akan menurunkan konsumsi rumahtangga kembali.

Hal lain yang mengancam pengeluaran rumahtangga adalah adanya rencana menaikkan tarif PPN jadi 12% meskipun selektif untuk barang mewah (yang menimbulkan masalah administrasi).

Seperti diketahui PPN adalah pajak tidak langsung yang seharusnya menjadi tanggungan produsen tetapi kemudian digeser kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga. Jadi pada akhirnya kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan ditanggung oleh konsumen yang akhirnya akan menekan daya beli konsumen serta pengeluaran konsumsi rumahtangga.

Jika konsumsi rumahtangga menurun, produk dan jasa yang dijual perusahaan akan menurun penjualannya yang ujung akhirnya perusahaan akan melakukan efisiensi dengan biasanya melakukan PHK. Ujung dari PHK adalah pengangguran yang kian memperparah menurunnya pengeluaran konsumsi rumahtangga. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kebijakan pemerintah pusat soal PPN 12%.dan perlunya  kebijakan-kebijakan untuk mempertahankan daya beli konsumen atau pengeluaran konsumsi rumahtangga dengan subsidi tepat sasaran baik untuk menambah pendapatan atau mengurangi pengeluaran rumahtangga miskin.

Kedua, masih tingginya  jumlah dan persentase penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah tahun 2019-2024 sebagai berikut (dalam ribu jiwa): 2019 (3.743,23), 2020 (3.980,90), 2021 (4.109,75), 2022 (3. 831,44), 2023 (3 .791,50), dan 2024 (3. 704,33). Sedangkan persentase jumlah penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk sebagai berikut: 2019 (10,80%), 2020 (11,41%), 2021 (11,79%), 2022 (10,93%), 2023 (10,77%), dan 2024 (10,47%). 

Meski pun masih tinggi namun dari data tersebut ada kecenderungan jumlah dan persentase penduduk miskin di Jawa Tengah terus menurun. Oleh karena itu menjadi tantangan Pemerintah Provinsi mendatang untuk menjaga tren penurunan ini bahkan kalua bisa lebih cepat laju penurunannya, misal dengan subsidi tepat sasaran dan pemberdayaan masyarakat yang lebih intensif.

Ketiga, tingkat pengangguran terbuka (mereka yang sama sekali tidak bekerja) yang masih cukup tinggi. Tingkat pengangguran terbuka di Jawa Tengah tahun 2023 adalah 5,13%. Berdasarkan tingkat pendidikan maka tingkat pengangguran terbukadi Jawa Tengah tahun 2023 terbesar adalah SMK, disusul SMA Umum, dan Lulusan Perguruan Tinggi. Tingkat pengangguran terbuka lulusan SD ternyata justru yang paling rendah. Jadi pengangguran terbuka di Jawa Tengah makin terdidik.

Yang menarik adalah pengangguran terbuka terbesar justru adalah lulusan SMK yang mestinya dipersiapkan untuk siap kerja, mungkin kesalahannya ada pada kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, lulusan SMK yang memang dulunya tidak bermaksud lulus lalu bekerja, dan sebab lain. Juga ternyata lulusan perguruan tinggi pengangguran terbukanya juga tinggi. Semua hal ini menjadi tantangan bagi pengelola pendidikan di Jawa Tengah.

Keempat, perlunya upaya menarik investasi. lebih banyak ke. Jawa Tengah. Salah satu Upaya yang perlu diapresiasi adalah telah diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jateng Tahun 2024-2044.

Perda RTRW Jateng 2024-2044 ini menjadi salah satu faktor penting untuk menarik investasi karena selama ini investor yang akan menanamkan investasinya di Jawa Tengah terkendala ketersediaan lahan karena banyak lahan yang potensial untuk investasi belum bisa dimanfaatkan karena rencana tata ruangnya belum diperbaharui. Di samping itu penyediaan tenaga trampil untuk melayani kebutuhan industri perlu terus dilakukan.

Prof Dr Nugroho SBM MSi adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang