Punokawan & Moralitas Manusia

Prof Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia
Prof Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia

Jakarta - Wayang kulit diperkirakan telah ada sejak masa peradaban Jawa kuno yaitu sekitar 1500 tahun SM. Wayang kulit pada saat itu masih ditampilkan dengan cara yang sangat sederhana yaitu alang-alang rerumputan.

Wayang pada masa itu ditampilkan sebagai bagian dari kegiatan ritual dan pemujaan roh nenek moyang. Masuknya ajaran Hindu Buddha semakin memperkaya kisah-kisah wayang dengan menampilkan cerita yang terdapat dalam Kitab Mahabharata dan Ramayanana (jelajahnusantara.co, 2019).

Masuknya Islam di tanah Jawa semakin menyemarakkan pertunjukan wayang. Wayang kulit khususnya menjadi metode dakwah Wali Songo dalam menyebarluaskan ajaran Islam sebagai sebuah agama di Tanah Jawa.

Cerita lakon serta tokoh yang terdapat dalam wayang umumnya masih tetap menggunakan kisah dan tokoh yang ada dalam Mahabharata dan Ramayana di era Hindu dengan ditambahkan beberapa tokoh baru. Wali Songo menambahkan tokoh punokawan yang terdiri atas Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong yang bertugas menemani Para Pandawa di Kerajaan Amarta di sekitar tahun 1443 M (Nizar, 2024).

Punokawan yang ditampilkan oleh para Wali Songo adalah melambangkan perilaku manusia pada umumnya dengan beragam karakternya. Semar atau Badranaya sebagai Bapak dari ketiga anaknya (Petruk, Gareng, dan Bagong) merupakan manusia setengah dewa yang mengajarkan nilai-nilai kearifan kepada anak-anaknya juga kepada para Pandawa.

Kata Semar diambil dari kata ismar (Arab) yang bermakna paku, sebuah konsep timur tentang arti penting paku dalam memperkuat sebuah struktur bangunan. Semar menjadi sosok tokoh yang teguh dan kuat pendiriannya. Ia menjadi sosok yang sangat dihormati oleh para Pandawa. Nada bicaranya yang kalem tetapi teguh dalam prinsip, memberikan nasihat petuah bagi Para Pandawa dalam menjalan roda pemerintahan Kerajaan Amarta. Seperti halnya paku dalam struktur sebuah benda atau bangunan yang tidak tampak menonjol, ia memberikan kekuatan besar bagi kokohnya sebuah bangunan.

Tokoh Semar ini jika berjalan jari telunjuk tangan kanan selalu menunjuk ke atas, hal ini mengajarkan kepada manusia untuk selalu mengingat atas ketauhidan atas keyakinan manusia pada Allah (Qs.21:25). Pada sisi lainnya tangan kiri Semar selalu menunjuk ke bawah, yang bermakna sebagai manausia harus selalu merendahkan hati dan selalu mengingat pada penderitaan sesamanya.

Kata Petruk terambil dari kata fatruk (Arab) yang bermakna meninggalkan, dalam hal ini adalah meninggalkan segala keburukan perilaku (Qs.74:5) Makna lainnya adalah meninggalkan segala sesuatu selain Allah (Qs.6:32). Sosok Petruk mengajarkan bahwa manusia yang sudah terlalu mencintai dunia dengan perilaku keburukan untuk mari bersama menuju Allah.

Salah satu kisah menarik tentang Petruk adalah Petruk dadi Ratu (Petruk jadi Raja), dimana Petruk yang tadinya adalah seorang rakyat jelata kemudian menjadi Raja berkuasa yang lupa daratan. Kekuasaan yang dipegang oleh Petruk menjadikan dirinya lupa pada jati dirinya yang selama ini memberikan kritik kepada penguasa. Petruk dengan kekuasaanya lebih mementingkan dirinya sendiri, ia melakukan korupsi dengan memperkaya dirinya dan melupakan rakyat yang ia pimpin. Kisah ini mengajarkan kepada manusia bahwa kekuasaan cenderung menjadikan manusia lupa diri, lupa atas niat awalnya (maarifnujateng, 2020).

Tokoh berikutnya adalah Gareng, terambil dari kata Qarin (Arab) yang berarti teman. Melalui tokoh Gareng ini, Wali Songo hendak menjelaskan sebuah arti arti pentingnya mencari teman dibandingkan menciptakan permusuhan diantara sesama (Qs.49:10). Tokoh Gareng ini mengajarkan bahwa ajaran Islam mengutamakan pada cinta damai dibandingkan kebencian dan permusuhan. Peperangan yang dilakukan dalam Islam adalah disebabkan upaya pembelaan diri dan bukan karena nafasu untuk menguasai dan menundukkan atas dasar ego.  Gareng mengajarkan Islam sebagai sebuah ajaran rahmatan lil alamin (Qs.21:107).    

Tokoh terakhir adalah Bagong, terambil dari kata bagho (Arab) yang bermakna menolak kebatilan dan kata baqo (Arab) yang berarti kekal. Wali Songo melalui tokoh Bagong ini mengajarkan nilai kesungguhan hati untuk menolak segala kebatilan yang terjadi (Qs.2:42), serta meyakini segala yang ada di dunia adalah fana karena hanya Allah-lah yang kekal (Qs.16:95). Bagong adalah tokoh yang lucu dan dengan itu ia mengajukan kritik kepada para penguasa Kerajaan Amarta dan Kerajaan Astinapura. Bagong mengajarkan keluhuran budi juga kesungguhan dalam menjalankan nilai-nilai Islam dalam hidup manusia.   

Begitu dalamnya nilai-nilai yang diajarkan oleh punokawan ini, maka wayang menjadi sebuah contoh relasi erat antara ajaran Islam dan kebudayaan manusia. Tampak bahwa Islam diajarkan melalui sarana-sarana etis yang mengutamakan sisi moralitas perilaku manusia.

Menjadi hal wajar ketika Badan Dunia PBB UNESCO menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Sedunia, dan sekaligus Pemerintah menjadikan tanggal tersebut sebagai hari Wayang Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018. 

Punokawan adalah tokoh-tokoh yang mengajarkan moralitas dan etika bagi manusia dalam menjalani hidup. Setiap tokoh menampilkan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan panutan dalam bertingkah laku tidak hanya bagi rakyat biasa tetapi juga bagi pemangku kekuasaan. Punokawan melambangkan sebuah relasi erat antara manusia dengan Tuhannya yang tak terpisahkan. Bahwa setiap perilaku sejatinya selalu diletakkan dalam hubungan ketuhanan dan kebajikan manusia.

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Qs. al-Qasas [28]: 77)